"Besok kita berangkat ke puncak," ujar Lookman Alibaba, tour guide sekaligus pengelola penginapan di Banda Naira sebelum malam itu kami berpisah setelah seharian berkeliling kota Naira. Lookman telah menyiapkan segala sesuatunya,termasuk gula merah sebagai penambah stamina instan.
Besoknya pagi-pagi kami memulai perjalanan ke Banda Api. Dari Naira,kami diantar ke seberang dengan sebuah perahu motor yang memang biasa digunakan untuk mengantar-jemput di jalur penyebrangan tersebut. Rupanya di depan kami sudah ada seorang bule entah dari mana,yang hanya seorang diri menunggu di pos awal menuju puncak Banda Api.
Si Bule menyapa kami. Mungkin ia memang menunggu teman untuk mendaki. Ia tampak sumringah melihat kedatangan kami. Begitu kami berangkat,ia pun ikut serta.
Ada tiga orang teman yang akan bergabung bersama kami dalam pendakian kali ini. Saya dan Lookman memutuskan untuk menunggu mereka di pos kedua,tak berapa jauh dari titik keberangkatan. Sementara si bule melanjutkan perjalanan seorang diri ke atas. "Berani juga dia," ujar saya dalam hati.
Gunung Api Banda merupakan satu dari gugusan kepulauan Banda Naira,yang juga termasuk dalam rangkaian Cincin Api (Ring of Fire). Pada kaki Banda Api yang menghadap Pulau Naira masih terdapat rumah-rumah penduduk. Namun pada sisi yang lain,sepenuhnya adalah hutan.
Banda Api tercatat meletus terakhir kali pada tahun 1988. Akibat letusan ini,ketinggian gunung yang semula menjulang hingga 823 m di atas permukaan laut turun menjadi 645 m. Aliran lava erupsi Banda Api yang muntah ke laut kini menjadi spot menyelam favorit,dikarenakan suksesi karang yang sangat fantastis.
Bagi yang hobi mendaki,Banda Api merupakan spot wajib yang harus dijajal. Jalur pendakian menuju puncak gunung berapi aktif ini tidaklah terlalu sulit. Namun pada beberapa titik tingkat kemiringannya bisa mencapai 45 derajat. Selain itu,para pendaki juga harus berhati-hati dan selalu waspada,pasalnya di sepanjang jalur pendakian terdapat kerikil dan bebatuan gunung yang bisa menggelinding kapan saja.
Dibutuhkan waktu sekitar 2 jam bagi pemula untuk sampai di puncak Banda Api. Sementara untuk turun,waktu tempuh kurang lebih setengahnya. Lookman yang katanya sudah berkali-kali mendaki Banda Api katanya bisa mencapai puncak dalam waktu 45 menit saja. Namun tidak kali itu. Mungkin ia menyesuaikan ritme pendakian dengan saya dan rekan lain yang masih sangat amatir.
Beberapa kali kami terpaksa berhenti,sekadar untuk melepas penat sambil minum air dan mengunyah potongan gula merah atau mengabadikam beberapa momen di hutan yang menyelimuti pinggang Banda Api.
Semakin ke atas,kerapatan pohon semakin berkurang hingga hilang sama sekali. Digantikan semak belukar dam beberapa jenis tumbuhan yang saya pikir anggrek liar.
Pemandangan dari puncak Banda Api sangat panoramik. Anda bisa melihat pulau-pulau di Banda Naira dengan jelas. Banda Besar,Naira,Pulau Pisang (Syahrir),Keraka dan Rosengain (Hatta) di sebelah timur,sementara di sebelah barat terdapat Pulau Ai,Rhun dan Nailakka.
Matahari hari itu bersinar garang,seolah menyambut kami dengan berkah kesehatan yang tak terhingga. Terik matahari timur yang berkolaborasi dengan kawah-kawah api mini yang menganga di puncak Banda Api,membuat tubuh kami basah oleh keringat. Tubuh terasa segar dan sehat - meski tentu saja kami dapat bonus kulit gosong dan bau matahari yang aduhai.
Saya membayangkan,ratusan tahun silam para penduduk yang diusir secara paksa oleh para penjajah menyusun taktik di puncak Banda Api. Lalu saat para kompeni tertidur,mereka dengan pedang terhunus bergerak ke bawah,lalu menyebrang ke Naira: merebut pulau tempat mereka lahir dan dibesarkan. Perang berkecamuk. Darah berceceran. Bunyi letusan bedil dimana-mana.
Namun tentu saja hal itu hanya dalam imajinasi saya saja. Memang terjadi penyerangan dari penduduk Banda yang mengungsi ke pulau-pulau di sekitar Naira dan Banda Besar semasa pendudukan Belanda,namun dengan skenario yang berbeda - tentu saja. Tapi satu hal yang pasti: pala yang menjadi primadona rempah yang pernah membubungkan nama Banda Naira ke langit Eropa telah membawa petaka bagi penduduknya sendiri kala itu.
Para ilmuwan,pelaut,bangsawan dan saudagar dari Eropa berlomba-lomba mencari sumber rempah-rempah yang semula hanya bisa mereka dapatkan dari para pedagang Cina dan Arab. Spanyol,Portugis,Inggris dan Belanda menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk membiayai ekspedisi penemuan pulau rempah-rempah. Tak sedikit korban jiwa yang tercatat dalam upaya penemuan "harta karun" ini.
Orang-orang Banda yang semula mengganggap pala sebagai sumber kehidupan pun mau tak mau mulai menerima kenyataan bahwa kutukan telah beranak-pinak di setiap butir buah pala. Ketamakan bangsa berkulit pucat dari benua jauh yang dengan cara apapun ingin menguasai sumberdaya di bumi mereka. Mereka terusir dari tanah mereka sendiri. Semua demi pala.
Kemana orang-orang asli Banda itu pergi? Konon mereka dibawa ke Jawa,dijadikan pekerja paksa. Banyak yang mati- tentu saja.
Lookman bercerita bahwa penduduk Banda hari ini adalah campuran dari berbagai etnis yang datang dari berbagai pelosok Tanah Air. Setelah genosida yang dilakukan Belanda di Banda,mereka mendatangkan para pekerja dari Jawa. Orang-orang inilah yang kemudian beranak pinak dan menghuni pulau-pulau di Banda Naira.
Kami turun dengan semangat dan persoektif baru tentang hidup. Belum habis perahu yang mengantar kami pulang bersandar di pinggiran dermaga kecil,hujan turun dengan tergesa. Titik-titik air yang kemudian mengepung seantero pulau dengan hentakan kaki-kaki raksasa bernama hujan.
Catatan:
* Mengingat status Banda Api yang masih aktif,maka sangat disarankan bagi para pendaki untuk mencari informasi mengenai aktifitas gunung sebelum memulai pendakian.
Dan ingat,Banda Naira memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Bisa jadi saat Anda mendaki matahari bersinar dengan terik,namun begitu sampai di puncak hujan bisa turun kapan saja. Sesuka hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H