Hilangnya wibawa Jokowi juga terlihat dari sikap para menteri dan pejabat publik yang sering melontarkan statement atau pernyataan yang blunder dan membingungkan masyarakat. Mereka bicara tanpa kendali.
Blunder yang memicu kontroversi itu mulai dari pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi soal larangan penggunaan cadar dan celana cingkrang bagi aparatur sipil negara (ASN), pernyataan Menkumham Yasonna Laoly bahwa di Tanjung Priok banyak kriminalitas karena wilayah itu termasuk daerah miskin, hingga pernyataan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi bahwa musuh utama Pancasila adalah agama.
Bukti lain dari hilangnya wibawa Jokowi adalah saat menangani pendemi Covid-19. Dalam mengatasi wabah virus mematikan ini, Jokowi sering plin-plan, tidak tegas. Kebijakannya sering berubah-ubah.
Jokowi tidak berani mengambil langkah lockdown, karena kebijakan ini menimbulkan konsekuensi pada mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Sementara pemerintah sendiri tidak punya uang.
Akhirnya, terpaksalah Jokowi mengambil tindakan yang tidak populer. Awalnya pembatasan sosial atau social distancing, lalu physical distancing, kemudian darurat sipil, terakhir Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ini jelas terlihat betapa Jokowi sangat lamban dalam bertindak. Sifat asli Jokowi yang selama ini terkenal cepat dalam mengatasi masalah tidak terlihat sama sekali.
Awalnya Jokowi menegaskan bahwa Pemda tidak boleh mengambil kebijakan sendiri, Kebijakan ada di tangan Pemerintah Pusat. Namun tak lama kemudian berubah lagi. Pemda diperbolehkan menentukan kebijakan sendiri.
Dalam hal mudik, awalnya Jokowi mengimbau masyarakat untuk tidak mudik. Kemudian dia mengoreksi pernyataannya dengan membolehkan masyarakat mudik. Namun kemudian berubah lagi. Kali ini bahkan dengan tegas melarang masyarakat mudik untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Level di bawahnya lebih parah lagi. Koordinasi antar menteri dan pejabat publik tidak berjalan dengan baik. Kabinet tidak kompak. Tiap menteri cenderung berjalan sendiri-sendiri. Kebijakan antara satu menteri dan menteri lain tidak sinkron bahkan cenderung berseberangan.
Contoh nyata ketidakharmonisan kerja antar menteri terlihat ketika pemerintah menerapkan kebijakan tentang ojek online (ojol). Dalam kebijakan PSBB, Menteri Kesehatan melalui Permenkes Nomor 9 tahun 2020 menegaskan bahwa ojol tidak boleh membawa selain barang. Namun sebaliknya, Menteri ad interim Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dalam Permenhub Nomor 18 tahun 2020 mengatur bahwa ojol boleh mengangkut orang dan barang.
Contoh lainnya adalah tatkala LBP menolak usulan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menyetop operasional kereta rel listrik (KRL) mulai tanggal 18 April 2020. Juru Bicara Menko Kemaritiman dan Investasi, Marves Jodi Mahardi bilang, LBP akan akan tetap mengoperasikan KRL dengan pembatasan waktu dan pengendalian penumpang, yakni mulai pukul 05.00 WIB hingga 18.00 WIB.
Yang tidak kalah lucunya adalah, ketika Sekretaris Kabinet Pratikno terpaksa mengklarifikasi pernyataan juru bicara presiden Fajroel Rachman soal mudik. Suatu tindakan yang konyol tentunya.