Tidak ada ekspektasi tinggi, saya pasrah karena selama perkuliahan berlangsung, saya pun mengikuti sebagaimana kewajiban yang harus saya jalani. Saya kehilangan jiwa kompetitif yang dulu terpelihara baik.Â
Uniknya, saat semua nilai keluar, kartu hasil studi (KHS) menampilkan angka 3,8 dan seketika Mama saya berkata, "kok bisa?" dengan intonasi keterkejutan yang luar biasa.
Yaaaaa, jangankan orang tua dan keluarga, saya sendiri pun terheran-heran. Tidak berhenti di situ, saat masuk semester genap (II), saya pun mempersiapkan diri untuk ikut SBMPTN agar bisa kembali memperjuangkan prodi impian.Â
Namun, lagi-lagi takdir berkata lain. Seraya alam dan Tuhan bersinergi untuk tidak mengizinkan saya ikut ujian karena jadwal yang berbarengan dengan agenda lain yang tidak dapat ditinggalkan.
Sedih? Jelas! Patah? Tentu!
Namun, dari alur yang pelik itu saya tersadar, pada akhirnya saya harus belajar menerima. Iya, perlahan saya belajar untuk menerima kenyataan bahwa apa yang saya terima di waktu itu adalah sebaik-baiknya jalan dari Tuhan.Â
Saya yang sebelumnya menghardik Sang Maha Sutradara dengan bombardir pertanyaan berdiksi "mengapa", perlahan terfokus pada kata "bagaimana" agar bisa tetap melanjutkan perjalanan.
Akhirnya kini, saya paham kenapa Tuhan menempatkan saya di jurusan Sastra Indonesia. Iya, saya jadi mengerti bahwa Tuhan lebih memahami apa yang terbaik dan apa yang paling tepat.Â
Sebab, setelah saya jalani, passion saya ada di bidang sosial humaniora. Saya baru bisa menyadari semua itu setelah berhasil melewati berbagai tantangan dari setiap kesempatan yang saya "trabas" dengan senjata kalimat, "Tuhan yang pimpin!"
Saya berhasil menjadi Mawapres Utama di Fakultas Ilmu Budaya (2017), terpilih menjadi juara di berbagai kompetisi, lulus dalam 3 tahun 10 bulan dengan predikat Cumlaude, dan sekarang tercatat sebagai mahasiswa aktif di jurusan Magister Ilmu Susastra.Â
Kalau dirunut ulang, sepertinya berbagai pencapaian yang saya terima adalah sebuah kemustahilan bagi seorang mahasiswa yang notabene salah jurusan. Namun, kembali lagi, ketika kita berani abai pada kata "mengapa" dan tetap fokus pada "bagaimana", maka semua akan baik-baik saja.