Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Salat Jumat di Bantaran Chao Phraya

13 September 2019   10:40 Diperbarui: 13 September 2019   10:45 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DI JAKARTA dan kota-kota lainnya di Indonesia, kita tentu tak perlu pusing mencari tempat untuk melaksanakan ibadah salat Jumat. Masjid dan tempat salat bisa dijumpai dengan sangat mudah di hampir setiap sudut kota. 

Bahkan, jika Anda pernah berkunjung ke Tidore, Maluku Utara, masjid atau musala bisa dijumpai dalam radius beberapa meter saja!  Hal ini tentu tak mengherankan, mengingat Islam sudah mengakar selama ratusan tahun di negeri Sultan Nuku ini.

Namun, tak demikian halnya apabila kita berada di negara-negara di mana Islam menjadi agama minoritas seperti di Thailand. Menunaikan ibadah salat Jumat bisa jadi merupakan masalah yang serius. Itulah yang kami hadapi pada siang itu, setelah paginya mengarungi Chao Phraya menuju kompleks Wat Prah.

Salah satu sumber menyebutkan bahwa 95 persen penduduk Thailand merupakan penganut Buddha Theravada, sementara komposisi masyarakat Muslim berada hanya pada angka 4%. 

Meski demikian, jika dibandingkan dengan jumlah penganut agama dan aliran kepercayaan lainnya seperti Kristen, Hindu dan Shikh, yang umumnya dijumpai di Bangkok, angka tersebut tentu masih tergolong banyak. Muslim di Thailand umumnya berasal dari keturunan Melayu dan banyak ditemui di provinsi Pattani, Narathiwar, Yala dan Patun.

Kuil-kuil Buddha bisa ditemukan dengan mudah, sama halnya seperti masjid di Indonesia. Untuk salat Jumat, dari Wat Prah, kami harus kembali menyebrang ke arah Wat Arun, menggunakan kapal turis yang bolak-balik setiap 10 menit. Perjalanan menuju masjid bukanlah perkara mudah, selain terkendala bahasa, di sana juga tidak ada petunjuk yang pasti tentang komunitas Muslim yang akan kami tuju. 

Teman saya, Rossi, arek Suroboyo yang tengah merampungkan studi di salah satu universitas di sana, memang sudah cukup bisa berkomunukasi dalam bahasa Thai. Namun, tetap saja kami agak kesulitan memperoleh informasi yang pasti mengenai keberadaan masjid untuk melaksanakan salat Jumat.

Masjid yang kami tuju terletak di tengah permukiman komunitas Muslim. Dari Wat Arun, kami menyisir ke arah pinggir sungai, lalu berbelok melewati deretan kios penjual oleh-oleh. Melewati beberapa rumah penduduk dan gang-gang kecil, sambil terus bertanya ke sana-sini, kami akhirnya menemukan masjid yang kami cari. 

Untung, waktu salat Jumat masih setengah jam lagi. Kami kemudian duduk di sebuah bangunan semacam pos jaga yang terletak persis di samping tempat berwudhu. Keberadaan kami agaknya menarik perhatian beberapa orang jemaah salat Jumat yang tengah mengobrol di sana. Maklum tampang Melayu pedalaman saya tak bisa disembunyikan, sementara Rossi yang adalah arek Suroboyo juga tak bisa menyamar menjadi orang Thailand.

Salah seorang dari mereka bertanya tentang asal kami. Begitu kami mengatakan bahwa kami berdua berasal dari Indonesia, mereka tampak sumringah. Lalu mereka mengutarakan rasa bangga terhadap Muslim di Indonesia yang merupakan kelompok mayoritas -- kondisi yang berkebalikan dengan mereka di Thailand. 

Berkali-kali mereka mengatakan bahwa betapa beruntungnya kami terlahir di Indonesia, di mana Islam menjadi agama terbesar yang secara kuantitas merupakan nomor satu di dunia. Salah seorang dari mereka juga menyampaikan keinginannya untuk berkunjung ke Indonesia suatu hari kelak.

Obrolan singkat itu meninggalkan kesan yang cukup dalam di hati saya: betapa kadang kita lupa dengan apa yang telah kita miliki. Bahwa menjadi mayoritas adalah suatu berkah, yang dibaliknya harus diiringi dengan tanggung jawab untuk menjadi teladan sekaligus pelindung bagi mereka yang minoritas. Mayoritas memang tak seharusnya membuat kita menjadi semena-mena.  

Khotbah Jumat disampaikan dalam bahasa Thai. Selain ayat-ayat pendek dalam bahasa Arab yang sering disampaikan oleh khatib salat Jumat, tak satupun dari inti khotbah hari itu yang bisa saya tangkap. Ya, mau gimana lagi. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Untuk urusan pakaian salat, jemaah di masjid di seberang Chao Phraya ini tak ada bedanya dengan orang-orang Indonesia pada umumnya. Celana jeans dan baju bola juga dipakai oleh jemaah salat Jumat di sini.

Selesai melaksanakan salat Jumat, kami kembali menyeberang ke arah Wat Prah. Hari sudah menunjukkan pukul 13.00, yang artinya tersisa 2 jam lagi bagi saya untuk kembali ke hotel. Jika mengambil rute yang sama seperti saat berangkat tadi, kami harus menunggu kapal cepat, yang bisa saja datang telat. 

Selain itu, kami juga tak ingin ribet dengan bergonta-ganti moda transportasi. Bermain aman, kami memutuskan untuk naik taksi, yang ternyata dalam beberapa menit setelahnya menjadi keputusan yang sangat saya sesali. 

Kami lupa bahwa pada jam-jam tertentu, kemacetan di Bangkok bisa lebih parah dari Jakarta. Itulah yang kemudian terjadi. Baru melewati satu perempatan dari arah dermaga penyeberangan, taksi yang kami tumpangi stuck di tengah kemacetan yang mengular cukup panjang. Mobil bergerak dengan sangat lamban.

Lolos dari satu titik macet, tak beberapa lama kami kembali terjebak kemacetan yang lain. Kali ini jauh lebih parah dari yang sebelumnya. Melalui Rossi, saya sudah beberapa kali mengatakan pada pengemudi agar mencari jalan alternatif. Namun sepertinya si pengemudi tak mau ambil pusing, lalu mengatakan bahwa jalan satu-satunya adalah menunggu sampai kemacetan terurai. 

Begitu akhirnya taksi kembali bisa melaju, Rossi mengusulkan agar kami diantar ke stasiun kereta bawah tanah paling dekat dari sana. Ya, waktu yang tersisa sudah sangat kasip. Sementara jika terus melanjutkan perjalanan dengan taksi, kami yakin masih akan ada puluhan titik macet lain yang sedang menunggu. 

Keluar dari kereta, kami berlari melewati kerumuman penumpang agar tidak terjebak antrian yang panjang di pintu akses. Dasar apes, ternyata tiket yang saya beli hanya sampai pemberhentian sebelum stasiun tempat kami turun. Alhasil, begitu ditempel di mesin portal, kartu saya ditolak. Sementara Rossi sudah keluar duluan. 

Saya pun menemui petugas MRT yang sedang berjaga, lalu menjelaskan kondisi saya. Bahwa saya salah membeli tiket, sementara dalam beberapa menit ke depan saya harus segera berangkat ke bandara. Satu-satunya cara adalah mengisi ulang tiket dengan harga yang telah ditetapkan di layar stasiun. 

Sementara baik saya maupun Rossi sama-sama tak menyimpan uang tunai. Maka, kami pun mengeluarkan jurus 'permohonan seorang turis yang tidak tahu apa-apa' kepada petugas di sana. Setelah beberapa kali penjelasan, yang juga dibantu oleh Rossi, petugas tersebut akhirnya mengizinkan saya keluar lewat pintu khusus.

Dari stasiun, hotel tempat saya menginap masih berjarak sekitar tiga sampai empat blok. Pada situasi normal, jarak segitu tentu bisa saja ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, kini saya tengah mempertaruhkan setiap menit yang saya punya. Terlambat sedikit saja, saya akan ditinggal pergi oleh rombongan kru. 

Untuk menyusul mereka dengan taksi, saya harus merogoh kocek sendiri. Sementara pengalaman dengan sopir taksi yang tadi mengantar kami dari dermaga di Wat Prah sudah cukup memberikan pelajaran bagi saya untuk tidak lagi berurusan dengan mereka.

Dan, beruntung sekali, Bangkok juga menyediakan layanan ojek seperti Jakarta. Inilah pertama kalinya saya naik kendaraan roda dua di negara lain. Apakah ada sensasi yang berbeda? Tentu saja tidak. Naik ojek di Bangkok maupun Jakarta ya sama saja. Ojek akan menyalip sana-sini, bermanuver, naik ke trotoar dan mencari jalan tikus. Umpatan dan makian dari pengendara lain juga sering terlontar. Bedanya, kalaupun itu harus ada, hanyalah pada masalah bahasa. 

Ya, mau sekeras apapun pengguna jalan lain mengumpat karena kaget disalip oleh ojek yang saya tumpangi, saya tak mengerti apa yang mereka katakan. Dalam situasi tertentu, ketidaktahuan, kadang bisa menyelamatkan kita.  

Meski melaju dengan kencang dan berhasil lolos dari beberapa titik kemacetan yang cukup parah, tetap saja saya sudah sangat terlambat sampai di hotel. Saya melirik jam tangan, ah tinggal kurang 10 menit lagi hingga leaving time. 

Di depan lobi, shuttle bus yang akan mengantar kami ke bandara sudah terparkir, dan si pengemudi pun sudah mulai menyusun koper dan tas para kru di bagasi. Begitu sampai di hotel, saya langsung berlari masuk. 

Di lobi, saya berpapasan dengan beberapa kru junior, yang jelas sangat kaget mengetahui kalau saya baru balik ke hotel pada saat mereka sudah siap-siap berangkat. Untung saja yang saya temui bukan purser atau kapten! Kalau ketahuan bisa panjang deh urusannya.

Mengetahui kondisi saya, Rossi bermurah hati mengurus masalah ongkos ojek, lalu menyusul saya ke kamar. Waktu yang hanya tinggal beberapa menit harus digunakan seoptimal mungkin. Mandi, mau tak mau, harus diskip kali ini. Saya hanya melakukan ritual mandi kucing: membasahi wajah dan rambut. 

Untuk menyiasati kemungkinan bau badan yang bisa menguar ke mana-mana, saya menyemprotkan deodoran dan parfum dua kali lebih banyak dari biasanya. Pakaian yang biasanya tersusun dengan rapi di koper, sekarang berubah menjadi gulungan-gulungan kain yang dimampatkan secara serampangan.

Begitu akhirnya saya bisa bergabung bersama rekan kru yang lain di lobi hotel, ada perasaan lega yang tak bisa dijelaskan. Saya telah melalui suatu hari yang lumayan panjang di Bangkok, dan kenyataan bahwa saya tidak ketinggalan bus ke bandara setelah hampir berputus asa di tengah kemacetan kota ini adalah sesuatu yang harus saya syukuri.

Kepada Rossi yang telah ikut panik, saya meminta maaf dan mengucapkan terima kasih. Begitu juga pada penumpang kami dari Bangkok ke Jakarta. Maaf, salah satu awak kabin yang melayani Anda pada penerbangan hari ini tidak sempat mandi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun