Mohon tunggu...
Afrizal Harun
Afrizal Harun Mohon Tunggu... Penggiat Seni Teater -

bekerja di komunitas seni HITAM-PUTIH Sumatera Barat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Episode Toliet

23 Juli 2013   04:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:11 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

kakusku kamusku
dalam sepersekian detik tinja itu dimuntahkan
bagaikan orkestrasi waktu coba hantarkan kita pada sendiri
dalam setiap imajinasi-imajinasi
melalui kisah-kisah yang teramat menggetarkan
nyanyian pesing terasa begitu sumbang
deras berkeringat juga sesak di dada
peradaban kuno tentang manusia yang selalu muncrat pada matahari

kamusmu kakusku
defenisi-definisi hanyalah lembaran kata penuh sangsi
teori-teori dipenuhi retorika yang selalu lari dari kenyataan, diri
sementara fakta dan logika selalu dibunuh atas nama selera hari ini
menelannya tanpa basa-basi
dicerna dalam lambung kehidupan secara instan
berulang-ulang tiada henti setiap detik
detak kita hanya menyisakan nurani yang salah kaprah
lalu, kembali muncrat tatkala kita terbangun dari mimpi

kamusku kakusmu
apa berita hari ini di media televisi?
apa rencana kekuasaan dalam setiap pencitraannya disurat kabar?
apakah matahari begitu beraneka warna hari ini?
atau rembulan yang selalu menjadi inspirasi para pemimpi di malam hari
kenapa kemiskinan menjadi hantu-hantu yang begitu menakutkan?
sementara kekayaan diumbar layaknya barang antik
kesadaran terlihat aneh, nurani seperti kehilangan arah mata angin
tetap saja muncratmu membekas pada dinding-dinding kemunafikan
lalu Tuhan tetap bersandar, bersemayam pada altar
menunggu ratap setiap insan tentang dosa-dosa
begitu sulit mencium pahala
karena muncratmu begitu memperhitungkan di mana letak sorga dan neraka

kakusmu kamusmu
seperti berjalan pada garis tak berujung
bersama wajah-wajah dilumuri topeng yang penuh gelak
sementara diri tertatih-tatih ingin menggapai asa
namun pintu itu telah tertutup rapat
terkurung di luar sehingga kita sulit mengerti esensi di dalam
benak ditusuk berjuta jarum, perlahan menembus ruang dan waktu
darah menjadi nanah, pekat
busuk itu kembali muncrat bagaikan sangkakala kematian
episode itu telah berakhir tanpa arti
tragis benar
memang

Padangpanjang
14-07-2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun