Gadis berlari kecil ke sebuah kedai kopi di bilangan Dago Atas, ia langsung duduk sudut kedai yang semi outdoor, di mana ia bisa menikmati hujan dari jarak dekat tanpa kebasahan.
“Aku udah nyampe ya.” Sebuah pesan singkat dikirim ke lelaki kesayangannya.
Sambil menyeruput caramel macchiato-nya, Gadis mengambil buku Paulo Coelho dari tasnya. Ia sangat menyukai buku itu, bahkan sudah tak terhitung berapa kali ia sudah membacanya sampa kumal dan penuh coretan pada kata-kata yang ia suka. Kata-kata yang menjadi mantra untuk Gadis. ‘And, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.’
Gadis adalah seorang pemimpi, ia selalu punya banyak cara untuk mendapatkan segala yang ia inginkan. Teman-temannya sangat mengerti kalau Gadis adalah seorang pekerja keras, ya, ia bekerja sangat keras untuk mendapatkan apa yang ia mau. Di satu sisi, teman-temannya bangga pada Gadis dan segala kemampuannya, namun di sisi lain, mereka kadang sebal, karena Gadis sering menolak ajakan kumpul-kumpul mereka. Tapi memang pada dasarnya Gadis adalah sosok yang menyenangkan, teman-temannya pun tidak sampai hati untuk meninggalkannya. Malah, persahabatan empat orang perempuan ini sudah terjalin sampai sepuluh tahun. Yap, Gadis, Irene, Rachelline, dan Sari sudah bersahabat sejak mereka berseragam putih biru.
You may say I’m a dreamers but I’m not the only one.
Imagine-John Lennon terdengar dari speaker di sudut-sudut Kedai, Gadis mengembangkan senyumnya tanpa sadar. Ya, Gadis tidak sendiri. Seorang pemimpi lainnya dikirim Tuhan untuk mendampingi Gadis. Namanya Genta, dan ia baru saja turun dari mobilnya, lalu berjalan menghampiri Gadis.
“Hei. Maaf menunggu lama.”
“Nggak apa-apa kok. Lagipula aku ditemenin ini nih.” Gadis menunjuk The Alchemist di tangannya. Genta pun tersenyum. Sekarang Gadis semakin dewasa dan berbeda dengan perempuan lain, ia tak pernah marah jika Genta datang terlambat.
Gadis dan Genta punya banyak kesamaan, namun perbedaan antara mereka pun tidak sedikit. Gadis pecinta kopi, Genta lebih suka teh. Gadis suka warna putih, Genta penyuka hitam. Gadis suka menulis, Genta suka menggambar. Gadis dan Genta suka The Beatles. Gadis dan Genta suka memperjuangkan mimpi. Gadis dan Genta tidak suka makan ikan yang masih utuh bentuknya, umm, ya, mereka sama-sama geli melihat ikan dengan bentuk utuh, dan lebih memilih ikan yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga jauh dari bentuk aslinya. Dan satu yang pasti, Gadis dan Genta suka satu sama lain. Gadis menyayangi Genta. Genta menyayangi Gadis.
“Gimana kerjaan kamu?” Genta memulai obrolan.
“Aman. Baru beres kejar deadline setelah dikasih revisi segunung. Kamu?”
“Ya, mirip lah. Brief dari klien nggak sesuai sama kenyataan. Udah diturutin maunya, eh minta yang lain. Untung deadline masih dua hari lagi. Itu juga kalau klien nggak ngerubah deadline jadi besok.”
Keduanya tertawa. Mereka percaya bahwa menertawakan hidup adalah salah satu cara untuk merasa bahagia. Heran, mengapa banyak orang merasa tidak bahagia dengan kehidupannya, atau merasa sangat tersiksa dengan pekerjaannya yang tak berujung, sementara di luar sana, banyak orang yang sulit mencari pekerjaan. Mengapa kita tak bisa membuat semua hal yang terasa berat jadi ringan, dan siksaan pekerjaan menjadi suatu tantangan yang memacu adrenalin. Bahkan Gadis dan Genta percaya, bahwa detik-detik menegangkan jelang deadline adalah waktu di mana kreativitas muncul tanpa batas. Saat ‘tegang’ itulah, otak kita dipaksa untuk berputar ekstra, dan imajinasi yang telah terbang liar kembali untuk dituangkan ke dalam sebuah karya. Gadis dengan tulisannya dan Genta dengan desainnya.
“Kamu tau nggak, kalau kita di dunia ini memang nggak ada yang sempurna. Tapi kita ada untuk saling melengkapi.”
“Ya, aku tahu. Bagaimana ya jadinya seorang art director tanpa copywriter atau sebaliknya?”
“Mungkin orang-orang tidak akan pernah melihat iklan.” Tawa mereka lepas lagi.
Kisah cinta Gadis dan Genta tak melulu manis, mereka, layaknya pasangan biasa juga pernah mengalami masa-masa penuh drama. Dua tahun yang lalu, Genta mendapatkan kesempatan untuk bekerja di perusahaan advertising di Bangkok dan Gadis tidak bisa menerima kenyataan itu. Genta, yang sebelumnya menjadi art director di bidang yang sama, tentu saja tak akan melewatkan kesempatan besar itu, di Bangkok, Genta langsung ditawarkan posisi Creative Director. Mana mungkin ia bisa menolak peluang ini.
“Aku nggak bisa LDR”
“Oh, come on, dear. Sekarang kan jaman udah canggih, lagipula sama-sama di Bandung aja kita lebih sering komunikasi lewat chat messenger, kan?”
“Tapi kan tetap bisa ketemu”
“Ayolah, aku kan tetap bisa pulang”
“Tapi nggak bisa sering, kan?”
“Tinggal satu kota juga kita jarang ketemuan, kan? Sama aja kok. Nggak mungkin lah aku lupa sama kamu. Seperti biasa aja, ya, memang lebih jauh.”
Gadis masih tetap pada pendiriannya. Egonya benar-benar tak bisa mereda.
“Aku nggak bisa, Ta.”
“Tapi kamu tahu ini mimpi aku, Dis. Bagaimanapun juga aku akan tetap pergi.”
“Baiklah. Take care and good luck.”
Di hari kepergian Genta, tak ada sosok Gadis mengantar Genta. Tak ada perempuan yang Genta cintai melepas kepergiannya. Genta kecewa. Sementara itu, isakan tangis Gadis masih menggema di kamarnya.
Genta tahu, Gadis bukan tipikal orang yang suka marah berlama-lama, dan juga bukan orang yang suka diintrogasi saat marah. Maka dari itu, Genta membiarkannya melarutkan diri dengan kesedihannya. Ya, Genta berani taruhan kalau Gadis pasti sedang bersedih. Tidak, Genta tidak secuek itu, Genta terus memantau keadaan pacarnya dengan mengubungi sahabat-sahabat Gadis yang selalu menemani Gadis selepas Genta pergi. Hanya untuk memastikan bahwa Gadis tidak melakukan hal-hal yang nekad. Terjun dari balkon rumahnya, mungkin. Tidak, Gadis tidak mungkin melakukan itu.
Genta sangat sibuk dengan pekerjaan baru yang tentu saja membuat waktunya habis untuk belajar hal-hal baru, ditambah masa adaptasi dengan orang-orang dan lingkungan baru di Bangkok. Semuanya kini sudah baru, bagi Genta. Namun tidak dengan Gadis. Gadis masih terpuruk dengan kepergian Genta, ia tak habis pikir, mengapa bisa-bisanya Genta meninggalkannya. Sampai satu hari, dua bulan setelah mereka hilang komunikasi, Rachelline, sahabat Gadis bertanya.
“Dis, gue baru aja dapat kabar kalau gue diterima buat jadi asisten designer di Paris. Menurut lo, ambil nggak ya? Gue ragu buat ninggalin Indonesia, ninggalin keluarga, ninggalin sahabat-sahabat baik gue di sini.”
“Gila ya looo… Ya ambil lah, ini kan mimpi lo, Chell. Di sini lo udah belajar banyak soal dunia fashion, ditambah pengalaman lo di bidang modeling, plus, lo kan cantik, udah cocok deh buat ngehits di Paris sana. Kalau keluarga, coba diobrolin aja dulu, kalau gue nih, mewakili Irene dan Sari, pasti dukung lo banget, bisa aja kan kalau nanti kita ngunjungin lo di Paris sekalian liburan? Lagian kita kan masih bisa ngerumpi bareng via Google Hangout. Gue bangga sama lo, Chell.” Gadis bangkit untuk memeluk sahabatnya itu.
“Tapi Paris kan jauh, Dis”
“Nggak usah kebanyakan tapi tapi, deh, pesawat masih bisa ke Paris, kan? Udah deh, kecuali kalau lo di planet lain, baru deh ribet”
“Kok lo nggak bisa ngelakuin hal ini ke Genta?”
Gadis melepas pelukannya dan terdiam beberapa saat.
“Sorry, Dis.”
“Maaf banget kalau gue terpaksa ngomong gini. Karena gue sayang banget sama lo, sama Genta juga, dia kan sahabat gue juga dari jaman SD.” Rachelline melanjutkan omongannya. Gadis hanya bisa diam.
Huh. Benar juga sih apa kata Rachelline. Genta juga punya mimpi, dan mimpinya sudah jadi kenyataan. Bangkok pun lebih dekat daripada Paris. Google Hangout bisa membuat komunikasi mereka lancar. Tapi kenapa Gadis seolah tak rela melepas Genta? Lihat sekarang, memangnya jadi lebih baik? Tidak. Gadis tahu sekarang keadaan tidak lebih baik, ia merasa kesepian. Tak ada lagi semangat dari Genta, tak ada lagi obrolan random yang bisa membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Genta. Hanya Genta yang Gadis butuhkan.
“Genta lagi apa? Aku minta maaf.”
Dan semuanya kembali normal. Genta memaafkan Gadis, dan hubungan mereka berlangsung seperti sedia kala. Ada tawa, ada semangat, ada kehangatan, ada cinta yang akhirnya menyatukan mereka kembali.
“Strawberry Pancake-nya, Mbak. Selamat menikmati.” Sapaan pelayan kedai membuyarkan lamunan Gadis.
“Sayang, aku punya surprise buat kamu. Mudah-mudahan kamu suka ya.” Genta menyerahkan sebuah amplop. Di dalamnya terdapat sebuah jadwal perjalanan.
“History Tour The Beatles 2014? Ini serius?”
“Kamu bisa contreng salah satu bucket list kamu juga, foto di Abbey Road, kan?”
“Bukan cuma itu, pokonya menjelajahi sejarah The Beatles!”
“Iya iya. Jadi, mau kan pergi sama aku?”
“Kamu tahu kan aku nggak mungkin nolak. Eh, tapi kok ke Hamburg juga sih, Ta?”
“Soalnya John Lennon pernah bilang, ‘Aku tumbuh di Hamburg, bukan Liverpool’, makanya kita bakalan ke Hamburg. Terus ke Penny Lane, Strawberry Field, Cavern Club, dll deh, pasti seru.”
“Aaaah. Makasih ya, Ta. Kali ini kamu nggak cuma wujudin mimpi kamu, tapi juga mimpi aku. Mimpi kita”
“A dream you dream alone is only a dream. A dream you dream together is reality.” ― John Lennon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H