Â
Setiap kali orang bertanya tentang kampung halaman, pasti pertanyaan berikutnya adalah: Hmm itu dimana, ya?
Saya tak menyalahkan pengetahuan geografi atau sejarah mereka. Secara  politis,hari ini,Sumpur Kudus memang sudah menjadi "halaman belakang"  negeri ini. (Atau memang dari dulu seperti itu?) Jangankan orang Jawa  atau Sulawesi sana, orang Sumatra Barat saja banyak yang masih buta  tentang keberadaan nagari ini. Tentu saja, lagi-lagi, saya tak ingin  mempertanyakan pengetahuan mereka tentang Minangkabau. Paling tidak soal  Rajo Tigo Selo.Â
Kadang, saya menjawab dengan balik bertanya:  Anda kenal Buya Syafii Maarif? Syukur-syukur mereka mudeng, kalau tidak?  Jika Buya Syafii Maarif - satu-satunya tokoh yang bisa kami banggakan  sejauh ini yang merupakan orang asli Sumpur Kudus - tidak juga  dikenali,saya mau menyebut nama siapa lagi? Maka terpaksa saya buka  Google Maps, lalu menyodorkan peta kepada si penanya.Â
Sumpur Kudus, hampir 200 km dari pusat provinsi, secara harfiah berada di tengah hutan lebat Sumatra.Â
Dibutuhkan waktu kurang lebih 4-5 jam perjalanan menggunakan mobil dari  Padang ke Sumpur Kudus. Waktu tempuh tersebut setara dengan  Jakarta-Perth atau Jakarta-Papua atau Jakarta-Hongkong dengan pesawat  terbang. Tak salah jika dulu Syafrudin Prawiranegara dkk memilih tempat  ini sebagai 'persembunyian' pada masa PDRI.
 Puluhan tahun setelah  Indonesia merdeka,kondisinya tak jauh berbeda. Selain jalan yang sudah  dilapisi aspal tipis dan listrik yang mulai menerangi perkampungan sejak  2007 silam, Sumpur Kudus masih tertatih mengejar ketertinggalan.Â
 Sumber penghidupan pendudukan yang umumnya bergantung pada produksi  karet tak banyak memberikan harapan. Harga getah para ini jarang sekali  bisa stabil di atas Rp.10.000 per kilo. Petani selalu dibuat ketar-ketir  oleh harga komoditas andalan mereka yang selalu anjlok di pasaran.  Terakhir harga karet bahkan nyemplung ke angka Rp.4000 per kilo.Â
 Beberapa petani mencoba melirik kakao. Dengan harga berada di kisaran  Rp.25.000 per kilo,kakao sempat menjadi primadona. Sampai penyakit  datang menyerang batang dan buah. Buah penghasil biji coklat ini  diserang penyakit yang meninggalkan bintik-bintik hitam di sekujur kulit  buah dan beberapa jenis jamur menyerang bagian batang. Buah jadi kopong  atau sebagian busuk.Â
 Ada juga yang mencari peruntungan dengan  membuka ladang gambir atau (yang terbaru) kelapa sawit. Dua-duanya cukup  menjanjikan,namun dibutuhkan waktu dan modal yang lumayan banyak untuk  mengembangkannya. Modal dengkul saja tentu tak cukup. Harus ada ilmu dan  ketrampilan.Â
 Sebagian kecil memilih mengolah kayu dari hutan di  sekitar perkampungan. Tapi kebanyakan terkendala perizinan. Sementara  hutan Lisun yang sering dibanggan-banggakan selama ini konon malah sudah  mulai ditebangi oleh pihak luar. Ada perusahaan yang katanya  mengantongi izin penebangan dari pemda. (Benarkah?)Â