Mohon tunggu...
Afriyanto Sikumbang
Afriyanto Sikumbang Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Belajar mensyukuri apa yang kita miliki

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pemerintah Buru Pajak Transaksi Online, UMKM Jadi "Korban"?

18 Februari 2020   17:34 Diperbarui: 18 Februari 2020   17:36 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi transaksi online. Foto: tempo.co

Pemerintah bakal menarik pajak dari transaksi online, yang nantinya tertuang dalam UU Omnibus Law Perpajakan yang kini draftnya tengah digodok. Ini pilihan yang sangat tepat, sebab nilai pasar e-commerce di Indonesia luar biasa besar.

Menurut data Google & Temasek, pada 2017 pembelian produk via e-commerce di Indonesia sebesar US$ 10,9 miliar atau sekitar Rp 152 triliun (dengan asumsi kurs Rp 14.000,-/US$). Untuk tahun 2019, nilainya diprediksi meningkat menjadi US$21 miliar (sekitar Rp 294 triliun), dan akan mencapai US$82 miliar (sekitar Rp 1.148 triliun) pada tahun 2025.

Coba kita hitung. Untuk tahun 2019, jika 2% saja dari Rp 294 triliun ditarik sebagai pajak, maka pemerintah sudah mengantongi Rp 5,9 triliun. Untuk tahun 2025, pajak yang bisa ditarik lebih besar lagi, mencapai Rp 23 triliun. Suatu angka yang sangat menggiurkan tentunya.

Tingginya pertumbuhan sektor e-commerce itu sejalan dengan berkembangnya jumlah pengguna internet dan telepon selular di Tanah Air. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), tahun 2019 ada sekitar 93,4 juta orang pengguna internet dan 71 juta pengguna perangkat telepon pintar (smartphone). Jumlah tersebut dipastikan bakal terus bertambah setiap tahunnya.

Sebagian dari pengguna smartphone dan internet ini notabene adalah konsumen barang dan jasa via e-commerce. Menurut data dari CupoNation, jumlah konsumen belanja online (online shoppers) di Indonesia tahun 2016 sebanyak 9,6% dari total populasi penduduk. Jumlah tersebut meningkat lagi menjadi 10,7% tahun 2017 dan 11,9% pada tahun 2018.

Lalu, siapa saja yang bakal menjadi sasaran tembak dari pajak online ini? Tentu saja sebagian besar adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Lho, kok bisa? Tentu saja bisa.  

Pemasaran barang dan jasa via online ini bisa dilakukan melalui berbagai macam pola. Ada yang menggunakan media sosial seperti website, Facebook dan Instagram, ada pula melalui marketplace (Bukalapak, JD ID, Shopee, Blibli, Tokopedia, dan Lazada). Transaksi terbesar terjadi di marketplace.

Sebagian besar yang menjadi pedagang online tersebut adalah perorangan dan UMKM. Mereka ada yang bertindak sebagai produsen langsung atau pemasok, ada pula yang hanya sekadar reseller atau dropshiper.

Pedagang perorangan dan UMKM ini modalnya kecil, tetapi jumlahnya ribuan. Jika ditotal, maka nilainya tentu menjadi besar. Meski demikian, penarikan pajak dari sektor UMKM ini sangat ironis di tengah upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor UMKM, dan bahkan pemerintah bertekad untuk menjadikan UMKM naik kelas.

Dalam konteks pajak transaksi online ini, pemerintah sepertinya tidak terlalu peduli dengan siapa objek pajaknya. Yang terpenting adalah bisa menarik pajak sebesar-besarnya. Dan yang terpenting pula bagi pemerintah adalah, mendapatkan sumber pajak baru yang selama ini belum tersentuh.

Sulit dimengerti mengapa pemerintah terlalu semangat menarik pajak dari masyarakat kecil sekelas UMKM. Sudah habiskah potensi pajak dari orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar yang ada di Tanah Air?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun