Hari ini tanggal 2 Mei, peringatan hari pendidikan. Di daerah Tasikmalaya bagian timur, terdapat Sekolah Dasar Negeri. Berkisar 210 siswa didik, hanya memiliki 7 ruangan. Setelah upacara, anak diperbolehkan pulang sedangkan seorang murid harus mengikuti jam belajar tambah di Sekolahnya, Muri biasa ia dipanggil begitu. Anak kurus, berkulit sawo matang, dengan gigi sekuning kuning telur, dan kepala gundul. Suka sekali bertanya, suka sekali bertingkah aneh menurut sahabatnya, dan suka membawa buku tulis kumel ke mana-mana. Sesekali ia menuliskan kalimat di sana. Meski tulisannya belum serapih teman seumurannya.
Satu waktu di Sekolah Dasar kelas 1B
"Bu,Ibu.. Sekolah itu untuk apa?" Kata Muri, siswa paling kecil dibangku paling depan.
"Ya, supaya kamu pintar, cerdas, dan terdidik menjadi manusia berkualitas!" jawab Bu Iis.
"Manusia berkualitas itu apa Bu?" lagi tanya Muri sambil memanggutkan tangan di dagunya.
"Manusia yang beriman, sholeh, jujur, disiplin, dan kelak sukses memimpin diri dan masa depannya." jawab Bu Iis menuju papan tulis.
"Tapi Bu... Tapi Bu... Di sini juga banyak yang nyontek, tapi Bapak atau Ibu malah diam mulu. Nyontek itu belajar jujur mencari jawaban ya Bu?"
"Hmm, asalkan kamu tidak nyontek saja ya!" jawab Bu Iis mulai malas.
***
Hari sudah sore, saatnya Muri pulang. Muri pulang dengan berjalan kaki, pergi ke asrama pesantren. Hanya menginap di sana saja, mandi, dan makan. Kata orang sekitar sejak kecil Muri sudah dititipkan di sini oleh kedua orangtuanya. Tiga tahun lalu, dikabarkan Muri jadi yatim-piatu, tapi Muri tidak merasa amat sedih mendengar kabar itu. Karena sejak kecil ia tidak tahu mengenai orangtua kandungnya. Yang ia hadapi adalah kehidupan di asrama itu saja, yang hanya memfasilitasi tinggal. Karena pesantrennya tidak gratis. Kepala yayasan hanya iba padanya, sehingga ia diperbolehkan berkembang dilingkungan asrama sekitar.
Sebelum sampai pesantren, Muri melewati rumah si Hasni. Hasni teman sekelas yang selalu menjahilinya. Muri sedih, karena Hasni mendapatkan apa yang dia inginkan, sebebas-bebasnya. Aku ingin jadi Hasni si juragan sayur!, kata Muri sambil menaikan nada bathinnya. Muri tidak pernah diperbolehkan memiliki mobil-mobillan sebagus yang Hasni miliki. Apalagi Muri amat sedih, bukan saja mengenai mainan-mainan yang menurutnya keren. Tapi kasih sayang ibu kandungnya yang melulu memanjakannya. Makan disuapin, mandi dimandiin. Lewat celah kecil di Gerbang. Muri suka diam sejenak di sana. Ia membayangkan sedang menjadi Hasni di taman depan rumahnya itu.
Dua puluh menit cukup. Muri melanjutkan pulang dengan merunduk lemas. Dia juga harus menahan malu, karena celanya robek pas di tengah. Akibat menendang bola saat istirahat siang di Sekolahnya, ia terlalu bersemangat akhirnya terjungkir 360 derajat, akhirnya celana merah semata wayangnya sobek di tengah. Bu Nunung, suka menjahit celana sobeknya Muri. Tapi jahitannya selalu tidak kuat dan kembali terputus, robek lagi. Muri itu terlalu bersemangat ditiap waktunya, kata Bu Nunung bercerita pada tetangganya.
Setelah di depan asrama, tugas Muri selanjutnya adalah menimba air. Sebab kakak-kakak kobongnya pasti akan marah jika WC belum penuh air, karena sorenya mereka mandi secara berjamaah. Muri yang kecil-kecil tubuhnya sudah dilatih tahan banting. Muri tidak pernah mengeluh atas itu. Sebab berkat usahanya Muri bisa tersenyum, melihat kakak kobongnya membelikan biskuit untuknya. Namun bukan itu yang membuat Muri dengan senang hati melakukannya. Tapi Muri senang, melihat kakak kobongnya terlihat segar setelah terlihat kotor dan bau. Ia bersyukur setelah melakukan pekerjaan itu.
Jika adzan mulai berdetak, Muri suka paling depan mengisi shaf. Ia pandai mengaji murotal. Sering juara dikampungnya, karena itu Kiyai sepuh amat menyayangi Muri. Dia suka membaca lembar apasaja, yang penting gratis. Sesekali kakak kobongnya meminjamkannya buku-buku, mulai dari al-hadist, tafsir pendek, dan buku wawasan lainnya. Muri masih kecil, anak seumuran dia tentu masih lama kecepatan pemindaian bacanya. Tapi ia cepat jika sudah dihadapkan dengan tulisan arab baik berharkat atau gundul. Ya, begitulah keistimewaan Muri.
Tidak sengaja Muri menemukan buku biografi judunya, "Mengenang 100 Tokoh Pembangun". Baru di halaman pertama ia sudah terhenti. Di halaman yang memuat tokoh pembangunan pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara atau Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Amat lama Muri hanya diam seperti itu, sambil tangan menyeka dagu. Membopong badannya dengan duduk sila.
Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara tidak seperti Ivan Illich atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hajar berpandangan bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan
Muri malah berpikir mengapa setiap ia pergi ke Sekolah pasti saja kakinya harus sakit, menahan sepatu dengan alas setipis tissue, padahal jalannya memang berbatu, belum lagi harus melewati lempengan besi pipa untuk menyebrang. Di Bawahnya arus sungai selalu deras. Jika siang lempengan besi karat itu memanas, ia harus bertahan. Meski kakinya harus melepuh kemudian. Di kelas pun tidak sedikit anak laki-laki yang suka menjahilinya. Dari mulai menaruh sapu di atas pintu, sampai mencoret-coret pekerjaan rumah dan catatannya. Tapi Muri memang penyabar orangnya, rendah hati sekali. Meskipun ia menaknya si Kiyai sepuh yang terkenal se-Provinsi Jawa Barat.
Muri malah berpikir mengapa setiap ia pergi ke Sekolah pasti saja kakinya harus sakit, menahan sepatu dengan alas setipis tissue, padahal jalannya memang berbatu, belum lagi harus melewati lempengan besi pipa untuk menyebrang. Di Bawahnya arus sungai selalu deras. Jika siang lempengan besi karat itu memanas, ia harus bertahan. Meski kakinya harus melepuh kemudian. Di kelas pun tidak sedikit anak laki-laki yang suka menjahilinya. Dari mulai menaruh sapu di atas pintu, sampai mencoret-coret pekerjaan rumah dan catatannya. Tapi Muri memang penyabar orangnya, rendah hati sekali. Meskipun ia menaknya si Kiyai sepuh yang terkenal se-Provinsi Jawa Barat.
Anak ini cerdas, sayangnya ia lebih mudah menjumlahkan bilangan dengan jenis tulisan angka arab. Di Sekolah guru-gurunya pun tidak semua seberkualitas guru selayaknya guru. Kadang di dalam kelas pun hanya membaca buku materinya, tidak menjelaskan detailnya. Tapi tidak semua begitu. Untuk kelas 1 Dasar ini,Muri memiliki Ibu Rasidah sebagai guru agama, Pak Rusli segabai guru pengetahuan alam (sciene). Mereka yang amat memperhatikan Muri, dan membantu Muri tetap Sekolah di sini.
Muri suka menulis sejak ia bisa menuliskan alfabet a-z.
ini tulisan Muri hari ini :
Aku ingin seperti Ki Hajar, tokoh pembangun pendidikan bangsa tempo doeloe. Aku ingin menjadi diriku, menjadi diri yang Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani! Aku anak SD, kata Ibu Rasidah begitu. Tapi kata Pak Rusli aku anak bangsa Indonesia, di Negara yang memiliki segudang tokoh pejuang dan pembangun yang riwayatnya hebat-hebat. Aku ingin tidak dinakali sama teman-temanku, makanya aku harus jadi suritauladan dengan jadi anak baik selalu. Hari pendidikan. Semoga aku bisa lulus sampai aku menjadi Ki Hajar! Orang enggak punya dan miskin juga tetap manusia. Ingin hidup dengan sempurna!
Hari ini Muri mendapat nilai matematika 78, tapi ia tetap semangat tersenyum. Karena itu usaha Muri, karena Muri berusaha dengan mandiri. Tidak seperti teman-temannya yang berdiskusi, dan meminta tolong jawaban pada pengawas. Muri loncat kegirangan, karena itu nilai terbesar yang pernah didapatkan muri dalam bidang mata pelajaran matematika.
"Sebentar lagi aku pasti mendapatkan nilai 100!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H