Mohon tunggu...
Afriyanto Sikumbang
Afriyanto Sikumbang Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Belajar mensyukuri apa yang kita miliki

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Halo Staf Khusus Milenial Jokowi, Apa yang Sudah Kalian Kerjakan?

14 Januari 2020   23:34 Diperbarui: 15 Januari 2020   08:40 2352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ANTARA FOTO/ Wahyu Putro A)

Presiden Joko Widodo pertama kali memperkenalkan Staf Khusus Milenial yang berjumlah 7 orang kepada publik pada Kamis, 21/11/2019. 

Ketujuh anak muda tersebut adalah Adamas Belva Syah Devara, Putri Indahsari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra, Ayu Kartika Dewi, Gracia Billy Mambrasar, Angki Yudistia, Aminuddin Maruf.

Sejak pertama kali diperkenalkan hingga hari ini, Selasa, 14/01/2020, berarti sudah hampir 2 bulan, tepatnya 54 hari mereka masuk dalam ring 1 Istana. Selama rentang waktu hampir 2 bulan tersebut, apa yang sudah mereka kerjakan?

Saya mencoba searching di Google dengan memasukkan kata kunci "Staf khusus milenial Jokowi". Diperoleh 983.000 hasil pencarian. Angka tersebut sebenarnya lumayan banyak untuk ukuran satu buah objek pencarian.

Namun jika ditelusuri dengan seksama, sebagian besar berita yang muncul dari hasil pencarian tadi merupakan berita tentang perkenalan pada Kamis, 21/11/2019 tadi. Selebihnya berupa ulasan tentang profil ke-7 Staf Khusus Milenial tersebut, dan sisanya berita komentar dari pengamat.

Adapun berita tentang apa saja aktivitas yang telah mereka kerjakan, hasilnya nihil. Dengan kata lain, belum ada kerja nyata dan konkret yang telah mereka lakukan selama 54 hari itu.

Mungkin jika ditanya satu per satu, mereka pun tidak tahu apa tugas dan fungsi yang harus mereka kerjakan. Apalagi Jokowi tidak memberikan pembagian tugas yang spesifik kepada ketujuh milenial tersebut.

Presiden juga menjelaskan bahwa Staf Khusus Milenial tugasnya "hanya" sebagai teman diskusi dan sebagai jembatan penghubung antara pemerintah dan generasi milenial. Jokowi pun tidak mewajibkan mereka untuk ngantor penuh waktu.

Dengan tugas dan fungsi yang hanya sebagai teman diskusi dan jam kerja yang fleksibel, gaji Rp 51 juta per bulan per orang yang mereka terima sepertinya terlalu besar. Padahal, posisi staf khusus presiden disebut-sebut setara dengan pejabat Eselon I di Sekretariat Negara.

Seorang pejabat Eselon I di Sekretariat Negara umumnya memikul beban tugas yang berat, tanggung jawab yang besar, dan bekerja tanpa kenal waktu. Jadi ada ketimpangan di sini. Dengan gaji yang sama, tapi tugas dan tanggung jawab kedua organ pemerintah tersebut jauh berbeda.

Kalau hanya sebagai teman diskusi, bukankah Presiden bisa saja memanggil mereka setiap saat jika dibutuhkan, tanpa harus mengangkat mereka sebagai staf khusus, bahkan digaji bulanan pula.

Jokowi kan sering memanggil para pakar dan praktisi untuk membahas masalah tertentu. Ambil contoh ketika mahasiswa demo mendesak agar Jokowi menerbitkan Perppu KPK beberapa waktu lalu.

Ketika itu, Jokowi dengan mudah memanggil para pakar dan pihak terkait untuk dimintai pendapat, ide, usulan, dan saran, serta komentar sebagai masukan bagi Presiden dalam mengambil keputusan terkait dengan Perppu KPK tersebut.

Oleh karena itu, sebelum terlalu jauh melangkah, ada baiknya Presiden meninjau ulang keberadaan Staf Khusus Milenial ini. Jika kebutuhannya dinilai tidak terlalu mendesak, sebaiknya bubarkan saja.

Harap diingat, pemerintah mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk menggaji Staf Khusus Milenial ini. Jika tiap orang digaji Rp 51 juta per bulan, berarti dana yang harus dikeluarkan tiap bulan berjumlah Rp 357 juta. Satu tahun menjadi Rp 4,28 miliar.

Jika staf khusus tersebut dipertahankan selama 1 periode jabatan presiden (5 tahun), maka dana yang dikeluarkan mencapai Rp 21,4 miliar.

Daripada menghambur-hamburkan uang untuk menggaji mereka, lebih baik uangnya dipakai untuk menutup utang BPJS, atau untuk memperbaiki jembatan yang rusak, atau untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat.

Lagi pula, gaji Rp 50 juta per bulan itu mungkin saja tidak terlalu signifikan bagi ketujuh milenial ini, mengingat mereka umumnya adalah pemilik perusahaan rintisan (startup) yang penghasilannya boleh jadi jauh di atas gaji sebagai staf khusus.

Selain itu, mereka pun tentunya tidak mau makan gaji buta jika mereka hanya menjadi "papan nama" tanpa berkeringat. 

Daripada konsentrasi mereka terpecah, sebaiknya berikan kesempatan kepada mereka untuk melanjutkan aktivitas semula sebagai entrepreneur. Biarkan mereka bebas berkreasi mengembangkan kreativitas, tanpa terbelenggu dengan segala macam aturan protokoler Istana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun