Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melihat Cita-cita Kids (Desa) Zaman Now

8 November 2017   11:21 Diperbarui: 8 November 2017   15:51 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan Kelas Inspirasi bersama RotanProject di Jorong Simawik, Sijunjung, Sumatra Barat

Beberapa bulan yang lalu, saat berkunjung ke sebuah sekolah dasar di  Jorong Simawik, Nagari Sisawah, Sijunjung, Sumatra Barat (yang terletak sekitar 200km dari kota Padang, dengan kondisi jalan tanah yang ketika musim penghujan masih belum bisa dilewati dengan lancar oleh kendaraan beroda empat) kami dari Rotan Project sedikit 'kaget'  mendapati kenyataan bahwa hampir 100% siswa laki-laki di sana  bercita-cita ingin menjadi pembalap. Iya, pembalap yang berpacu di ajang sekelas motoGP! Apa pasal? 

Usut punya usut ternyata keinginan  tersebut dipicu setidaknya dua hal: Pertama,mereka terpapar tayangan  sinetron 'Anak Jalanan' di salah satu TV swasta nasional, yang sangat  digandrungi saat itu; kedua, masih terpengaruh TV, mereka sering  menonton lomba balap sepeda motor seperti motoGP. Valentino Rossi, Jorge  Lorenzo, Dani Pedrosa dan Marc Marquez adalah nama-nama yang sangat  familiar di telinga mereka. 

Cita-cita yang kian beragam 

Saya masih ingat dengan jelas, ketika ditanya tentang cita-cita, kami  anak-anak ingusan yang lahir dan tumbuh di sebuah desa terpencil di  tengah lebat-pekatnya hutan Sumatra, tak pernah mempunyai referensi yang  lebih selain profesi mainstream seperti tentara, polisi, guru, atau  dokter. Di pikiran bocah kami di kampung, profesi itulah puncak dari  segala kedigjayaan yang ada di dunia ini. Aish..   

 Secara  kontekstual, hal itu tentu sangat bisa dipahami. Kami tak memiliki akses  yang memadai terhadap informasi. Memang TV sudah ada, tapi tontonan  kami tentu tak begitu variatif seperti saat sekarang. Internet adalah  makhluk antahberantah yang bahkan kami tak pernah mendengar namanya  sekalipun dibicarakan. 

 Tayangan berbau hiburan di TV yang  dimonopoli TVRI berpusat pada hiburan sejuta umat: dangdut. Kami  menggandrungi penyanyi-penyanyi dangdut, tapi anehnya tak ada yang  bercita-cita menjadi penyanyi seperti Rhoma Irama atau Camelia Malik  (atau mungkin ada, tapi tak pernah punya cukup nyali untuk  mengutarakannya hehe). 

Ketika kemudian secara berkala TVRI  'berbagi ruang' dengan TPI, pilihan hiburan di kala libur memang sedikit  beragam. Apalagi dengan munculnya program-program anak di RCTI. Tapi,  tetap saja tak ada yang bercita-cita menjadi bintang film, pemain  telenovela, dubber, atau semacamnya. Cita-cita kami ya tetap itu-itu  saja: tentara, polisi, guru dan dokter. Sesekali ada yang bilang ingin  menjadi pilot, tapi demi Niniak Tanah Bato, kami percaya bahkan dia  sendiri tak pernah benar-benar tahu apa itu pilot. FYI, kami  melihat  pesawat sesekali melintas di langit Sumpur Kudus, ribuan kaki di atas  kami, dan kami sangat senang dengan pemandangan 'ganjil dan agung' itu. 

 Tentara, polisi, guru dan dokter adalah orang-orang yang secara  langsung bisa kami saksikan dalam keseharian. Pemerintah pada saat itu  punya program ABRI Masuk Desa (AMD), dimana para tentara ditugaskan ke  desa-desa untuk mengawal agenda 'pembangunan' - meski hal ini tentu  sangat bisa dipertanyakan dan diperdebatkan. Sepulang sekolah kami  melihat tentara dengan seragam hijau loreng mengawasi bapak-bapak  gotong-royong. Militer sangat berkuasa saat itu. Menjadi seorang tentara  sepertinya sangat membanggakan. Begitupun dengan polisi. Sementara guru  dan dokter adalah pekerjaaan 'mulia' yang dinilai tinggi di mata  masyarakat - saat itu. 

 Satu hal yang tidak kami sadari saat itu  adalah bahwa semua cita-cita yang kami impikan tak satupun yang tidak  memakai seragam. Keseragaman adalah semangat Orba. hehe

 Beranjak  remaja, cita-cita masa kecil sedikit bergeser. Ada yang mulai berani  mengutarakan keingin menjadi 'pengusaha yang sukses', 'insinyur' atau  'mentri' (foto para mentri kabinet yang ditempel di ruang kelas tentu  sangat berpengaruh dalam hal ini. Apalagi foto Menristek B.J Habibie  yang terkenal pintar dan selalu nangkring di sana. Sementara Harmoko,  walaupun sering muncul di TV, seingat saya tak pernah menjadi idola  kami). 

 Cita-cita masa kecil terus saja berubah...

 Hari  ini, jika Anda sempat bertanya pada kids zaman now di tempat Anda tinggal,  saya yakin Anda juga akan 'kaget' mendengar jawaban dari mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun