Mohon tunggu...
Afriyanto Sikumbang
Afriyanto Sikumbang Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Belajar mensyukuri apa yang kita miliki

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dinamika Golkar, Antara Perpecahan dan Kekompakan

17 Desember 2019   14:29 Diperbarui: 18 Desember 2019   08:27 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)

Tak ingin larut dalam perpecahan, Golkar terpaksa menggelar Munaslub pada tahun 2016 untuk memilih ketua baru. Setya Novanto (Setnov) secara aklamasi terpilih menjadi ketua umum setelah saingannya Ade Komaruddin mundur dalam pemilihan putaran kedua.

Kepemimpinan Setnov tak berlangsung lama. Di tahun 2017 dia tersandung kasus korupsi e-KTP yang memaksanya untuk menanggalkan jabatan Ketua Umum Golkar. 

Rapat Pleno Golkar pada akhir 2017 memutuskan menunjuk Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar menggantikan Setnov. Airlangga memimpin Golkar hingga berakhirnya masa kepengurusan pada 2019, dan terpilih kembali pada Munas X beberapa waktu lalu.

Perpecahan yang sering terjadi di tubuh Golkar berdampak buruk terhadap perolehan kursi di DPR. Dalam pemilu legislatif tahun 1999, Golkar meraih 22,46% suara, atau berada di peringkat kedua di bawah PDIP. Tahun 2004 perolehan suaranya turun menjadi 21,58%, dan anjlok lagi menjadi 14,45 pada 2009.

Pada 2014 suara Golkar sempat naik tipis menjadi 14,75%, tetapi tahun 2019 turun lagi ke titik terendah 12,31%. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi Airlangga Hartarto untuk bisa meningkatkan perolehan suara Golkar pada pemilu 2024.

Tetap Solid
Meski sering dilanda perpecahan, partai beringin ini masih solid dan tetap diperhitungkan di kancah perpolitikan di Tanah Air. Semula, banyak pihak yang memprediksi Golkar akan habis setelah lengsernya Soeharto. Begitu Orde Baru tumbang, maka tumbang pulalah Golkar. Begitu kira-kira prediksi orang.

Namun kenyataan berbicara lain. Golkar tetap kokoh dan kompak. Meski sejak era Reformasi perolehan suaranya di Pemilu terus turun, Golkar selalu berada di jajaran 3 besar peraih suara terbanyak. Itu sebabnya mengapa banyak partai yang berebut meminang Golkar untuk menjadi teman koalisi baik di Pilkada maupun Pilpres.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi mengapa Golkar terlihat begitu ajaib. Pertama, fondasi Golkar sudah tertanam begitu kuat. Akar beringin telah menghujam bumi dengan kokoh sejak zaman Orde Baru.

Kedua, tak pernah kehabisan kader. Meski banyak yang hengkang, tapi banyak pula kader berkualitas yang muncul. Patah tumbuh hilang berganti. Gugur satu tumbuh seribu.

Ketiga, kisruh di internal hanya sesaat. Kecuali kader yang hengkang, kisruh para elite di internal partai relatif hanya berlangsung  sesaat. Mereka umumnya punya jiwa besar, dan lebih mengutamakan keutuhan partai. Hari ini bertikai, besok mereka akur lagi.

Keempat, para senior punya kepedulian yang sangat tinggi terhadap kelangsungan hidup Golkar. Mereka senantiasa turun tangan menjadi penengah jika ada kader yang bertikai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun