Kita pasti tahu tentang banyak permasalahan di negeri kita tercinta ini. Setiap hari, berita menampilkan berbagai peristiwa yang mengguncang dan menyayat hati hingga kita lupa pada beberapa masalah yang jarang dimunculkan di linimasa kini. Padahal hal tersebut hampir setiap hari dijumpai, tapi jarang sekali disadari, yakni perilaku merokok sejak dini.
Saat ini, perilaku merokok yang biasa dilakukan oleh orang dewasa, kini juga menjamur di kalangan generasi muda. Hampir susah menemukan generasi muda yang tidak melakukan kegiatan merokok di masa sekarang. Mirisnya lagi, rata-rata dari mereka mengenal rokok dari orang terdekat dan memperhatikan perilaku merokok mereka, lalu mencoba sendiri dan tak dapat berhenti hingga sekarang.
Berdasarkan survei GYTS (Global Youth Tobacco Survey) pada 2019, 19,2% dari 5.125 remaja umur 13-15 tahun tercatat mengonsumsi barang hasil olahan tembakau, baik rokok konvensional maupun elektrik. Dampak dari hal tersebut masih dirasakan hingga sekarang di mana semakin banyak anak muda yang terpapar dan mengonsumsi rokok. Alasan yang diberikan pun bermacam-macam. Namun, rata-rata menjawab karena ingin mengisi ‘kekosongan’ waktu saat beraktivitas. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan di benak sebagian besar masyarakat. Apakah benar alasannya hanya sesederhana itu?
Cukup banyak kegiatan lain yang bisa dilakukan dibandingkan menghabiskannya dengan merokok. Tentunya, alasan tersebut kurang bisa diterima oleh masyarakat. Persoalan ini bukan tanpa sebab karena rokok disinyalir tidak hanya menimbulkan kerugian bagi penggunannya sebagai perokok aktif, namun juga bagi orang di sekitar yang terkena paparan asap rokoknya, di mana mereka ini berpotensi menjadi perokok pasif.
Kita sebagai masyarakat yang melek teknologi pasti mengetahui dampak dari menjadi seorang perokok pasif. Perokok pasif justru memiliki risiko tiga kali lipat lebih besar terpapar zat berbahaya yang terkandung di dalam rokok akibat dari paparan asap rokok dari perokok aktif karena asapnya mengandung zat buangan yang tidak terfilter yang pastinya berbahaya bagi tubuh. Apalagi menurut data yang dilansir dari WHO dan Kemenkes Indonesia, prevalensi perokok pasif pada 2022 naik menjadi 120 juta orang dan terdapat 65 ribu orang yang meninggal akibat menjadi perokok pasif di tiap tahunnya. Hal ini tentunya mengindikasikan bahwa permasalahan rokok ini sangatlah serius seakan menjadi “silent killer” karena adanya faktor penyakit tidak menular yang semakin parah akibat paparan asap rokok terus-menerus.
Berbagai cara telah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah, salah satunya adalah kebijakan Kawasan Tanpa Rokok. Pada pagelaran ICTOH (Indonesian Conference on Tobacco or Health) ke-7 yang bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 31 Mei 2022, Direktur Jenderal P2P Kemenkes RI, Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., MARS., menyatakan bahwa prevalensi perokok di Indonesia sudah menjadi ancaman serius, khususnya bagi kualitas SDM di Indonesia karena adanya peningkatan konsumsi rokok yang didominasi remaja usia 10-18 tahun. Hal ini diperparah dengan potensi perokok pasif yang sudah disebutkan di atas karena terpapar asap rokok di rumah dan tempat-tempat umum. Oleh karena itu, kebijakan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) patut digalakkan guna meminimalisasi prevalensi perokok aktif maupun pasif di masa depan.
Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 dan PP No. 109 Tahun 2012 yang mewajibkan pemerintah daerah uuntuk menerapkan KTR di wilayahnya di tempat-tempat umum, seperti fasilitas kesehatan, tempat belajar-mengajar, dan lain sebagainya. Meskipun begitu, masih banyak pro dan kontra yang diperdebatkan, khususnya oleh kalangan perokok aktif dan masyarakat luas yang menginginkan bahwa penerapan KTR ini bisa dianggap adil bagi kedua pihak.
Oleh karena itu, kita akan melihatnya melalui kajian Ekologi Budaya J. W. Bennett. J.W Bennett merupakan seorang Antropolog asal Amerika di mana beliau menekankan teorinya pada adaptasi guna dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang terjadi, di mana beliau membaginya menjadi tiga aspek, yaitu perilaku adaptif (adaptive behavior), strategi adaptif (adaptive strategy), dan proses adaptif (adaptive processes).
Langkah awal dilihat dari perilaku adaptif dari sebagian masyarakat yang ingin menjadi kader perubahan setelah melihat segala kerugian yang ditimbulkan oleh rokok, entah berasal dari pengetahuan maupun pengalaman yang bisa membentuk suatu perilaku adaptif di mana seseorang ingin berubah ataupun mengajak individu lain untuk ikut berubah menjadi lebih baik dengan mewujudkan dunia yang lebih tanpa asap rokok.
Setelah timbul pemikiran seperti yang disebutkan di atas, maka langkah selanjutnya adalah menyiapkan strategi adaptif terkait hal-hal yang perlu dilakukan agar tujuan yang diinginkan bisa tercapai. Dalam membersihkan dunia dari rokok, tentunya tidak bisa dilakukan oleh segelintir orang, namun harus melibatkan banyak pihak yang saling bahu-membahu dalam mewujudkan hal tersebut. Strategi yang bisa diimplementasikan, salah satunya adalah kebijakan Kawasan Tanpa Rokok, yang dinilai dapat menghormati kedua pihak, baik perokok aktif dan perokok pasif. Demi menjaga agar tidak adanya kesalahpahaman, pemerintah daerah biasanya mengadakan sosialisasi kepada masyarakat dengan mengajak tokoh-tokoh penting di masyarakat agar ikut menyuarakan tentang hal ini sehingga peraturan KTR ini bisa dijalani secara optimal. Hal ini selaras dengan pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Nanik Sukrsitina, setelah peresmian Perwali Surabaya No. 110 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Perda Kota Surabaya No. 2 Tahun 2019 Tentang Kawasan Tanpa Rokok, di mana pihaknya sudah melakukan sosialisasi melalui media luring maupun daring. Strategi-strategi di atas dapat diindikasikan sebagai penyebarluasan informasi demi terciptanya perilaku adaptif demi mencapai tujuan baik bersama.
Setelah melakukan strategi-strategi seperti contoh di atas, barulah dilanjutkan ke tahap selanjutnya, yaitu proses adaptasi, di mana pada tahap ini merupakan tahap menunggu proses dari strategi-strategi yang sudah dipaparkan dapat diterapkan dengan baik oleh masyarakat, khususnya bagi kaum perokok aktif. Namun, dengan banyaknya fakta, seperti yang dilansir dari 133 Pemda di Indonesia yang belum memiliki aturan KTR di daerahnya sehingga diharapkan segera membentuk peraturan KTR sesuai amanat Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Hal ini dikatakan oleh Direktur Produk Hukum Daerah Kemendagri, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Makmur Marbun, saat melaksanakan rapat koordinasi bersama para kepala dinas kesehatan serta kepala biro hukum sekretariat daerah provinsi dan kabupaten/kota dari empat provinsi dan 18 kabupaten/kota pada 21 November 2022.