Mohon tunggu...
Afriza Yohandi Putra
Afriza Yohandi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

NIM : 43223110005 | Program Studi : Sarjana Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Jurusan : Akuntansi | Universitas : Universitas Mercu Buana | Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus G Peter Hoefnagels pada skema "Criminal Policy" di Ruang Publik di Indonesia

7 Desember 2024   18:44 Diperbarui: 7 Desember 2024   19:23 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Ruang publik merupakan arena sosial di mana berbagai interaksi, aktivitas, dan konflik terjadi. Keamanan dan keteraturan ruang publik menjadi perhatian utama dalam sistem sosial dan hukum. Dalam konteks ini, diskursus tentang kebijakan kriminal atau criminal policy menjadi relevan sebagai pendekatan untuk menganalisis dan mengelola kejahatan. Salah satu pemikir yang memberikan kontribusi penting dalam memahami kebijakan kriminal adalah G. Peter Hoefnagels.

Hoefnagels mendefinisikan kebijakan kriminal sebagai respons sosial yang terorganisir secara rasional terhadap kejahatan. Konsep ini tidak hanya menyoroti peran hukum pidana, tetapi juga pendekatan preventif dan pengaruh masyarakat.

Gambar Pribadi
Gambar Pribadi

What: Pemahaman Tentang Skema "Criminal Policy" G. Peter Hoefnagels

Skema "Criminal Policy" yang dikembangkan oleh G. Peter Hoefnagels merupakan suatu kerangka teori yang dirancang untuk memahami dan merumuskan kebijakan publik dalam menanggapi fenomena kejahatan. Dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime, Hoefnagels menyatakan bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) adalah suatu pendekatan rasional yang berfokus pada respons terhadap kejahatan dalam masyarakat. Hoefnagels mengungkapkan empat prinsip dasar dalam kebijakan kriminal, yang menjadi landasan penting dalam skema pemikirannya. Empat prinsip tersebut adalah:

  1. Kebijakan kriminal adalah ilmu tentang respons: Hoefnagels menyatakan bahwa kebijakan kriminal berfokus pada respons yang diterapkan oleh masyarakat atau negara terhadap kejahatan. Ini mencakup segala upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, mulai dari pencegahan hingga pemberian hukuman bagi pelaku kejahatan.
  2. Kebijakan kriminal adalah ilmu pencegahan kejahatan: Pencegahan menjadi salah satu tujuan utama dalam kebijakan kriminal. Dalam skema ini, pencegahan kejahatan dianggap sebagai tindakan yang lebih baik daripada mengatasi kejahatan setelah terjadinya pelanggaran. Kebijakan kriminal harus dirancang untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kejahatan sejak dini, sebelum dampaknya terjadi di masyarakat.
  3. Kebijakan kriminal berfokus pada perilaku manusia yang dianggap sebagai kejahatan: Hoefnagels menekankan bahwa kebijakan kriminal berkaitan erat dengan penetapan perilaku manusia yang dianggap melanggar hukum. Sebuah tindakan yang dianggap sebagai kejahatan adalah perilaku yang membahayakan masyarakat dan bertentangan dengan norma sosial yang berlaku. Oleh karena itu, kebijakan kriminal harus dirancang untuk memberikan efek jera bagi individu yang melakukan kejahatan.
  4. Kebijakan kriminal adalah keseluruhan respons terhadap kejahatan: Kebijakan kriminal tidak hanya terdiri dari tindakan hukum semata, tetapi juga mencakup seluruh respons yang terorganisir untuk menangani kejahatan. Respons tersebut meliputi pencegahan, penanggulangan, rehabilitasi pelaku kejahatan, serta langkah-langkah yang melibatkan masyarakat dan lembaga terkait.

Elemen-Elemen Utama dalam Skema Criminal Policy Hoefnagels

Skema criminal policy Hoefnagels didasarkan pada pemahaman bahwa kebijakan terhadap kejahatan harus bersifat multidimensional dan tidak hanya berfokus pada pemberian hukuman. Ada beberapa elemen utama dalam skema ini yang perlu dipahami untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana kebijakan kriminal ini diterapkan dalam masyarakat:

  1. Hukum Pidana (Penal Law)
    Hukum pidana berfungsi sebagai dasar hukum dalam kebijakan kriminal. Hoefnagels memandang hukum pidana sebagai seperangkat aturan yang menjelaskan dan mengatur bagaimana masyarakat merespons tindakan kejahatan. Dalam skema ini, hukum pidana memberikan kewenangan kepada negara untuk menghukum individu yang melakukan pelanggaran hukum. Penerapan hukum pidana haruslah tegas dan adil untuk menciptakan efek jera, mengurangi tingkat kriminalitas, serta menjaga ketertiban sosial.
  2. Kriminologi
    Kriminologi berfokus pada studi mengenai fenomena kejahatan, penyebabnya, dan dampaknya terhadap masyarakat. Dalam skema Hoefnagels, kriminologi berperan penting dalam memahami perilaku kriminal dan kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan. Dengan pendekatan kriminologis, kebijakan kriminal dapat dibuat berdasarkan penelitian dan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan, seperti ketidaksetaraan sosial, kemiskinan, atau gangguan mental.
  3. Kebijakan Penal dan Non-Penal
    Kebijakan kriminal menurut Hoefnagels dapat dibagi menjadi dua jenis utama: penal dan non-penal. Kebijakan penal berfokus pada penerapan hukuman dan sanksi terhadap pelaku kejahatan, sedangkan kebijakan non-penal lebih mengarah pada langkah-langkah pencegahan yang tidak melibatkan hukuman langsung, seperti program rehabilitasi atau kebijakan sosial yang bertujuan untuk mengurangi kondisi sosial yang memicu kejahatan.
  4. Peran Pemerintah dan Masyarakat
    Dalam skema ini, Hoefnagels juga menekankan pentingnya peran pemerintah dan masyarakat dalam merancang kebijakan kriminal yang efektif. Pemerintah bertanggung jawab untuk menetapkan peraturan dan regulasi yang jelas mengenai kejahatan dan sanksi yang berlaku, sementara masyarakat memiliki peran penting dalam mendukung implementasi kebijakan tersebut, baik melalui pengawasan sosial maupun partisipasi dalam program pencegahan kejahatan.

Tiga Pilar Utama dalam Skema Criminal Policy Hoefnagels

  1. Pencegahan Kejahatan
    Skema kebijakan kriminal Hoefnagels sangat menekankan pentingnya pencegahan sebagai langkah utama. Dalam hal ini, pencegahan kejahatan mencakup upaya yang bersifat preventif untuk menghindari terjadinya kejahatan. Kebijakan ini bisa mencakup pendidikan, perubahan sosial, peningkatan kesadaran hukum, dan reformasi dalam sistem sosial yang mendasari terjadinya kejahatan. Hal ini juga terkait erat dengan upaya untuk mencegah kejahatan yang muncul karena kondisi sosial atau ekonomi yang buruk.
  2. Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil
    Setelah pencegahan, salah satu langkah utama dalam kebijakan kriminal adalah penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap pelaku kejahatan. Penegakan hukum ini tidak hanya melalui hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku, tetapi juga melalui sistem peradilan yang transparan dan tidak memihak. Hoefnagels menyarankan agar kebijakan kriminal tidak hanya reaktif, tetapi juga didukung dengan pencegahan yang mengedepankan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice), di mana upaya untuk memperbaiki kerugian akibat kejahatan dilakukan tanpa menanggalkan prinsip keadilan.
  3. Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial
    Selain penegakan hukum, salah satu tujuan penting dari kebijakan kriminal adalah rehabilitasi pelaku kejahatan. Ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terulangnya kejahatan yang sama di masa depan dan memberikan kesempatan bagi pelaku untuk kembali ke masyarakat dengan cara yang lebih positif. Rehabilitasi melibatkan perawatan psikologis, pendidikan, pelatihan keterampilan, serta program reintegrasi sosial yang mendukung pelaku kejahatan untuk memperoleh kesempatan hidup yang lebih baik setelah menjalani hukuman.

Gambar Pribadi
Gambar Pribadi

Why: Mengapa Criminal Policy Penting untuk Ruang Publik di Indonesia?

Indonesia sebagai negara dengan populasi besar dan beragam menghadapi berbagai tantangan dalam mengelola ruang publik. Kejahatan seperti pencurian, vandalisme, pelecehan seksual, dan konflik sosial sering terjadi di tempat umum. Oleh karena itu, penerapan kebijakan kriminal menjadi penting untuk menjaga ketertiban dan keamanan ruang publik.

A. Sebab-Sebab Kejahatan di Ruang Publik

Hoefnagels mengidentifikasi beberapa teori penyebab kejahatan yang relevan di ruang publik, yaitu:

  1. Teori Biologis/Psikologis: Kejahatan mungkin dipengaruhi oleh faktor genetik atau gangguan psikologis individu.
  2. Teori Sosiologis: Lingkungan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi, memengaruhi perilaku kriminal.
  3. Teori Penyimpangan Budaya: Norma atau nilai tertentu dalam masyarakat dapat mendorong perilaku yang dianggap menyimpang.
  4. Teori Kontrol Sosial: Kurangnya pengawasan atau kontrol sosial terhadap individu dapat meningkatkan peluang kejahatan.

B. Tantangan di Ruang Publik Indonesia

Beberapa tantangan utama dalam pengelolaan ruang publik di Indonesia meliputi:

  1. Kurangnya Infrastruktur Keamanan: Misalnya, minimnya pemasangan CCTV di area publik.
  2. Tumpang Tindih Regulasi: Inkonsistensi dalam penerapan hukum pidana, seperti dalam UU ITE atau UU TPKS.
  3. Kesadaran Hukum yang Rendah: Banyak masyarakat belum memahami hak dan kewajibannya di ruang publik

Gambar Pribadi
Gambar Pribadi

How: Penerapan Skema Criminal Policy di Ruang Publik di Indonesia (Pengembangan)

G. Peter Hoefnagels dalam skema criminal policy menekankan pentingnya pendekatan yang rasional dan terorganisir untuk merespons kejahatan dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, penerapan skema ini bisa dilakukan melalui beberapa langkah strategis, baik yang berbasis hukum (penal) maupun yang berbasis pencegahan (non-penal), serta integrasi kebijakan sosial. Penjelasan lebih lanjut mengenai penerapan skema ini di ruang publik Indonesia akan dibagi ke dalam tiga kategori besar: pendekatan penal, pendekatan non-penal, dan kolaborasi dengan kebijakan sosial

A. Pendekatan Penal: Penegakan Hukum dan Pemberian Sanksi

Pendekatan penal adalah salah satu elemen utama dalam skema kebijakan kriminal yang ditekankan oleh Hoefnagels. Dalam konteks ruang publik di Indonesia, pendekatan penal ini berfokus pada penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan. Penegakan hukum yang efektif dapat menciptakan efek jera dan mengurangi frekuensi kejahatan, khususnya di ruang publik yang sering menjadi lokasi kejahatan.

  1. Penegakan Hukum Pidana:

    • Penegakan hukum pidana yang tepat dan tegas dapat mengurangi prevalensi kejahatan di ruang publik. Misalnya, kejahatan seperti perampokan, pencurian, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga, semua dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Implementasi yang konsisten dari sanksi hukum ini harus dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa.
    • Contoh kasus: Pemberian hukuman yang adil terhadap pelaku pelecehan seksual di transportasi umum yang diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) atau UU Perlindungan Anak. Penegakan hukum dalam kasus ini akan memberi pesan yang jelas bahwa kejahatan tersebut tidak akan ditoleransi.
  2. Peningkatan Efektivitas Peradilan Pidana:

    • Dalam kerangka criminal policy, peran lembaga peradilan, baik itu pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi, sangat penting untuk memastikan bahwa hukum dilaksanakan secara adil. Reformasi peradilan yang mengutamakan transparansi dan keadilan dapat mengurangi ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
    • Kasus yang relevan: Penyelesaian kasus-kasus kejahatan di ruang publik, seperti perundungan di sekolah atau kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan individu yang memiliki kedudukan tinggi. Hal ini menunjukkan perlunya mekanisme peradilan yang efektif agar pelaku mendapatkan sanksi yang sesuai dengan hukum.
  3. Penegakan Peraturan Lalu Lintas dan Keamanan Umum:

    • Kebijakan penal juga mencakup penegakan peraturan lalu lintas yang dapat mencegah kecelakaan lalu lintas dan meningkatkan keselamatan di jalan. Di Indonesia, penerapan sanksi tegas dalam kasus pelanggaran lalu lintas melalui tilang atau hukuman administratif menjadi penting untuk menjaga ketertiban dan mengurangi kecelakaan di ruang publik.

B. Pendekatan Non-Penal: Pencegahan dan Pemberdayaan Sosial

Hoefnagels menekankan bahwa kebijakan kriminal tidak hanya fokus pada sanksi pidana, tetapi juga harus melibatkan langkah-langkah pencegahan yang dapat mencegah terjadinya kejahatan sejak awal. Pendekatan non-penal ini lebih menitikberatkan pada upaya untuk mencegah kejahatan dengan merubah kondisi sosial dan lingkungan, bukan hanya memberikan hukuman.

  1. Pencegahan Kejahatan melalui Pendidikan dan Kampanye Sosial:

    • Salah satu cara yang efektif dalam pencegahan kejahatan adalah dengan memberikan pendidikan hukum dan sosial kepada masyarakat. Di Indonesia, program-program kesadaran hukum seperti kampanye anti-pelecehan seksual, kampanye keselamatan berkendara, dan sosialisasi terkait hak asasi manusia dapat membantu mengurangi kejadian-kejadian kejahatan di ruang publik.
    • Contoh penerapan: Kampanye yang dilakukan oleh LSM atau pemerintah tentang pentingnya menjaga keselamatan di ruang publik dan mengedukasi masyarakat tentang konsekuensi hukum dari tindakan kriminal, seperti pencurian atau vandalisme.
  2. Peran Teknologi dan Infrastruktur dalam Pencegahan:

    • Infrastruktur yang memadai juga sangat berperan dalam pencegahan kejahatan. Sebagai contoh, pemasangan CCTV di ruang publik seperti taman kota, stasiun kereta, dan pusat perbelanjaan dapat mengurangi kejahatan dan meningkatkan pengawasan.
    • Pemasangan lampu jalan di tempat-tempat gelap atau rawan kejahatan juga dapat meningkatkan rasa aman di ruang publik. Dengan menggunakan teknologi, kejahatan dapat dicegah lebih dini, dan jika terjadi, pelaku dapat dengan cepat dilacak.
    • Contoh di Indonesia: Beberapa kota besar seperti Jakarta dan Surabaya telah memanfaatkan CCTV untuk memantau keamanan di jalanan dan pusat kota, yang membantu mengurangi angka kriminalitas.
  3. Pemberdayaan Komunitas dan Kepemilikan Sosial:

    • Hoefnagels juga menunjukkan bahwa kebijakan kriminal yang efektif harus melibatkan masyarakat dalam menjaga keamanan ruang publik. Pendekatan community policing atau kepolisian berbasis komunitas dapat digunakan untuk mendorong masyarakat untuk terlibat langsung dalam pengawasan lingkungan mereka.
    • Contoh penerapan: Program RW Aman atau Komunitas Peduli Keamanan yang melibatkan warga dalam memantau dan menjaga ketertiban di lingkungan mereka. Melalui pendekatan ini, masyarakat diharapkan dapat mencegah kejahatan ringan seperti pencurian atau perkelahian di area pemukiman.
  4. Meningkatkan Kesejahteraan Sosial sebagai Pencegahan Kejahatan:

    • Hoefnagels juga menekankan hubungan antara kesejahteraan sosial dan pengurangan tingkat kejahatan. Kebijakan yang memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial dapat mengurangi motivasi untuk melakukan kejahatan. Program-program pemerintah yang mendukung pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi di daerah-daerah marginal akan membantu mencegah kejahatan yang berakar pada ketimpangan sosial.
    • Contoh penerapan: Program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan subsidi pangan yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin, yang pada gilirannya mengurangi potensi kejahatan.

C. Kolaborasi dengan Kebijakan Sosial: Sinergi untuk Keamanan Ruang Publik

Kebijakan sosial dan kebijakan kriminal harus berjalan beriringan untuk menciptakan ruang publik yang aman dan tertib. Hoefnagels menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial, karena banyak kejahatan yang muncul akibat ketidakadilan sosial, kemiskinan, atau kekurangan kesempatan.

  1. Program Perlindungan Sosial untuk Mencegah Kejahatan:

    • Pembangunan ekonomi yang inklusif dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dapat mengurangi faktor pendorong kejahatan. Program bantuan langsung tunai (BLT), pelatihan keterampilan, dan pemberdayaan ekonomi sangat penting untuk mengatasi masalah sosial yang menjadi akar penyebab kejahatan.
    • Contoh di Indonesia: Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan kepada keluarga miskin selama pandemi COVID-19 membantu meringankan beban ekonomi, yang dapat mengurangi tekanan sosial yang seringkali mendorong individu untuk beralih ke kejahatan.
  2. Kolaborasi Antar Lembaga Pemerintah dan Swasta:

    • Kerjasama antar lembaga pemerintahan, LSM, dan sektor swasta dalam merancang kebijakan sosial yang mendukung ketertiban umum adalah kunci sukses dalam pengelolaan ruang publik yang aman.
    • Contoh penerapan: Kolaborasi antara Kepolisian, Dinas Perhubungan, dan pihak swasta untuk menciptakan sistem transportasi umum yang aman dan nyaman, sehingga mengurangi kasus-kasus kejahatan di transportasi umum, seperti pencurian atau pelecehan seksual.
  3. Penguatan Sistem Keamanan Masyarakat:

    • Mengoptimalkan peran aparat keamanan, seperti Polisi Sektor dan Satpol PP, serta melibatkan masyarakat dalam pengawasan lingkungan sekitar adalah bagian dari pendekatan sosial yang akan meningkatkan rasa aman dan mengurangi tindak kejahatan.

Daftar Pustaka

  1. Hoefnagels, G. Peter. White Collar Crime of Rotterdam Criminologist. Rotterdam: Academic Press, 1981.
  2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
  3. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE.
  4. Soerjono Soekanto. Kriminologi. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
  5. Harkristuti Harkrisnowo. "Kebijakan Kriminal di Indonesia: Pendekatan Penal dan Non-Penal." Jurnal Kriminologi Indonesia, 2019.
  6. Mulyadi, Lilik. Pengantar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun