Mohon tunggu...
Afriyanto Sikumbang
Afriyanto Sikumbang Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Belajar mensyukuri apa yang kita miliki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibuku, Sosok Teladan yang Luar Biasa

6 Desember 2020   18:32 Diperbarui: 6 Desember 2020   18:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Rodolfo Quiros dari Pexels

Malam itu, Januari 2003, beberapa hari setelah ayah wafat, kami berkumpul untuk membicarakan satu hal penting bersama ibu. "Ma, mulai besok Mama tinggal di rumah saya ya," ujar kakak perempuan saya membuka pembicaraan.

Sesuai dengan skenario yang sudah kami susun sebelumnya, kami pun mendukung usulan kakak saya tersebut. "Iya Ma, tinggal sama Wati aja," kata abangku yang tertua menimpali. Saya pun ikut bicara. "Tinggal di rumah saya juga boleh Ma. Pokoknya Mama bebas tinggal pilih, mau tinggal di rumah siapa," kata saya.

Suasana pun hening. Kami harap-harap cemas menanti jawaban ibu. Dan, jawaban yang keluar dari mulut ibu sungguh di luar perkiraan kami.

"Nggak usah. Biar Mama di sini aja. Mama nggak mau merepotkan kalian. Lagi pula, Mama nggak mau ninggalin rumah ini, rumah peninggalan Papa kalian," ujarnya dengan nada lirih.

Kami tentu kaget mendengar jawaban ibu. Memang, ibu tidak sendirian di rumah. Ada asisten rumah tangga yang menemani, namanya mbak Ani. Dialah yang sehari-hari membantu mencuci baju, mencuci piring, menyapu, mengepel lantai, dan membantu ibu memasak. Mbak Ani sudah lama bekerja, bahkan saat ayah masih hidup.

Meski ada mbak Ani, kami masih tetap khawatir. Bagaimana jika tiba-tiba ibu sakit. Beruntung, rumah kakak perempuan saya tidak jauh dari rumah ibu, sehingga dia lebih sering menengok ibu ketimbang saya. Kami empat bersaudara, tiga laki-laki dan satu perempuan. Saya anak bungsu. Rumah ibu berlokasi di bilangan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Sedangkan saya dan abang saya nomor tiga tinggal di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan. Abang sulung saya sudah lama berdomisili di kampung halaman kami di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Karena jarak berjauhan, saya dan abang saya beserta keluarga (anak dan istri) hanya bisa menengok ibu seminggu sekali. Namun jika ada waktu senggang, misalnya saat ada tugas di luar kantor, kami sering menyempatkan diri mampir ke rumah ibu, sebelum kembali ke kantor.

Kami berempat sudah berkeluarga dan sudah tinggal di rumah kami masing-masing, saat kedua orang tua kami masih hidup.

Kemandirian Hidup

Kami tentu kecewa dengan keputusan ibu yang tidak mau tinggal bersama anak-anaknya. Meski demikian, kami cukup memahami. Kami sudah paham betul karakter ibu. Beliau merupakan sosok yang memegang teguh prinsip kemandirian. Prinsip itu telah beliau tanamkan kepada kami sejak kami masih kecil.

Kami berasal dari keluarga sederhana. Ayah saya hanya seorang pedagang kecil. Jika dagangannya laku, kami bisa makan enak. Namun saat dagangan tidak laku, kami cukup puas dengan makan tahu dan tempe. Ibu kami juga hanya seorang ibu rumah tangga. Pendidikannya pun cuma tamat SMP.

Meski hidup pas-pasan, kedua orang tua kami pantang meminta belas kasihan dari orang lain. Selama masih bisa mengatasi masalah sendiri, mereka tidak akan meminta bantuan orang lain. Prinsip hidup "Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah" benar-benar diterapkan keluarga kami, dan senantiasa ditanamkan orang tua kepada kami.

Sikap kemandirian itu juga diberlakukan kepada anak-anaknya. Ibu jarang menyuruh atau minta tolong kami selama beliau masih bisa mengerjakan sendiri pekerjaannya.

Berkat semangat kemandirian, ayah kami tidak pernah punya utang walau satu rupiah pun. Orang tua kami bahkan sanggup menyekolahkan anak-anaknya hingga menjadi sarjana.

Karakter kemandirian ibu terwujud berkat adanya rasa syukur atau apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Ibu mengajarkan kepada anak-anaknya agar senantiasa bersyukur, jangan cepat mengeluh. "Jangan selalu melihat ke atas, tapi lihat juga ke bawah. Masih banyak orang yang lebih susah dari kita." Itulah wejangan yang selalu disampaikan ibu kepada kami.

Hablum Minallah, Hablum Minannas

Sebagai ibu rumah tangga, ibu lebih sering berinteraksi dengan kami. Dalam keseharian itulah ibu senantiasa menanamkan pendidikan karakter kepada anak-anaknya. Ada dua konsep yang diajarkan, yaitu Hablum Minallah dan Hablum Minannas.

Hablum Minallah adalah konsep bagaimana manusia berhubungan dengan sang pencipta, Allah SWT, dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Adapun Hablum Minannas merupakan konsep bagaimana individu manusia menjaga hubungan baik dengan individu atau kelompok manusia lainnya. Hablum Minallah sifatnya vertikal, sedangkan Hablum Minannas bersifat horizontal.

Pendidikan yang ibu berikan tidak hanya dalam bentuk perkataan, tapi juga perbuatan. Perkataan ibu selalu sejalan dengan perbuatannya. Ibu tidak pernah omdo atau omong doang, istilah anak sekarang.

Setiap azan berkumandang, ibu bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu sambil mengajak anak-anaknya "Ayo kita sholat." Sesudah sholat Magrib, ibu selalu mengajak kami ngaji tadarusan. Ibu juga selalu mengajak kami puasa sunah Senin-Kamis. "Besok kita puasa ya. Nanti malam Mama bangunin kalian sahur." Ibu juga aktif di kelompok pengajian ibu-ibu. Di sepertiga malam, ibu pun rajin sholat tahajud. Konsistensi ucapan dan perbuatan itulah yang memotivasi kami untuk mengikuti keteladanan beliau.

Soal hubungan baik dengan tetangga, keteladan ibu tidak perlu diragukan lagi. Di setiap acara hajatan, ibu selalu diundang dan selalu hadir. Pun di setiap ada tetangga kena musibah (sakit atau meninggal), ibu selalu datang menjenguk atau bertakziah. Pokoknya, di wilayah tempat tinggal ibu, nama ibu sudah sangat populer di kalangan tetangga.

Ibu juga mengajarkan kepada kami mengenai pentingnya kejujuran, integritas, setia kawan, rendah hati, dan menghargai sesama.

Yang lebih mengesankan adalah ketika ada kerja bakti di lingkungan RT. Pagi-pagi sekali ibu sudah membangunkan kami. "Hei, bangun-bangun, ayo kerja bakti. Pak RT sudah nunggu tuh...," teriak ibu.

Ibu tidak akan keluar dari kamar sebelum kami benar-benar beranjak dari tempat tidur lalu cuci muka, dan membawa peralatan (cangkul, golok, sapu lidi, dan lain-lain) lalu berbaur dengan warga. Setelah kami sudah di luar rumah, barulah ibu ke dapur membuat gorengan dan kopi untuk orang-orang yang kerja bakti tadi.

Pada saat ibu wafat tahun 2015, begitu banyak tetangga, famili dan handai taulan yang datang melayat. Saat ibu selesai di-shalatkan di masjid, dan sebelum jenazah diangkut ke dalam ambulans, pak ustadz Ahfaz memberikan sedikit tauziah kepada jamaah. Dalam tauziahnya, pak ustadz mengatakan "Ibu Naimah adalah sosok ibu teladan. Dalam keadaan sakit pun, beliau masih menyempatkan diri datang ke pengajian. Bahkan, kalau pun harus merangkak untuk datang, beliau pasti akan merangkak demi bisa ikut pengajian," ujar pak ustadz sambil tarbata-bata.

Mewarisi Keteladanan

Lima tahun sudah ibu meninggalkan kami. Tidak banyak harta dan benda yang bisa diwariskan kepada kami. Yang bisa diwariskan hanyalah suri teladannya yang begitu merasuk ke hati sanubari kami. Pendidikan karakter yang ditanamkan ibu telah mengajarkan kami tentang arti kehidupan. Ibu adalah jiwa ragaku. Ibu tidak hanya sebagai guru, tapi juga menjadi pahlawanku.

Kami tak akan bisa membalas semua perjuangan dan pengorbanan ibu sejak beliau mengandung, melahirkan, merawat hingga membesarkan kami. Hanya doa tulus yang dapat kami panjatkan kepada Allah SWT, semoga Mama diampuni dosanya, diterima amal ibadahnya, dan bisa bertemu kembali dengan Papa di Surga. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun