Mohon tunggu...
Afriyanto Sikumbang
Afriyanto Sikumbang Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Belajar mensyukuri apa yang kita miliki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tindak Tegas Oknum Pemanipulasi Data PKH

19 Februari 2020   16:33 Diperbarui: 19 Februari 2020   16:29 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Program Keluarga Harapan( PKH) Foto: Maduraindepth

Sejarawan Anhar Gonggong mengutip pernyataan Soekarno tentang makna sejahtera. Soekarno bilang, "Kesejahteraan adalah sebuah prinsip di mana tidak ada lagi kemiskinan di dalam Indonesia merdeka."

Namun faktanya, lanjut Anhar, sudah 74 tahun Indonesia merdeka, kemiskinan masih tetap ada meski jumlahnya terus berkurang. Apa artinya? "Karena kesejahteraan saat ini tidak jalan, berarti kemerdekaan masih timpang," ujar Anhar.

Anhar menyatakan hal itu saat menjadi narasumber acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di TVOne yang mengangkat tema 'Agama Musuh Besar Pancasila?' yang ditayangkan secara live pada Selasa (8/2/2020). Saya tidak ingin mengupas tentang agama dan Pancasila. Yang ingin saya bahas adalah masalah kesejahteraan, kemiskinan, dan  ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Indonesia pada September 2019 sebesar 9,22%, lebih rendah 0,19% dibandingkan dengan periode Maret 2019.

Pendapat Anhar memang benar adanya. Hingga kini kemiskinan masih menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Kemiskinan ini ibarat penyakit menahun yang sulit dicari obat untuk penyembuhannya. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin lebar.

Lalu, apa sebenarnya definisi kemiskinan itu? World Bank merumuskan ada 5 kategori orang miskin. Pertama, mereka yang kurang cukup pangan untuk kehidupan sehari-hari. Kedua, mereka yang ketika sakit tidak mampu berobat. Ketiga, mereka yang tidak bisa menyekolahkan anaknya. Keempat, tidak punya pekerjaaan tetap. Atau, kalau punya pekerjaan, penghasilannya kecil. Kelima, tidak punya tempat atau rumah yang relatif layak.

Pemerintah Republik Indonesia punya definisi tersendiri tentang kemiskinan tersebut, khususnya dalam konteks Program Keluarga Harapan atau PKH. 

Menurut Kementerian Sosial, sasaran PKH adalah keluarga prasejahtera yang memiliki komponen kesehatan dengan kategori ibu hamil dan anak usia dini; komponen pendidikan dengan kategori keluarga yang memiliki anak sekolah SD, SMP dan SMA atau sederajat; dan komponen kesejahteraan sosial dengan kategori keluarga yang memiliki penyandang disabilitas berat dan lanjut usia diutamakan di atas 70 tahun.

Untuk tahun 2020, Kementerian Sosial telah menganggarkan Rp 30,94 triliun untuk program PKH, atau mencapai 98,62% dari total anggaran perlindungan dan jaminan sosial yng mencapai Rp 31,38 triliun. Selebihnya dialokasikan untuk bencana alam Rp 272,93 miliar dan anggaran bencana sosial sebesar Rp 105,2 miliar.

Terlepas dari perbedaan definisi kemiskinan tadi, yang pasti masalah kemiskinan ini masih saja terus terjadi? Apa penyebabnya? Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satunya adalah penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran. Contohnya, beberapa waktu lalu sebuah rumah berlantai dua di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah viral di media sosial lantaran pemiliknya terdaftar sebagai penerima PKH.

Terhadap keluarga yang pura-pura miskin ini, pemerintah harus bertindak tegas dan memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, agar mereka jera. Sebab, mereka telah mengambil hak orang lain.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin telah mencantumkan ancaman pidana bagi pihak-pihak yang curang dan memanipulasi data PKH. Pasal 43 UU tersebut menegaskan bahwa "Setiap orang yang memalsukan data verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (3), dipidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 50 juta."

Selain itu, diatur pula pidana dalam pasal 43, di mana setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.

Terhadap masalah kecurangan ini, pemerintah jangan segan-segan menyeret pelakunya ke ranah hukum. Siapa pun oknumnya, harus diproses, tidak hanya sebatas orang yang pura-pura miskin tadi. Kalau perlu RT, RW, Lurah hingga Camat harus turut diperiksa, karena merekalah yang tahu persis siapa saja warganya yang benar-benar miskin dan berhak menerima bantuan program PKH. Dan mereka juga yang memberikan surat keterangan miskin.

Pemerintah juga jangan asal percaya dengan data yang masuk. Pemerintah harus menerjunkan pertugas untuk memverifikasi data, sekaligus memastikan bahwa calon penerima PKH memang benar-benar miskin. Sistem stiker yang ditempel di rumah penerima PKH sudah benar dan perlu dilanjutkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun