Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bertandang ke Wentworth Gallery, Sydney

7 November 2017   19:42 Diperbarui: 7 November 2017   19:43 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa sore saya ke Wentworth Gallery di 1 Martin Place,Sydney. Terletak hanya beberapa meter dari arah George st,galeri ini sangat mudah dijangkau. Jika Anda dari arah Opera House di Circular Quay,galeri ini berada di sisi kiri sebelum Victoria Building.

Saya disambut oleh Maria,salah seorang staf Wentworth yang sangat ramah. Pengetahuannya tentang seni,tentu saja,luas sekali. Awalnya Maria mengira saya adalah seorang kolektor lukisan(aish,saya GR minta ampun; semuda ini ); lantas menanyakan apakah saya sedang mencari koleksi baru untuk rumah atau galeri saya. Tentu saja itu sejenis keramahtamahan mereka yang jadi andalan untuk membuka pembicaraan.

Begitu mengetahui saya hanyalah seorang penyuka seni,Maria lalu bercerita tentang galeri mereka.

Wentworth memiliki 3 galeri di Sydney. Selain di Martin Place,dua galeri lainnya terletak masing-masing di 61 Phillip St dan 161 Elizabeth St. Galeri Wentworth di 61 Phillip St (tepatnya di Sofitel Sydney) merupakan yang terbesar. Semuanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari Martin Place. Seniman yang karya-karyanya dipajang di galeri Wentworth merupakan seniman papan atas Australia,baik artis aborigin maupun pelukis kontemporer.

Maria lalu bercerita tentang dua orang pelukis Aborigin ternama,Ronnie Tjampitjinpa dan Gloria Petyarre. Lukisan-lukisan Ronnie merupakan goresan motif yang berpusat pada 'mimpi-mimpi' suku asli Aborigin,yang berpusat pada elemen-elemen api,air dan tanah. Sementara Gloria tampil mencolok dengan detail dan kerumitan alur yang merepresentasikan alam dan kehidupan orang-orang di pedalaman.

Salah satu lukisan Gloria berjudul "Bush Medicine Leaves" tampak menonjol (dan sepertinya memang sengaja dipajang di bagian depan) dengan tingkat kerumitan dan ketelitian yang cukup tinggi. Menurut Maria, detail memang menjadi cirikhas lukisan-lukisan Gloria. Gambaran pola semak dan dedaunan yang digambarkan Gloria dalam lukisannya adalah "perpanjangan tangan" dari suara alam di benua Kangguru tersebut. Lukisan Gloria tampak hidup dan bergerak.

Pelukis-pelukis Aborigin pada awalnya menuangkan ide dan visi mereka dalam bentuk seni lukis tubuh (body painting). Baru kemudian modernisasi datang menawarkan media baru dengan corak yang beragam.

Motif magis dan pesan damai "hidup harmoni dengan alam" menjadi tema pusat dalam lukisan-lukisan seniman Aborigin. Pola yang dilukiskan Gloria konon adalah "copy" dari kondisi alam di lingkungan komunitas Aborigin. Kerumitan motif yang tergambar pada lukisannya biasanya dijumpai di "semak belukar" di lingkungan tempat tinggal suku Aborigin.

Percakapan kami kemudian berlanjut ke hal-hal lain tentang kehidupan suku asli yang masih ada di beberapa belahan bumi. Maria mengakui bahwa pemerintahan Australia "agak terlambat" memberikan apresiasi dan "tempat" bagi orang Aborigin. Alam tempat tinggal mereka terus menyempit akibat eksploitasi sumber daya alam,dan pemerintah menawarkan solusi yang sama sekali tidak adil.

"Orang-orang yang biasa tinggal di alam mempunyai corak hidup dan sistem tersendiri. Memberikan tempat tinggal di apartemen di tengah lingkungan perkotaan mungkin terkesan sangat solutif dan manusiawi. Namun apakah mereka nyaman dengan semua itu?" ujar Maria.

Saya lalu bercerita tentang orang-orang suku asli yang juga menghadapi situasi yang sama di Indonesia. Tentang orang-orang Papua,Mentawai dan Suku Anak Dalam. Tentang pilihan-pilihan yang sebenarnya tidak adil bagi keberlangsungan budaya mereka. Namun kapitalisme dan modernisme menghadapkan mereka pada situasi dilematis: berkompromi dengan pemerintah dengan hidup seperti masyarakat umumnya dan meninggalkan corak kehidupan asli atau memilih bertahan dan terus tersudut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun