Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Renungan Sebelum "Flexing"

1 Maret 2022   13:57 Diperbarui: 1 Maret 2022   14:07 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini, media sosial diriuhkan oleh seorang publik figur yang dengan bangga membeberkan latar belakang pendidikannya. Keren! 

Satu kata dari saya pribadi yang baru saja dinyatakan lulus dari sebuah perguruan tinggi ternama di dalam negeri. Bukan berniat sarkas, namun, terlepas dari pernyataan kontroversial yang memantik beragam kesangsian warganet, saya justru tertarik dengan munculnya berbagai flexing yang tak kalah keren.

Jujur, saya pribadi tidak ingin mempermasalahkan sosok yang bersangkutan karena saya juga tidak mengikuti eksistensinya di dunia maya. Saya justru menulis artikel ini untuk refleksi diri dari fenomena sosial berwujud flexing yang akhir-akhir ini marak terjadi di tengah masyarakat. 

Yaaaaaa, kalau dipikir-pikir, flexing atau tindakan pamer yang dilakukan oleh seseorang dengan tendensi "caper" hingga sombong atas pencapaiannya bukanlah hal yang haram. Bahkan, saya sendiri juga di paragraf awal numpang flexing sebagai wujud apresiasi terhadap diri sendiri. Namun, saya yakin, kalimat flexing yang saya bubuhkan berpotensi untuk diinterpretasikan secara liar oleh pembaca dan itu lumrah.

Menurut saya, tidak ada yang salah dari setiap interpretasi terhadap pernyataan-pernyataan yang berseliweran di linimasa media sosial. Tidak semua maksud yang disisipkan penulis dapat diterima dengan persepsi yang sama oleh pembaca. Apalagi, setiap orang memiliki perspektifnya masing-masing saat menginterpretasikan makna dari kalimat yang ada. 

Jadi, lumrah jika reaksi yang muncul terhadap sebuah pernyataan yang kontroversial, pasti menimbulkan keriuhan yang membabibuta di media sosial. Pro dan kontra selalu ada mewarnai riuhnya adu argumen hingga adu sarkas para penghuni dunia maya. Jadi, ya sudah. Tidak usah diperpanjang bahasan tentang kebebasan interpretasi terhadap setiap pernyataan dan mari kembali fokus pada renungan sebelum flexing, he-he.

Berkaitan dengan efek domino yang ditimbulkan dari sebuah pernyataan seorang publik figur terkait latar belakang pendidikannya, maka bermunculanlah flexing-flexing luar biasa dari para warganet yang seolah berlomba untuk menunjukkan rekam jejak akademiknya. 

Ada yang melucu dengan sarkas, ada yang jenaka dengan respons tak berbobot, bahkan ada juga yang dengan serius menanggapi dengan flexing berkelas. Namun dalam artikel ini, saya tidak akan membahas ragam flexing yang bertebaran. Saya ingin mengajak orang-orang yang tidak sengaja membaca tulisan ini untuk merenung. Iya, merenungi jejak pendidikan yang ditapaki hingga detik ini.

Saya tidak mempermasalahkan orang yang flexing dengan berbagai pencapaian dan tingginya jenjang pendidikan yang dipamerkan. Bagi saya, semua itu sah! Tapi, terlepas dari keabsahan sebuah flexing, pernahkah kita berpikir soal kepantasan?

Pernahkah kita berpikir secara mendalam perihal kelayakan diri untuk memamerkan apa yang kita peroleh? Bukan berarti tulisan ini mengajak pembaca untuk insecure, justru saya ingin kita menjadi orang yang benar-benar percaya diri bahwa, kita memang pantas dan layak menerima apa yang menjadi objek flexing masing-masing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun