Jokowi kan sering memanggil para pakar dan praktisi untuk membahas masalah tertentu. Ambil contoh ketika mahasiswa demo mendesak agar Jokowi menerbitkan Perppu KPK beberapa waktu lalu.
Ketika itu, Jokowi dengan mudah memanggil para pakar dan pihak terkait untuk dimintai pendapat, ide, usulan, dan saran, serta komentar sebagai masukan bagi Presiden dalam mengambil keputusan terkait dengan Perppu KPK tersebut.
Oleh karena itu, sebelum terlalu jauh melangkah, ada baiknya Presiden meninjau ulang keberadaan Staf Khusus Milenial ini. Jika kebutuhannya dinilai tidak terlalu mendesak, sebaiknya bubarkan saja.
Harap diingat, pemerintah mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk menggaji Staf Khusus Milenial ini. Jika tiap orang digaji Rp 51 juta per bulan, berarti dana yang harus dikeluarkan tiap bulan berjumlah Rp 357 juta. Satu tahun menjadi Rp 4,28 miliar.
Jika staf khusus tersebut dipertahankan selama 1 periode jabatan presiden (5 tahun), maka dana yang dikeluarkan mencapai Rp 21,4 miliar.
Daripada menghambur-hamburkan uang untuk menggaji mereka, lebih baik uangnya dipakai untuk menutup utang BPJS, atau untuk memperbaiki jembatan yang rusak, atau untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat.
Lagi pula, gaji Rp 50 juta per bulan itu mungkin saja tidak terlalu signifikan bagi ketujuh milenial ini, mengingat mereka umumnya adalah pemilik perusahaan rintisan (startup) yang penghasilannya boleh jadi jauh di atas gaji sebagai staf khusus.
Selain itu, mereka pun tentunya tidak mau makan gaji buta jika mereka hanya menjadi "papan nama" tanpa berkeringat.Â
Daripada konsentrasi mereka terpecah, sebaiknya berikan kesempatan kepada mereka untuk melanjutkan aktivitas semula sebagai entrepreneur. Biarkan mereka bebas berkreasi mengembangkan kreativitas, tanpa terbelenggu dengan segala macam aturan protokoler Istana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H