Mohon tunggu...
Afriza Hanifa
Afriza Hanifa Mohon Tunggu... Penulis, Ibu Rumah Tangga -

Stay-at-home mom, freelance writer, ex-journalist. Interested in writing, and love reading.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sistem Relawan untuk Menunjang PKH

2 Maret 2019   09:25 Diperbarui: 2 Maret 2019   09:49 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: freepik.com

Memberi dana bantuan hanyalah aksi jangka pendek, memberi harapan adalah aksi sebenarnya. Pemberian dibarengi edukasi lah yang akan memutus rantai panjang kemiskinan bertahun-tahun lamanya.

Kebermanfaatan Program Keluarga Harapan (PKH) sudah tak perlu lagi dipertanyakan. Dunia internasional bahkan mengakuinya. Terbukti adanya puluhan negara yang menggunakan program yang sama untuk memutus rantai kemiskinan. Tak percaya? Surfing saja browsermu dengan keyword: Conditional Cash Transfers. Negeri Paman Sam bahkan menerapkan program serupa.

Hanya saja, program yang diakui Bank Dunia ini masih perlu perhatian besar dalam pelaksanaannya. Perlu diakui bahwasanya memberi uang saja sejatinya bukanlah solusi bijak mengentaskan kemiskinan. Hanyalah ia solusi jangka pendek yang tak dapat diprediksi kapan ending-nya. Alih-alih sekedar dana cash, memberi harapan hidup sejahtera adalah tujuan utamanya.

Di Indonesia, tujuan ini jelas tergambar dari slogan PKH yakni memutus rantai kemiskinan. Artinya, ada tujuan jangka panjang yang ingin dicapai, yakni terputusnya tali panjang kemiskinan yang turun-temurun, dari generasi ke generasi. Ini bukanlah pekerjaan mudah karena rantai kemiskinan tak akan putus begitu saja jika mereka warga ekonomi kecil tak mampu dan tak peduli untuk memenuhi kebutuhan gizi, kesehatan, dan pendidikan anak-anak mereka.

Adanya Pendamping PKH merupakan ide brilian untuk prospek yang lebih jauh, yakni tujuan jangka panjang; mengentaskan kemiskinan. Dengan adanya pendamping, bukan hanya dana yang diberi, namun juga pembinaan menuju keluarga sejahtera. Pembinaan inilah kunci utama PKH demi terputusnya rantai kemiskinan. Diberi + dibina = sejahtera.

Mengutip pendapat Habibullah dalam Jurnal Informasi (Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 2011), bahwasanya PKH berperan sebagaimana community worker, yaitu peran yang berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat. Mereka bertugas sebagai model, melakukan mediasi dan negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama, serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber.

Dalam buku pedoman "Bimbingan teknis PKH" (2009) yang disusun Departemen Sosial RI juga diutarakan bahwasanya pendampingan adalah suatu proses pemberian kemudahan (fasilitas) yang diberikan pendamping kepada klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dan memecahkan masalah serta mendorong tumbuhnya inisiatif dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kemandirian klien secara berkelanjutan dapat diwujudkan.

Teranglah bahwasanya PKH sangat klop dengan adanya pendamping. Dengan sistem demikian, keinginan negara untuk mengentaskan kemiskinan bukan lagi isapan jempol semata. Impian itu sudah di depan mata. Namun tentu saja segala sesuatu tak ada yang sempurna dan pastilah ada cela. Pun dengan program yang sudah berjalan sejak tahun 2007 ini.

Masalah yang Muncul

Tak ada gading yang tak retak, tak ada program yang berjalan mulus begitu saja. PKH sudah oke, pendamping juga siap sedia, namun masih ada kekurangan yang harus segera dibenahi. Yakni jumlah PKH yang tak memadai.

Bayangkan saja, satu orang Pendamping PKH membina 200-250 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Angka ini memang menurun sejak tahun 2018, karena di tahun sebelumnya, seorang pendamping mengurus 300-350 KPM! Meski demikian, adakah yang menjamin keefektifan 1 orang versus 200 ibu-ibu?

Pemikiran di atas bukanlah sekedar opini kosong belaka. Sebuah penelitian membuktikan bahwasanya Pendamping PKH kewalahan menangani banyaknya KPM yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam Journal of Nonformal Education and Community Empowerment, tim peneliti dari Universitas Negeri Semarang menyimpulkan bahwasanya peran Pendamping PKH sudah sangat baik, hanya saja jumlahnya perlu ditambah. Berikut kutipannya,

"Peran seorang pendamping sudah cukup baik. Setidaknya jumlah pendamping ditambah. Penempatan pendamping sebaiknya dekat dengan domisili pendamping agar pendampingan lebih efektif tidak terkendala oleh jauhnya tempat pendampingan."

Mendampingi ratusan KPM otomatis menghadapi pula cakupan wilayah yang luas. Hal ini, dalam penelitian tersebut, menjadi kendala berat yang disampaikan para Pendamping PKH. Dampaknya, tujuan PKH akan berakhir di jangka pendek saja akibat pembinaan yang kurang maksimal. Sungguh sangat disayangkan jika kemudian rantai kemiskinan itu tak goyah meski sejengkal.

Pantaslah jika kemudian banyak sekali keluhan tentang KPM yang menghabiskan dana sosial di luar peruntukannya. Bukan sebagai harapan sejahtera, namun justru untuk memenuhi gaya hidup yang tak perlu. Sebut saja untuk jalan-jalan, membeli pulsa, handphone, sbahkan untuk membeli makanan mahal.

Pola konsumtif tentu saja dialami setiap orang, termasuk di kalangan keluarga miskin. Jika mereka tak didampingi, pola konsumtif ini akan menjadi penyakit yang mematikan harapan keluarga untuk hidup sejahtera. Karena itulah mereka sangat perlu diedukasi, didampingi, dibina, dan diarahkan.

Perbanyak Pendamping PKH

Sub judul di atas cukup berbahaya meski berpotensi untuk menjadi solusi. Muasalnya,  memperbanyak Pendamping PKH artinya akan menambah beban negara. Mereka para PKH memang lah pekerja di bidang sosial. Namun mereka bukanlah relawan melainkan pekerja yang digaji negara.

Menurut portal viva.com, Kementerian Sosial (Kemensos) bahkan menganggarkan sebesar 1,4 triliun untuk SDM PKH tahun 2019. Belum lagi adanya rencana Presiden RI, Joko Widodo untuk memproses para SDM PKH menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).

Dengan jumlah yang sekarang, yakni sekitar 39 ribu pekerja PKH, negara harus mengeluarkan lebih dari satu triliun rupiah. Bayangkan jika pendamping PKH harus ditambah dengan jumlah yang besar. Pastilah butuh anggaran yang sangat besar pula. Padahal jika ada anggaran besar yang available, bukankah lebih baik memperbanyak jumlah dana ataupun memperbanyak KPM?!

Bukan berarti me-fatwakan bahwasanya pendamping PKH telah membebani negara. Tentu saja tidak. Mereka telah bekerja keras mendampingi ratusan keluarga, membina KPM menuju harapan keluarga sejahtera. Kerja keras mereka patutlah dibalas jasa.

Lalu bagaimana solusinya? Dalam program memutus rantai kemiskinan ini, sangat diperlukan adanya pendamping PKH dengan jumlah yang lebih banyak agar pembinaan KPM dapat efektif. Namun di sisi lain, siapa yang akan menanggung gaji mereka?!.

Selalu ada jalan keluar untuk kebaikan, selalu ada solusi untuk setiap masalah. Terdapat sebuah berita gembira bak angin sejuk di siang yang terik. Berita tersebut, mungkin akan menjadi jalan keluar permasalahan ini. Yakni kabar tentang peringkat pertama Indonesia sebagai negara paling dermawan sedunia. Wow!

Alternatif Solusi

Bulan Oktober 2018 lalu, sebuah laporan World Giving Indeks yang dilakukan Charities Aid Foundation (CAF) menyebutkan, Indonesia berada di peringkat pertama sebagai negara paling dermawan. Dalam 5 tahun terakhir, negeri kita selalu berada dalam 10 besar, bahkan di peringkat dua pada tahun 2017.

Peringkat ini dinilai dari banyak aspek, salah satunya yakni jumlah relawan yang ada di negeri ini. Angkanya sangat mengejutkan, yakni sebanyak 53 persen. Artinya, lebih dari setengah masyarakat Indonesia bersedia terjun sebagai volunter atau relawan.

"Indonesia still has the highest proportion of its people volunteering with a score of 53% (Indonesia masih memiliki proporsi tertinggi dalam aspek relawan dengan nilai 53 persen)," dikutip dari laporan yang dapat diakses di www.cafonline.org.

Lalu apa hubungannya dengan PKH dan pembina PKH? Terbetik sebuah solusi bahwasanya relawan akan sangat membantu program sosial ini. Mereka para relawan dapat menyokong kerja Pembina PKH dalam mendampingi dan mengedukasi KPM. Di bawah koordinasi Pembina PKH, para relawan dapat menjadi pencerah bagi KPM menuju langkah sejahtera.

Saya yakin betul ada banyak warga di luar sana, dari Sabang sampai Merauke, terutama pemuda dan mahasiswa, yang bersedia menjadi relawan sosial. Nyatanya, search engine Google menunjukkan adanya tren keyword pencarian lowongan relawan dan cara menjadi relawan. Nyatanya pula, saat ini tren kesempatan volunter sangat banyak dibuka perusahaan, organisasi, ataupun startup.

Di era revolusi industri saat ini, generasi muda lebih mementingkan kepuasan batin, menambah skills, dan menumpuk pengalaman. Mereka tak ambil pusing tentang materi yang akan didapatkan. Sekedar upah lelah dan apresiasi tertulis sudah cukup memuaskan mereka. Kedua hal tersebut tentu saja tak akan membebani negara.

Terdapat pernyataan dari pimpinan sebuah lembaga sosial  tentang jiwa sosial masyarakat Indonesia. Ia mengatakan bahwasanya masyarakat kita memang lah memiliki jiwa sosial yang luar biasa. Tingkat filantropi di tanah air sangatlah tinggi.

"Kemarin ada bencana luar biasa, semua orang membantu dan relawan terjun langsung ke lapangan itu free tidak meminta bayaran. Lalu ada dokter, perawat, juga yang ahli properti, mereka membangun hunian sementara itu luar biasa. Kesadaran masyarakat materil dan non materil luar biasa," ujar CEO RZ, Nur Efendi, dilansir republika.co.id.

Betapa jiwa sosial menjadi kekayaan luar biasa bangsa ini. Kekayaan tersebut, tentu sangat sayang diabaikan begitu saja. Kekayaan ini bisa turut andil dalam memutus rantai panjang kemiskinan di tanah air.

Sistem Relawan

Untuk mengeksekusi solusi tersebut, diperlukan relawan yang sangat banyak guna mendampingi sekitar 2,5 juta KPM. Hal ini seakan menjadi masalah baru. Namun sistem rentang waktu dan wilayah tugas bergilir akan mengatasinya.

Akan sangat efektif jika seorang relawan dapat mendampingi 10 KPM dalam satu fase tugas. Setelah usai di fase tersebut, ia mendampingi KPM lain di fase berikutnya dan di kecamatan berikutnya. Mereka ditugaskan dalam rentang waktu tertentu di setiap wilayah yang dekat dengan domisili si relawan.

Pelatihan dari Kementerian Sosial pula wajib dilakukan sebelum relawan bertugas. Selain itu, ranah tugas mereka bukanlah di perkara teknis dan pendataan. Mereka para relawan hanyalah membantu Pendamping KPH dalam hal edukasi menuju keluarga sejahtera.

Yakni pendampingan tentang bagaimana memanfaatkan dana dengan bijak, mengajarkan kemandirian agar terbebas dari kemiskinan, mengarahkan dan memfasilitasi KPM untuk mendapatkan skill yang menunjang hidup, serta edukasi lain yang kiranya dapat memutus rantai kemiskinan.

Dengan sistem relawan demikian, solusi ini nampak masuk akal dan bukan mustahil dilakukan. Jika berjalan efektif, para relawan akan sangat menyokong PKH yang menjadi unggulan dan andalan. Program Kemensos pun melangkah maju memenuhi harapan terputusnya rantai kemiskinan menuju keluarga sejahtera.

Karena pada dasarnya, mereka keluarga miskin memerlukan pembinaan dan pendampingan, selain dana cash yang juga amat sangat dibutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun