Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanah Penemuan

16 Februari 2015   17:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:06 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENDEKATI PUN TIDAK. Itu yang kupikirkan ketika penyelia program kami mengabarkan apa yang disebutnya “kegembiraan”, sesaat setelah turun dari Ford Ranger yang disopiri anggota muda Polsek Samofa, berlari di tengah hujan lalu melepas sepatu butnya di depan tangga. Ia, seorang Surabaya yang umurnya sekira tigapuluh lima--tidak pernah kutanyakan angka pastinya karena memang kurasa tidak perlu, berkelindan senyum saat menyingsingkan lengan bajunya yang terkena air lalu menyeret-nyeret telapak kakinya di atas keset sembari mendekati kami yang bernaung di atas serambi. Ia bahkan sempat menyisiri rambutnya dengan tangan dan merapikan kumisnya dengan cubitan.

Setengah jam terakhir kami menikmati waktu santai dengan bercerita tentang penemuan Dinosaurus pertama di Lembah Pegunungan Rockey dan “Lautan Besar” yang membawa Nabi Nuh dan kaumnya beserta 99 pasang jenis binatang menemukan tanah baru untuk membangun iman. Kedatangan tiba-tiba Pak Mulsin Haryono di pondok membuyarkan perhatian anak-anak. Mereka lalu mengerubutinya dengan riang dari berbagai penjuru, berjingkrak-jingkrak sambil berteriak. Sakunya hampir sobek lantaran ditarik-tarik. Pak Mulsin yang selalu ditunggu kehadirannya, mengeluarkan segepok permen Sugus ikat dan beberapa tumpuk kartu, sebelum anak-anak itu mereda dan kembali ke tikar duduk mereka untuk bertukar dan saling pamer. Dua orang pendamping kesulitan mengatur duduk mereka kembali.

“Mereka banyak berkembang….” Pak Mulsin berkomentar saat dagunya menunjuk enam belas anak-anak dari SDN 1 Samofa yang menyerbu gubuk tinggal kami saban sore ini. Mereka, anak-anak di tengah rumah itu, seperti tidak ingin pulang bahkan saat hujan reda nanti.

Sebagai perwakilan guru muda, saya mengangguk. “Mereka selalu bersemangat, Pak. Mereka bahkan tidakmau lepas dari buku-buku LKS (lembar kerja siswa), terutama soal Ilmu Alam dan Budaya Jawa.”

“Bagus.” Setelah anggukan beberapa saat, Pak Mulsin langsung serius.“Oh iya, ada kabar penting yang akan kusampaikan pada kalian. Yah, mestinya kalian semua harus berkumpul dulu, tapi tidak kusangka anak-anak begitu meramaikan rumah ini, dan kalian sepertinya menikmati pendampingan.”

Aku tersenyum. Bukankah untuk itu kami ada di sini? pikirku. “Kami merasa dekat dengan mereka, Pak.”

Pak Mulsin seperti menghela napas berat, saat tangan kanannya merogoh sesuatu keluar dari saku celananya. “Saya yakin demikian,” sambungnya.“Tapi, Rahmi, ini ada satu berita gembira untuk tim. Perwakilan PANDITA baru saja menyusun program baru, dan mereka sahkan pekan lalu--kalian mungkin belum tahu. Jadi pada intinya, semua tim pengajar muda yang pernah dilibatkan di daerah-daerah ‘tersulit’ akan diberi pelatihan tambahan untuk dibagi kepada para pengajar dan mahasiswa se-Asia-Pasifik. Pertemuannya akan dimulai Juni tahun depan, dan kalian akan dijadikan duta sekaligus panelis kolektif, membahas ‘tantangan pendidikan berlatar multibudaya’, atau semacamnya. Dan tebak venue-nya di mana? Fiji, dan satunya, di Beşevler, Turki!”

Turki? Tentu saja berita bagus, pikirku. Bukan hanya karena kami akan keluar negeri dan bertemu dengan wajah-wajah baru. Lebih dari itu, kami merasa ini lompatan besar setelah pergulatan lama di pedalaman. Setelah sebelas bulan bergelut dengan anak-anak kurang beruntung nun jauh dari rumah, kami hampir tidak punya bantuan mental untuk diri kami sendiri, dan tiba-tiba harus bertanggungjawab atas nilai ujian akhir dan mungkin masa depan anak-anak distrik ini. Tentu saja orang-orang harus tahu apa yang kami lalui, dan betapa beratnya kesenjangan memukul peradaban.

“Karena itu,” Pak Mulsin melanjutkan dengan mimik membikin penasaran. Lalu begitu saja saat menyerahkan surat berlogo PANDITA itu, senyumnya tersungging lebar. “Kalian akan segera pulang. Bukalah.”

Surat itu terdiri dari dua lembar, di mana bagian keduanya berisi nama-nama kami berduabelas, dengan namaku sebagai ketua tim. Nama Pak Mulsin sendiri ada di lembaran pertama yang dibubuhi tandatangan Master Yuni Atmadinaja, ketua Yayasan PANDITA. Informasi dasarnya memberitakan bahwa nama-nama di lampiran akan diminta persetujuannya mengikuti program pertukaran pengetahuan di ibu kota Fiji pada 26 Juni hingga 4 Juli, sebelum sepekan kemudian berbincang dengan perwakilan mahasiswa Kebudayaan Asia Tenggara di , Turki, di tengah-tengah forum International Summer Camp yang mempertemukan mahasiswa-mahasiswa undergraduate dari seluruh dunia. Jadwal acara bahkan sudah disediakan dalam bentuk tautan digital dan bisa kami akses kapanpun kami bersedia ikut. Markus, Lina, dan Ayodya langsung berteriak girang menyambut surat dari tanganku. Ambar dan Yuni pun sama, agak menyembunyikan surat itu dari rogohan anak-anak. Hatiku separuh lega, karena mengetahui kerja keras kami selama ini dipantau dari jauh dan akhirnya dihargai lebih. Air muka yang kutangkap dari mata Pak Mulsin juga mengisyaratkan hal yang sama, mungkin berkata kalau ini kesempatan besar yang mungkin tidak akan datang dua kali.

“Jadi bagaimana menurutmu?” Pak Mulsin mengangkat-angkat alisnya. Kubalas bahwa kami akan membicarakannya nanti. Ia lantas mengepal tangan, menariknya di udara sebelum berteriak “Yes!”, seakan-akan ini merupakan hadiah untuknya juga. Saat akhirnya ia berlalu dan mengarah ke anak-anak dengan segepok Sugus lagi, pikiranku melayang ke mana-mana, seperti kabut yang tiba-tiba menyusuri lereng bukit.

Kami tiba pertama kali di Tanah Papua pada pertengahan Maret, saat musim hujan diprediksi akan segera berlalu. Rombongan pengajar muda, yang di tim kami beranggotakan tujuh belas orang, dikawal polisi dari Bandara di Makassar hingga mendarat di Jayapura, terus ke Biak, sebelum diantar menggunakan kapal nelayan menuju Smofa. Program sengaja membagi rata kami ke sembilan distrik di luar wilayah Jayapura dan Merauke, jauh dari keramaian kota terbangun dan agar tidak tercampur dengan program sosial dari kelompok yayasan lain. PANDITA, penyelia tertinggi program kami, merupakan sebuah Program Nasional Pendidikan Desa Tertinggal, digagas dan dijalankan oleh sebuah yayasan yang dulunya menjalankan program pencegahan kanker serviks. Selain mengajar di sekolah-sekolah yang kekurangan guru, program kami secara kasar coba memetakan masalah mendasar yang melingkupi seretnya pengembangan pendidikan di Papua, termasuk kecurigaan manipulasi kewenangan dan penyalahgunaan dana otoritas, meskipun penelusurannya hanya dari cerita-cerita di bilik sekolah. Dengan dua tahun perjalanan program pengajar muda, apresiasi seantero negeri terus mengalir. Kami dibicarakan banyak komunitas. Nama-nama kami terus diikuti. Setiap perkembangan kami diapresiasi di televisi. Donasi melebihi ekspektasi, dan benih-benih program lanjutan dan model sedang digarap Kemendikbud menggunakan konsep dasar program ini. Mungkin kami dianggap malaikat, yang rela berleleh keringat.

Aku ingat hari pertama perkenalan kami. SDN 1 Samofa betul-betul berbenah. Rumputnya dicabuti dan guru-gurunya (yang hanya tiga orang termasuk kepala sekolah) berdandan rapi. Untuk menuju ke sana kami diantar pikap sepuluh menit dari pondokan, dan langsung disambut setermos teh manis hangat. Semuanya seperti keluarga, membuyarkan bayang-bayang khawatir beberapa teman yang menganggap orang-orang di Papua (yang tubuhnya pendek, matanya cekung, keningnya berkerut, dan kulitnya legam mengkilat) mungkin menyeramkan atau usil. Seperti orang-orang aborigin yang kerap membawa senjata. Apa yang kami saksikan sungguh berbeda. Mereka ramah dan begitu terbuka, separuh senang separuh bersemangat. Tamu begitu dihormati, dan mereka sudah langsung mengerti maksud kehadiran kami. Ruang utama sekolah terdiri dari dua bangunan sederhana beratap seng, nampak baru seminggu dicat hijau terang dengan lis jendelanya dengan kuning gading. Ampus Kalopen sang kepala sekolah memimpin upacara dan berpidato panjang sampai anak-anak menguap lebar di bawah sinar matahari. Siang harinya kami diajak berkeliling, dikenalkan denganpengajar dan tetua adat lainnya. Terasa begitu normal dan mendekatkan.

Yang mengejutkanku justru keluar dari mulut Rumanna Laely, seorang fasilitator Kementerian Kesehatan yang memberi kami penjelasan teknis soal standar hidup sehat minimum dan bagaimana mencegah malaria. Dia sudah tiba di Papua tiga bulan sebelumnya dan berada di bawah supervisi langsung UNDP. Di dalam ruangan yang merangkap klinik pelayanan kami didudukkan seperti murid. Seharusnya kami yang mengajar, pikirku agak berontak di awalnya. Lagipula ini briefing kesekian soal kesehatan, setelah di Jakarta dan di Balai Kesehatan Hasanuddin Makassar. Penjelasan Rumana begitu detil dan beberapa istilah agak membingungkan, bahkan ia menyerukan beberapa rutinitas yang menurut kami sudah lumrah dan tidak akan berpengaruh banyak.

“Kesehatan memang kelihatannya remeh,” Ia seperti menebak pikiran kami. “Tapi malaria tidak pernah main-main. Kalian bisa tersenyum-senyum pagi ini dan terbaring menggigil selepas senja nanti.” Suaranya yang melengking justru terdengar seperti nyamuk di telingaku, bernada ancaman dan senantiasa menusuk. “Beberapa tips tadi hanya langkah kecil. Kiat pencegahan utamanya sudah tertera di buklet yang ada di hadapan kalian. Ingat, periksa air, udara, periksa suhu badan. Makan yang rajin dan teratur, utamakan pencegahan. Kalian dikirim kemari untuk mengilhami orang-orang menemukan masa depan mereka, tapi tidak untuk mengorbankan masa depan kalian sendiri. Malaria adalah ancaman serius, dan kalian bisa menghindarinya. Memahami adalah cara paling ampuh untuk membasmi.”

Kalimat terakhir itu kuyakin ia kutip dari buku antikorupsi. Meski begitu nada bicaranya mulai terdengar bersahabat. Kecuali kacamata bingkai runcing dan telunjuknya yang terus diarahkan, aku yakin Rumana orang baik. Usinya mungkin hanya tiga-empat tahun lebih tua dari kami, dan dari matanya nampak ia kelelahan tetapi bertahan. Kami menyimak seperti balita, bertanya sesekali soal beberapa alat dan dosis obat, tindakan penanganan di saat darurat, dan wewenang kami jika ada warga jatuh sakit tanpa tim mereka. “Naluri adalah anugrah besar manusia,” jawabnya. “Dan itu bisa dipakai dalam situasi apapun.” Kata-katanya tetiba berubah misteri. Alih-alih profil dokter, ia kini berbicara seperti seorang pendeta. Lina yang mahasiswi kedokteran saja aku lihat sampai terbengong-bengong, kudengar berbisik, “Kalau cuma naluri, babi hutan juga punya.”

Aku mengangkat tangan dengan pikiran jahil mungkin kami bisa sedikit mengerjainya. “Kak Rumana,”

Dokter--.”

“Ups, dokter. Maaf. Dokter Rumana. Tadi dokter bilang kamp kalian hanya lima menit jalan kaki di seberang sungai. Kalau begitu, bolehkah kami kapan-kapan kami mampir kalau toilet kami rusak atau penuh? Mungkin, numpang buang air besar dan di tempat kalian?”

Rumana menahan sejenak sembari mengedarkan pandangannya. Di pojok ruangan perwakilan pemerintah desa cekikikan. Ia tahu persis sungai adalah “pelarian” paling dekat jika ingin membuang hajat. Mulutnya terkatup begitu saja saat melihat Rumana yang nampak jengkel. “Boleh, tentu saja,” ujar dokter itu. “Tapi kalian bawa sekalian ember hajatnya biar kami bersihkan.”

Seisi ruangan tertawa pecah kecuali aku. Jala seperti terlempar ke mukaku dan mengurung diriku rapat, kuharap segera menyeretku keluar dari ruangan ini. Mata Rumana menatapku penuh kemenangan, alisnya terangkat sebelah, seakan-akan mengatakan, “Selamat datang ke Tanah Pertarungan.”

“Tapi, bagaimana kalian hidup membawa syarat higienitas di rimba terbuka begini. Bukankah itu jauh dari standar kesehatan yang kalian bawa?” Aku kembalibertanya gesit, menghentikan sisa tawa sampai kelas kembali hening. Rumana melipat dua lengan di depan dadanya, menarik bibirnya ke dalam. Setelah melepas sejenak kacamata dan merapikan poninya, ia menarik kerah jas putihnya hingga rentang ke bawah, lalu memasukkan dua tangan ke saku di depan perutnya.

“Siapa nama…oh… Rahmi Santoso. Dik, boleh kutanya,” Ia membungkuk sejenak ke arahku, lalu begitu saja bangkit dan memutar pandangannya sekali lagi, sebelum kembali ke depan. “Kalian semua. Aku ingin bertanya sesuatu. Dan aku butuh jawaban kalian saat ini juga. Jawaban kalian akan menentukan seperti apa kalian akan bertahan di sini.”

Kami semua yang duduk saling pandang. Merasa sedang dilibatkan dalam teka-teki tidak penting. Tetapi dokter itu kelihatannya serius. Matanya kini seperti pemburu, dan kami adalah domba-domba.

“Jika kalian dihadapkan pada situasi di mana kalian semua kena influenza. Dan kalian dihampiri tiga anak--murid-murid kalian--yang kelaparan tanpa bahan makanan untuk dimasak. Kalian akan kasih mereka sarapan?”

Ayodya mengacung tangan dan menjawab lugas. Sedikit lebih cepat dari Lina yang tampaknya punya pikiran yang sama. “Iya tentu saja tidak! Bisa jadi makanan, atau bahan makanan kami juga terkena virus. Kasih makan berarti hanya menularkan influenza ke mereka.”

Banyak orang yang mengangguk di ruangan itu. Tapi aku yakin bukan jawaban itu yang diharapkan si penanya. Dokter Rumana tersenyum dengan suara agak merendahkan, sedikit berisi rasa kasihan atas jawaban barusan, sebelum melemaskan lengannya ke samping.

“Kalau begitu kalian tidak paham bagaimana konsep pengabdian masyarakat. Dan jawabanitu berarti kalian tidak menghormati sama sekali keberadaan kami. Kalian baru saja melewatkan kesempatan menyebarkan nilai berbagi, kebaikan hati, dan kasih sayang. Kalian baru saja mengizinkan virus menghalangi jalan hati kalian menyebarkan halyang lebih besar. Kalian baru saja menyerah kalah pada penyakit. Di mata saya…” Dokter itu menggeleng. “Itu tidak bisa dimaafkan. Jadi tolong jangan coba-coba nilai cara kerja kami dan lakukan saja tanggung jawab kalian.” Dokter itu menggulung poster yang ia copot dari papan kemudian merapikannya ke dalam laci mejanya. Sembari mengatakan itu, tanpa melirik lagi ke arah kami, ia mengucapkan selamat bertugas. Kami meninggalkan ruangan itu dengan perasaan kebingungan yang merajalele, ketidaknyamanan pertama sejak kami tiba.

Pekan-pekan dan bulan berlalu tanpa terasa. Murid-murid sekolah begitu antusias, mereka lebih menyenangi guru pendatang ketimbang guru-guru asli mereka yang kadang masuk kadang tidak. Murid yang namanya Markus antusias matematika, dan sering datang sore hari ke pondokan belajar aljabar dan trigonometri, sambil membawa dua tangkai pohon yang ditanam berjarak, dan dihubungkan dengan karet gelang. Ysappe putri seorang tetua adat dan ayahnya pemburu handal. Ia menyenangi geografi sama seperti cintanya pada serangga bersayap. Ia menangis terharu setiap datang kiriman poster katalog Vertebrata atau hewan-hewan laut. Dan berbicara banyak soal bagaimana mutiara hitam dibuat selama bertahun-tahun, lahir dan menetas di dalam cangkangnya. Yang paling kecil dari semua murid, agak menonjol di IPS, Yamin, anak Madura yang orangtuanya terdampar di Papua akibat konflik Sambas. Pembunuhan dan kesedihan yang sempat ia saksikan tak berani kami singgung sedetikpun, tetapi anak ini akhirnya begitu cinta pada sejarah peradaban manusia, dan cerita-cerita pada Nabi. Mata mereka berbinar-binar, senyum mereka putih bersih. Mereka malaikat-malaikat kecil yang sedang berguru ayat-ayat suci, merapal dan berharap mereka bisa jadi pemimpin bumi, jelas tidak seperti guru-guru mereka yang hanya makan gaji.

Seperti kebanyakan sekolah di Papua, SDN ini dihantui perasaan was-was staf pengajar atas kesejahteraan dan jaminan bagi mereka, karena itu mereka kerap hanya datang saat masa gajian tiba. Anak-anak, di mata mereka, bagaimanapun, adalah “warisan alam” yang seharusnya lebih paham dan belajar banyak dari alam, lewat berburu, memancing, atau nasihat-nasihat adat yang ditularkan mulut-mulut orang tua mereka. Sekolah formal separuhnya adalah paksaan, di mana standar pengajaran dipaksakan beraroma Jawasentris dan sama sekali tidak berbau Papua. Mereka yakin anak-anak mereka akan tumbuh sebagai pejuang hidup, tapi bukan pembelajar peradaban. Dan atas pikiran itu alam akan merawat mereka dan adat akan melindungi mereka. Apatisme seperti ini ada benarnya, tapi dicecar ketika bahkan dipercaya di kalangan pejabat birokrasi.

Suatu hari aku iseng bertanya kepada dua-tiga tentara di pos jaga distrik 08. Sebuah kunjungan lapangan yang diramu agak santai, sekalian kami akan mampir ke Taman Anggrek Alam dan Wisata Air Terjun Wafsarak di Distrik Warsa jikalau bapak-bapak militer ini rela mengantar kami jauh ke sana. Untuk sementara kami duduk lesehan di lantai papan yang dialasi terpal lembab, dilatari bunyi dedesikan dari radio-radio panggil dan dangdut jiplakan khas Jawa Timuran. Para lelaki gagah berseragam itu begitu bersemangat, malah bercerita sejarah kepada kami yang mulai mencatat.

“Sewaktu misionaris pertama datang ke Tanah Papua pada 1709,” Kapten Waseso Hilman mengaitkan jari-jemarinya, “Merekamenyebut tempat ini sebagai ‘Tanah Penemuan’, karena mereka serasa datang ke hutan antah-berantah yang belum diliputi kepercayaan apapun. Primitif, mereka menyebutnya, walaupun saat itu Papua sudah dihuni 446 suku adat yang berdiam dengan aturan pemerintahan mereka masing-masing. Kelompok misonaris ini--kalau tidak salah mereka ada enam atau tujuh orang dari Belanda dan Italia--membangun tenda-tenda kemudian mereka menetap, hidup bergenerasi. Mereka ajarkan keyakinan Kristus dan cepat diserap banyak penduduk Wamena, Merauke sampai yang hari ini kita sebut Nabire. Gereja-geraja dibangun dengan dana seadanya, dan lalu sekolah-sekolah. Mereka mengajarkan banyak hal, dari ilmu alam sampai bagaimana cara bergaul dengan ‘dunia luar’. Orang-orang Papua yang sebelumnya hanya mengenal hutan, umbi-umbian dan babi, kemudian mulai mengenal kertas, tinta, dan membayangkan jalan aspal dengan lampu-lampu minyak. Singkatnya, kehidupan mereka terbuka, dan mulai menemukan Tuhan.

“Kehidupan berubah saat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan. Tahun 1944, pemerintahan Jepang di Jakarta mulai melemah, dan Belanda kembali menebar ancaman. Saat Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom, seperti kalian tahu, sepekan kemudian kita merdeka. Tahun-tahun berikutnya Belanda memicu dicetuskannya misi Pembebasan Irian Barat, dan pemerintah pusat kala itu langsung memerintahkan Operasi Trikora di Tanah Papua. Misionaris kalang-kabut karena tidak bisa meyakinkan tentara apa misi mereka sebenarnya. Banyak dari kelompok lanjutan mereka yang terbunuh, baik oleh tentara kita ataupun pemberontak gerilya yang kala itu tidak ingin diganggu Jakarta. Suasana kemelut, gereja-gereja mulai diserang, kalau tidak dijadikan tempat peperangan. Saat akhirnya Papua ‘sendirian’ ditinggalkan para pembawa agama ini, pemerintah pusat malah kebingungan tanah ini mau diapakan. Wilayah seluas Kalimantan yang akhirnya kita merdekakan justru membuat bingung pemerintah. Masyarakat memeluk agama tetapi jadi tempat berdiam pemberontak di dalam hutan-hutan, tanpa akses jalan dan segala keterbatasan. Bahasa universal ‘keimanan’ dan ‘kasih sayang’ yang dulu ada kini justru tidak dimengerti banyak pihak yang mengaku datang membantu. Jalan ‘kesuburan’ yang diajarkan misionaris dimentahkan oleh isu ‘ancaman AIDS’ dan ‘pembatasan pertumbuhan penduduk’ yang diprogramkan pemerintah. Dipaksakan dengan dosis dan bukan pemahaman.”

Kami menyimak hampir tidak percaya. Tetiba kami teringat wajah sengit Dokter Rumana. Kapten ini seperti berceramah dari luar seragamnya. Seakan ia sudah lama menahan penjelasannya ini. Patriotisme yang kami kenal tidak nampak sama sekali. Malahan, ia berbicara seperti seorang aktivis internasional, sekaligus seorang perenung ulung. Herannya, tiga bawahan di belakangnya malah mengangguk-angguk. Tentu bukan nada pembangkangan terhadap perintah negara. Mungkin inilah yang kami kira sebagai ketidakadilan tugas. Rasa jenuh mengeluarkan isi pikiran mereka yang paling logis, dan menyuarakan iman mereka atas kehadiran manusia di muka bumi sebagai pemimpin, seperti yang sering kudengar dari mimbar-mimbar khotbah.

“Jadi, seperti yang teman-teman simak,” Kapten Waseso mengangkat gelasnya. “Kami bangga terhadap seragam kami, tapi tidak pada orang-orang kotor yang coba merusak negara.”

Membagi semua yang pernah kami lihat, dengar, simak, dan rasakan. Kami tidak bangga disebut sebagai pengajar, tetapi kami gembira sebagai pendamping. Murid-murid kami adalah malaikat, dan mereka bisa belajar dari apa dan siapa saja. Mereka punya wawasan tentang bumi dan alam mungkin melebihi kami, dan separuhnya diliputi kekurangan pemahaman luar tentang bagaimana moral manusia mengendalikan cara hidupnya, dan bagaimana rasa haus akan ilmu terkadang menyingkirkan rasa iman. Aku kadang dicibir aneh karena mengatakan ini, disebut melampaui usiaku yang sebenarnya. Tapi catatan demi catatan dari pengalaman di Tanah Penemuan ini masih kerap menggangguku di kala malam mata terpejam. Aku kerap bermimpi ingin menetap dan tinggal di sini, menuntaskan tugas yang entah kapan selesai. Aku tidak percaya dengan birokrasi dan orang-orang berlagak suci padahal mengidamkan durian runtuh. Aku lebih percaya mata-mata nanar yang minta diajarkan ilmu alam dan baris-berbaris di tengah lapangan. Aku percaya rekan-rekan seperjuangan yang keyakinannya sama meski pikiran kami kerap berdebat. Dan separuh kecilnya, aku percaya pada kata-kata dokter Rumana, bahwa tanggungjawab kami sejatinya adalah menularkan inspirasi. Dan tentu saja kami tidak pernah menyerah. Kelak, jika Tuhan membawa kami lagi, aku ingin terjun dari dermaga bersama anak-ana ini, melempar koin dan menari. Aku ingin menyelam dan membuka cangkang mutiara hitam, merasakannya di tanganku sebagaimana para nelayan yang dengan sabar menemukan, mengulir cemerlangnya selama bertahun-tahun.

Markus berlari, tersandung di rumput, tapi lalu berdiri, mendekapku, menarik-narik bajuku. “Ibu guru, Ibu guru,” rengeknya. “Ibu guru masih datang jenguk kitorang to?” Anak ini merengek, lalu aku menangis. Di belakangnya menyusul Ysappe yang menutup mata dengan tangannya, dan membawa poster Vertebrata miliknya. Ia sudah meminta kami semua menggambar muka di balik karton itu, dan menuliskan nama kami semua dengan spidol besar-besar. “Ibu guru jangan pulang dulu,” rengeknya. “Kami besok belajar sama siapa?” tanyanya kebingungan. Bisa kujelaskan bahwa guru pengganti dari Jayapura sebentar lagi tiba, tetapi tentu bukan jawaban itu yang mereka tunggu. Maka saya berlutut lalu memeluknya.

Dari belakang, sayup-sayup kudengar geresekan plastik yang disobek. Permen-permen sugus berjatuhan ke rumput, dibuka di telapak tangan oleh Pak Mulsin. Tapi anak-anak ini tak berselera. Satu-dua tetap memungut tapi tak langsung memakannya. Kabut turun lebih cepat dari biasanya. Dan seperti angin barat yang memeluk Puncak Jaya di kejauhan, kami pamit dari tengah lapangan. Mobil pikap membawa kami tigapuluh kilometer ke bandara, melewati belasan sekolah yang jauh dari tertolong. Tanah ini membutuhkan lebih dari triliunan uang, lebih dari ratusan orang, dan lebih dari bertruk-truk obat-obatan AIDS, pikirku. Dengan mata tertutup aku coba tidur, tapi mimpi-mimpi terus membelaiku, membisikkan bahwa Papua adalah tanah damai yang terluka. Saat mesin pesawat ATR-7200 turboprop itu akhirnya meraung, aku terhentak. Dua pulau kecil di bawah jendela mulai menghilang ke belakang. Kehilangan kata-kata, tapi pendengaranku jelas: seisi pesawat menangis.

--------------------------

Ilustrasi: Peta pulau Biak dan Numfor, dari foto udara. Sumber: infokoenews.wordpress.com.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun