Mohon tunggu...
Afrizal FadhilaIlyas
Afrizal FadhilaIlyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa hki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pencatatan Perkawinan di Indonesia

21 Februari 2024   22:50 Diperbarui: 22 Februari 2024   15:54 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Sejarah Pencatatan Perkawinan

Undang-undang pertama pencatatan perkawinan adalah undang- undang nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan perkawinan. Undang- undang ini berlaku hanya di pulau Jawa. Setelah Indonesia merdeka, lahirlah undang-undang nomor 32 tahun 1945 tentang pencatatan nikah. talak dan rujuk.

Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini diikuti dengan lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang No. 1 Tahun 1975 yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 ini adalah Undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur- unsur dalam perkawinan dan perceraian.

Kehadiran Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini disusul dengan lahirnya Peraturan Pelaksanaannya dengan PP No. 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang kemudian disusul dengan keluarnya PMA dan Mendagri. Bagi Umat Islam diatur dalam PMA No. 3 Tahun 1975 tentang kewajiban pegawai-pegawai nikah dan tata kerja pengadilan agama dalam melaksanakan peraturan perundang- undangan perkawinan yang beragama islam, kemudian diganti dengan PMA No. 2 Tahun 1990 tentang kewajiban PPN. Bagi yang beragama. selain islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221 a Tahun 1975, tanggal 01 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian. pada Kantor Catatan Sipil.

Pada bulan juli 1973. Pemerintah Republik Indonesia kembali mengajukan sebuah RUU yang terkenal dengan Rancangan Undang- undang Perkawinan kepada DPR-RI dan setelah mendapat banyak sekali tanggapan pro dan kontra mengenai beberapa bagian penting Materi RUUP tersebut baik di dalam DPR maupun di dalam masyarakat, namun akhirnya dicapailah suatu konsensus yang membawa pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya, sehingga tercapai juga kata mufakat di antara para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah mengundangkan Undang-undang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara yang kebetulan nomor dan tahunnya. sama dengan nomor dan tahun Undang-undang perkawinan tersebut yakni Nomor 1 Tahun 1974. Pada tanggal 1 April 1975, setelah 1 tahun 3 bulan undang-undang perkawinan ini diundangkan, lahir Peraturan Pemerintah Nomor 1975 undang-undang nomor 1 Tahun 1974 itu telah dapat berjalan. secara efektif.


B. Urgensi Pencatatan Pernikahan


Pencatatan perkawinan dilakukan oleh  Kantor Pendaftaran Departemen Agama (KUA) bagi umat Islam, dan oleh pejabat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) bagi non-Muslim. Pencatatan pernikaan penting dilaksanakan Karena Untuk memperoleh akta perkawinan sebagai bukti perkawinan yang sah, suatu pasangan  harus mencatatkan perkawinannya pada negara. Perkawinan yang tidak dicatatkan pada negara dianggap tidak sah secara hukum. Hal ini diatur dalam UU Perkawinan.Dengan mengacu pada undang-undang ini, setiap perkawinan atau upacara perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan yang bersangkutan serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing (Pasal 2 ayat(1)). Ketentuan pasal ini bermakna bahwa suatu perkawinan yang telah dilakukan menurut tata cara dan aturan serta kebiasaan agamanya masingmasing, maka perkawinan tersebut adalah sah. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Pasal ini mempunyai makna, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing, namun demikian suatu perkawinan belum dapat diakui secara hukum positif yang berlaku di Indonesia, apabila perkawinan tersebut tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perkawinan  tidak dicatatkan  menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu. Akibat  tidak mengajukan pencatatan perkawinan adalah sebagai berikut: Pertama,  suami isteri itu tidak mempunyai bukti yang nyata bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan yang sah. Oleh karena itu, dari segi hukum, perkawinan  tidak diakui oleh pemerintah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam konteks ini, perkawinan  tidak dilindungi undang-undang bahkan dianggap tidak pernah ada.
Anak yang lahir dari perkawinan tanpa dicatatkan akan mengalami kesulitan dalam memperoleh akta kelahiran. Sebab, salah satu syarat untuk memperoleh akta kelahiran adalah surat nikah orang tua (surat nikah). Pada tingkat berikutnya, anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran akan kesulitan mendaftar sekolah, mengurus tunjangan keluarga, dan lain-lain.

Dalam hukum positif Indonesia, anak yang lahir dari perkawinan siri seringkali mengalami 'kerugian', khususnya dalam bidang hak waris (lihat kasus Maticha Moktar). Salah satu  kerugian yang dialami anak akibat perkawinan siri adalah sulitnya mendapatkan akta kelahiran, dan  nama orang tua yang tercantum dalam akta kelahiran biasanya adalah nama ibu. Dari segi psikologis, hal ini berdampak pada aspek psikologis anak.Sebab, jika masyarakat  menemukan akta kelahiran anak yang hanya mencantumkan nama ibu, maka masyarakat akan menganggap anak tersebut lahir di luar nikah. Anak-anak mengajukan pertanyaan tentang status mereka dalam keluarga dan status perkawinan  orang tua mereka. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip teori utilitarian, yang menyatakan bahwa orang bertindak sedemikian rupa sehingga memperoleh kesenangan sebanyak mungkin dan meminimalkan rasa sakit sebanyak mungkin.

C. Aspek Filosofis, Sosiologis, Religius, Yuridis


pencatatan perkawinan adalah bagian yang menentukan keabsahan suatu pernikahan yang memenuhi  syarat-syarat dan ketentuan pernikahan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Maka dari itu  dengan pencatatan pernikahan menjadi jelas keabsahannya, baik untuk para pihak yang bersangkutan. Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan dalam akta nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak oleh negara dan tidak mendapatkan kepastian hukum, dan dibawah ini adalah analisis tentang pencatatan pernikahan dari segi
Filosofis
Pencatatan pernikahan penting adanya untuk menjamin status hukum suami, istri maupun anak dalam rumah tangga dan menjamin hak waris mewarisi, hak nafkah hak surat akta kelahiran dan hak lainya, sehingga terjaminnya hak-hak tersebut bisa menciptakan rumah tangga yang damai bahagia lahir batin
Sosiologis
Disini laki- laki dan perempuan yang melangsungkan pernikahan tetapi tidak disaksikan dan tidak dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah/ PPN (nikah siri) seringkali mendapat perlakuan yang negatif dari masyarakat,  tidak adanya pengakuan dari masyarakat setempat mengenai suatu perkawinan yang berlangsung, kesehatan mental dari pihak suami dan istri maupun anak mereka mungkin akan terganggu karena secara tidak langsung mereka akan mendapat cemoohan dari masyarakat sekitar. sehingga berpengaruh pada istri dan menyebabkan sulit berinteraksi dengan masyarakat,  begitupun dengan anaknya yang lahir pada pernikahan yang tidak tercacat maka dianggap tidak sah secara yuridis, maka agar menciptakan kedamaian dan
 Religious (agama)
Dari sisi agama tidak begitu penting karena dalam agama keabsahan pernikahan dilihat dari pemenuhan syarat dan rukunya, jadi tetap sah walaupun tidak dicatatkan pernikahanya, tetapi dalam agama islampun menghendaki para pemeluknya untuk patuh pada peraturan yang ada agar tercapainya kenyamanan dan terjaminya kehidupan beragama
Yuridis

Kemudian secara yuridis, pencatatan pernikahan ini sangat ditekankan sekali. Pencatatan ini bertujuan sebagaiamana  fungsi negara yaitu menjamin perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pasal 281 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Dengan begitu, melalui pencatatan pernikahan  maka suatu pernikahan akan memiliki kepastian hak hak  dan kekuatan hukum, dan damapak negatif secara yuridis jika pernikahan tidak dicatatkan  yaitu perempuan tidak diakui dan tidak dianggap sebagai istri yang sah, ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari sang suami jika terjadi perceraian  atau di tinggal mati, selain itu istri tidak berhak atas harta bersama jika terjadi perceraian.
Kesimpulannya, setiap pernikahan harus dicatatkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, sesuai dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2, Pentingnya mencatatkan pernikahan  ini untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan bagi pihak yang melakukan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum.

Penulis

1. Afrizal Fadhila Ilyas_222121103

2.Muhammad Abdul Aziz_222121160

3.Fernica Berliana Elbitsa_222121152

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun