Beberapa hari ini, media sosial diriuhkan oleh seorang publik figur yang dengan bangga membeberkan latar belakang pendidikannya. Keren!Â
Satu kata dari saya pribadi yang baru saja dinyatakan lulus dari sebuah perguruan tinggi ternama di dalam negeri. Bukan berniat sarkas, namun, terlepas dari pernyataan kontroversial yang memantik beragam kesangsian warganet, saya justru tertarik dengan munculnya berbagai flexing yang tak kalah keren.
Jujur, saya pribadi tidak ingin mempermasalahkan sosok yang bersangkutan karena saya juga tidak mengikuti eksistensinya di dunia maya. Saya justru menulis artikel ini untuk refleksi diri dari fenomena sosial berwujud flexing yang akhir-akhir ini marak terjadi di tengah masyarakat.Â
Yaaaaaa, kalau dipikir-pikir, flexing atau tindakan pamer yang dilakukan oleh seseorang dengan tendensi "caper" hingga sombong atas pencapaiannya bukanlah hal yang haram. Bahkan, saya sendiri juga di paragraf awal numpang flexing sebagai wujud apresiasi terhadap diri sendiri. Namun, saya yakin, kalimat flexing yang saya bubuhkan berpotensi untuk diinterpretasikan secara liar oleh pembaca dan itu lumrah.
Menurut saya, tidak ada yang salah dari setiap interpretasi terhadap pernyataan-pernyataan yang berseliweran di linimasa media sosial. Tidak semua maksud yang disisipkan penulis dapat diterima dengan persepsi yang sama oleh pembaca. Apalagi, setiap orang memiliki perspektifnya masing-masing saat menginterpretasikan makna dari kalimat yang ada.Â
Jadi, lumrah jika reaksi yang muncul terhadap sebuah pernyataan yang kontroversial, pasti menimbulkan keriuhan yang membabibuta di media sosial. Pro dan kontra selalu ada mewarnai riuhnya adu argumen hingga adu sarkas para penghuni dunia maya. Jadi, ya sudah. Tidak usah diperpanjang bahasan tentang kebebasan interpretasi terhadap setiap pernyataan dan mari kembali fokus pada renungan sebelum flexing, he-he.
Berkaitan dengan efek domino yang ditimbulkan dari sebuah pernyataan seorang publik figur terkait latar belakang pendidikannya, maka bermunculanlah flexing-flexing luar biasa dari para warganet yang seolah berlomba untuk menunjukkan rekam jejak akademiknya.Â
Ada yang melucu dengan sarkas, ada yang jenaka dengan respons tak berbobot, bahkan ada juga yang dengan serius menanggapi dengan flexing berkelas. Namun dalam artikel ini, saya tidak akan membahas ragam flexing yang bertebaran. Saya ingin mengajak orang-orang yang tidak sengaja membaca tulisan ini untuk merenung. Iya, merenungi jejak pendidikan yang ditapaki hingga detik ini.
Saya tidak mempermasalahkan orang yang flexing dengan berbagai pencapaian dan tingginya jenjang pendidikan yang dipamerkan. Bagi saya, semua itu sah! Tapi, terlepas dari keabsahan sebuah flexing, pernahkah kita berpikir soal kepantasan?
Pernahkah kita berpikir secara mendalam perihal kelayakan diri untuk memamerkan apa yang kita peroleh? Bukan berarti tulisan ini mengajak pembaca untuk insecure, justru saya ingin kita menjadi orang yang benar-benar percaya diri bahwa, kita memang pantas dan layak menerima apa yang menjadi objek flexing masing-masing.Â
Jika objek tersebut berwujud jenjang pendidikan, lantas pernahkah kita merenungi ilmu yang kita peroleh selama belajar? Atau jangan-jangan, peliknya proses yang dijalani hanya untuk memenuhi hasrat agar dipuji khalayak dengan gelar yang berhasil disandang?
Memangnya apa arti sebuah gelar yang dibubuhkan dalam nama jika ilmu yang kita peroleh tidak ada manfaatnya bagi sesama? Apakah dengan bergelar, perjuangan hidup sudah selesai? Apakah dengan bergelar, uang akan datang dengan sendirinya dan hidup akan seindah alur FTV khas Indonesia? Apakah kelulusan yang hanya fokus pada kata "lulus" adalah sebuah proses yang layak dibanggakan?
Menurutku, tidak. Sebab, setiap jenjang yang ditapaki akan memberikan beban baru dalam proses selanjutnya, termasuk gelar baru yang pastinya memiliki beban moral yang cukup besar. Terlebih jika gelar akademik tersebut diperoleh dari kampus ternama, baik dalam maupun luar negeri.Â
Tentu, beban moral yang didapat pun akan berlipat ganda. Sayangnya, beban tersebut sering diabaikan karena perbedaan pola pandang dari setiap individu dalam menyikapi perolehan gelar akademiknya. Jadi sebenarnya, flexing dengan perolehan prestasi akademik adalah hal yang membutuhkan nyali besar apabila orang yang memamerkannya tidak memiliki siasat yang tepat.
Siasat dalam konteks ini merujuk pada proses pemenuhan kapasitas dan kapabilitas diri sebelum memamerkan pencapaiannya. Jika sebuah hal dipamerkan tanpa diimbangi bekal yang cukup, maka, jangan sampai down jika mendadak dirundung oleh khalayak!Â
Mengingat kebrutalan jari warganet yang terkadang melampaui batas kewajaran, jadi, mari bersama-sama belajar untuk memastikan kepantasan sebelum flexing. Apalagi jika hal yang akan kita pamerkan berkaitan dengan rekam jejak dari jenjang pendidikan atau prestasi akademik karena sungguh, jika kapasitas dan kapabilitas diri tidak memadai, yang ada kita akan menjadi bahan rujakan di media sosial.
So, mari berlatih bijak sebelum ber-flexing ria!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H