Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengenang Syahrir di Banda Naira

7 November 2017   12:06 Diperbarui: 7 November 2017   17:00 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan mati sebelum ke Banda Naira -- demikian kata-kata yang ditulis Syahrir, mengenang hari-hari pengasingannya di pulau terpencil yang pernah menjadi surga pala tersebut.

Banda Naira memang layak disebut nirwana. Gunung vulkanik, pohon pala dan kenari, merpati hutan, pantai yang cantik dan ikan-ikan beraneka warna adalah beberapa di antara selaksa pesona Banda Naira. Namun, memutar tarikh agak jauh ke belakang, Banda Naira bisa jadi adalah kata lain dari sepi.

Setelah Boven Digul, oleh pemerintah kolonial Syahrir kemudian diasingkan ke Banda Naira. Di pulau mungil yang terletak di gugusan pulau di laut Banda yang terkenal sangat dalam itulah Syahrir menghabiskan waktu pengasingannya selama beberapa tahun. Untuk mengenang jasanya yang sudah ikut mengantar negeri ini ke pintu kemerdekaan, salah satu pulau di Banda kemudian dinamai mengikuti namanya.

Bung Syahrir adalah sosok yang hangat dan sangat mencintai anak kecil. Ia cepat sekali akrab dengan anak-anak di Banda Naira -- sesuatu yang agaknya tak terlalu bisa dikuasai oleh Hatta. Konon Hatta memilih mencari tempat tinggal baru, karena anak-anak yang bermain bersama Syahrir di rumah yang mereka sewa sering mengganggu waktu-waktu tenang sang proklamator. Bahkan, katanya satu dari anak-anak angkat Syahrir pernah menumpahkan air ke buku Hatta. Tentu saja si Kutu Buku itu kesal!

Selama pengasingannya di Banda, Syahrir memang sering menghabiskan waktunya dengan bermain bersama anak-anak setempat. Mereka mendayung sampan ke pulau-pulau kecil yang tersebar di gugusan kepulauan Banda, bermain air, lalu kembali ke Naira dengan semangat yang terus membara. Pengasingan yang oleh pemerintah kolonial dimaksuskan untuk mengikis harapan para pejuang justru tak berlalu bagi Syahrir. Ia menemukan sekeping surga di tenggara Maluku tersebut.

Syahrir tak hanya sekadar berteman dengan anak-anak Banda. Dalam beberapa kesempatan ia juga menjahitkan pakaian untuk mereka. Di samping, tentu saja, memberikan pendidikan kepada kelapa-kepala mungil itu.

Hari ini, jika kita menyambangi Banda Naira, nama Syahrir tetap harum dan diletakkan pada sebaik-baiknya tempat oleh penduduk lokal dalam kotak ingatan mereka. Namanya diabadikan menjadi nama masjid, jalan, dan sekolah. Semuanya tentu saja berkat kiprah tokoh bangsa yang tak pernah mengenal kata menyerah itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun