Jangan mati sebelum ke Banda Naira -- demikian kata-kata yang ditulis Syahrir, mengenang hari-hari pengasingannya di pulau terpencil yang pernah menjadi surga pala tersebut.
Banda Naira memang layak disebut nirwana. Gunung vulkanik, pohon pala dan kenari, merpati hutan, pantai yang cantik dan ikan-ikan beraneka warna adalah beberapa di antara selaksa pesona Banda Naira. Namun, memutar tarikh agak jauh ke belakang, Banda Naira bisa jadi adalah kata lain dari sepi.
Setelah Boven Digul, oleh pemerintah kolonial Syahrir kemudian diasingkan ke Banda Naira. Di pulau mungil yang terletak di gugusan pulau di laut Banda yang terkenal sangat dalam itulah Syahrir menghabiskan waktu pengasingannya selama beberapa tahun. Untuk mengenang jasanya yang sudah ikut mengantar negeri ini ke pintu kemerdekaan, salah satu pulau di Banda kemudian dinamai mengikuti namanya.
Bung Syahrir adalah sosok yang hangat dan sangat mencintai anak kecil. Ia cepat sekali akrab dengan anak-anak di Banda Naira -- sesuatu yang agaknya tak terlalu bisa dikuasai oleh Hatta. Konon Hatta memilih mencari tempat tinggal baru, karena anak-anak yang bermain bersama Syahrir di rumah yang mereka sewa sering mengganggu waktu-waktu tenang sang proklamator. Bahkan, katanya satu dari anak-anak angkat Syahrir pernah menumpahkan air ke buku Hatta. Tentu saja si Kutu Buku itu kesal!
Selama pengasingannya di Banda, Syahrir memang sering menghabiskan waktunya dengan bermain bersama anak-anak setempat. Mereka mendayung sampan ke pulau-pulau kecil yang tersebar di gugusan kepulauan Banda, bermain air, lalu kembali ke Naira dengan semangat yang terus membara. Pengasingan yang oleh pemerintah kolonial dimaksuskan untuk mengikis harapan para pejuang justru tak berlalu bagi Syahrir. Ia menemukan sekeping surga di tenggara Maluku tersebut.
Syahrir tak hanya sekadar berteman dengan anak-anak Banda. Dalam beberapa kesempatan ia juga menjahitkan pakaian untuk mereka. Di samping, tentu saja, memberikan pendidikan kepada kelapa-kepala mungil itu.
Hari ini, jika kita menyambangi Banda Naira, nama Syahrir tetap harum dan diletakkan pada sebaik-baiknya tempat oleh penduduk lokal dalam kotak ingatan mereka. Namanya diabadikan menjadi nama masjid, jalan, dan sekolah. Semuanya tentu saja berkat kiprah tokoh bangsa yang tak pernah mengenal kata menyerah itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H