Mohon tunggu...
Afriza Rakka Putra
Afriza Rakka Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo Rakka disini, saya cuma mau menyampaikan rasa terimakasih saya yang sebesar-besarnya karena sudah mau mengunjungi blog saya semoga bermanfaat udah itu saja dari saya karena saya aslinya introvert jadi gabisa panjang lebar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Politik Islam: Lintasan Panjang Sejarah

5 Juli 2024   22:47 Diperbarui: 5 Juli 2024   22:58 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemikiran politik Islam memiliki sejarah panjang dan kaya, terbentang dari masa Khulafaur Rasyidin hingga era demokrasi modern. Dalam perjalanannya, pemikiran ini mengalami berbagai perkembangan dan dinamika, merespon konteks sosial, politik, dan intelektual yang berbeda pula. Seiring berjalannya waktu, pemikiran politik Islam tidak hanya mengalami perubahan bentuk tetapi juga substansi, menjadikannya sebagai salah satu disiplin yang dinamis dalam studi Islam.

Masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M)

Masa Khulafaur Rasyidin, empat khalifah penerus Nabi Muhammad SAW, menandai periode awal dalam sejarah pemikiran politik Islam. Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib menerapkan prinsip-prinsip musyawarah (syura) dan pemilihan pemimpin (bai'at), yang menjadi fondasi penting bagi perkembangan pemikiran demokrasi dalam Islam. Selama masa ini, keputusan-keputusan politik dan administrasi diambil melalui proses konsultatif, di mana para sahabat Nabi dan pemimpin umat terlibat aktif dalam memberikan saran dan pandangan.

Pada masa ini, nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, dan tanggung jawab sosial ditekankan dalam pengelolaan negara. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, dikenal dengan reformasi-reformasi administratifnya yang memastikan pemerintahan berjalan secara adil dan transparan. Khalifah Ali bin Abi Thalib juga memberikan kontribusi penting dengan penekanannya pada prinsip keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak individu.

Era Dinasti dan Kekhalifahan (661-1258 M)

Memasuki era dinasti dan kekhalifahan, seperti Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah, sistem pemerintahan Islam mengalami pergeseran. Dinasti Umayyah, yang berpusat di Damaskus, memperkenalkan model pemerintahan monarki dengan kekuasaan yang lebih terpusat. Sementara itu, Dinasti Abbasiyah, yang berpusat di Baghdad, dikenal dengan kemajuan intelektual dan kebudayaannya, di mana pemikiran politik Islam berkembang pesat dengan munculnya berbagai mazhab fiqih dan pemikiran filosofis.

Para sarjana seperti Al-Mawardi dan Ibn Khaldun memberikan kontribusi besar dalam pemikiran politik Islam pada masa ini. Al-Mawardi, dalam karyanya "Al-Ahkam al-Sultaniyyah", membahas tentang prinsip-prinsip pemerintahan Islam dan kriteria seorang pemimpin yang ideal. Ibn Khaldun, melalui karyanya "Muqaddimah", memperkenalkan teori-teori sosiologi dan politik yang menjadi rujukan penting hingga kini.

Pada masa ini, terjadi perdebatan intens tentang hubungan antara kekuasaan politik dan otoritas keagamaan. Beberapa kalangan menekankan pentingnya legitimasi keagamaan dalam pemerintahan, sementara yang lain lebih fokus pada aspek-aspek praktis dan administratif dalam pengelolaan negara.

Masa Modern dan Kontemporer (1258 M - Sekarang)

Masa modern dan kontemporer ditandai dengan interaksi Islam dengan dunia Barat dan munculnya berbagai gerakan pemikiran baru. Invasi Mongol dan jatuhnya Baghdad pada tahun 1258 menandai berakhirnya era kekhalifahan Abbasiyah, namun pemikiran politik Islam terus berkembang di berbagai wilayah seperti Andalusia, Turki Utsmani, dan Mughal di India.

Pada masa ini, pemikiran politik Islam mulai berinteraksi dengan ide-ide Barat, terutama setelah era kolonialisme. Para pemikir seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Fazlur Rahman Khan berupaya memodernisasi pemikiran politik Islam dengan merespon tantangan-tantangan baru seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan hubungan agama-negara.

Muhammad Abduh, misalnya, menekankan pentingnya ijtihad (pemikiran independen) dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam konteks modern. Rasyid Ridha, murid Abduh, melanjutkan upaya tersebut dengan menekankan pentingnya reformasi politik dan sosial dalam masyarakat Muslim. Fazlur Rahman Khan, dengan pendekatan kontekstualnya, berusaha menjembatani antara tradisi dan modernitas dalam pemikiran politik Islam.

Demokrasi Modern dan Islam

Demokrasi modern, dengan prinsip-prinsip seperti kedaulatan rakyat, pemilihan umum, dan akuntabilitas pemerintahan, menjadi salah satu isu sentral dalam pemikiran politik Islam kontemporer. Terdapat berbagai perspektif dalam memandang hubungan antara demokrasi dan Islam. Beberapa berpandangan bahwa demokrasi sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti musyawarah dan keadilan. Mereka melihat prinsip syura sebagai cikal bakal dari demokrasi, di mana keputusan diambil melalui konsultasi dan partisipasi publik.

Di sisi lain, ada pula yang melihat demokrasi sebagai sistem yang bertentangan dengan syariat Islam, terutama jika demokrasi dianggap mengabaikan otoritas hukum Islam. Para pendukung pandangan ini berpendapat bahwa sistem pemerintahan harus berdasarkan hukum syariah yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis, bukan dari kehendak mayoritas.

Tantangan dan Masa Depan

Pemikiran politik Islam terus berkembang dan menghadapi berbagai tantangan, seperti isu radikalisme, pluralisme agama, dan modernitas. Tantangan radikalisme mengharuskan pemikiran politik Islam untuk menegaskan kembali prinsip-prinsip keadilan, perdamaian, dan toleransi yang terkandung dalam ajaran Islam. Pluralisme agama menuntut pemahaman yang lebih inklusif dan dialogis terhadap perbedaan kepercayaan dan praktik beragama.

Modernitas, dengan segala kompleksitasnya, membawa tantangan tersendiri bagi pemikiran politik Islam. Perubahan sosial, teknologi, dan budaya menuntut adanya penafsiran baru yang relevan dan kontekstual terhadap ajaran-ajaran politik dalam Islam. Para pemikir kontemporer terus berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan pendekatan yang lebih dinamis dan inovatif.

Dalam rangka menjawab tantangan-tantangan ini, dialog dan pemahaman yang mendalam antar berbagai pihak menjadi kunci untuk merumuskan pemikiran politik Islam yang kontekstual, relevan, dan dapat menjawab tantangan zaman. Upaya-upaya untuk memadukan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi modern, hak asasi manusia, dan keadilan sosial menjadi sangat penting dalam konteks ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun