Sebab, program studi yang saya incar linier dengan jurusan yang saya tekuni. Namun, takdir berkata lain. Ketika saya melihat warna hijau di laman pengumuman, hati saya hancur.Â
Bukan berarti saya tidak bersyukur karena hijau tanda lolos, tapi, tertulis dengan jelas di laman tersebut bahwa saya diterima di pilihan kedua.
Lemas, bingung, sedih, semua bercampur jadi satu. Saya kesulitan merangkai kata untuk menjelaskan pada keluarga soal hasil dari pengumuman tersebut karena hampir seluruhnya berharap saya masuk di fakultas teknik.Â
Benar saja, ketika saya sampai rumah dan bilang dengan jujur bahwa saya diterima di jurusan Sastra Indonesia, semua hanya menyambut dengan diam. Bukan kecewa, keluarga hanya turut merayakan kebingungan yang saya rasakan.Â
Pasalnya, saya diterima di bidang kesusastraan murni, bukan pendidikan. Jadi, wajar jika kami semua bingung menyikapi hasil yang (awalnya) saya anggap sebagai sebuah kesialan.
Ya, saya menganggap kesempatan tersebut sebagai hal yang sial karena "mau-tidak mau", saya harus tetap daftar ulang karena konon, imbas dari siswa yang tidak mengambil kesempatan tersebut akan memasukkan sekolahnya dalam daftar hitam.Â
Artinya, bersedia atau tidak, saya harus rela menjadi "tumbal" dari sistem yang mengancam status sekolah saya sendiri.
***
Singkat cerita, awal masuk kuliah saya benar-benar kesulitan beradaptasi karena 2 tahun saya dicekoki materi saintek dan kini harus berjibaku dengan ilmu kebahasaan yang asing. Tepat di pertengahan semester ganjil, saya hampir menyerah dan keluarga pun pasrah.Â
Padahal saya sudah mencoba untuk mencari pelarian dengan mengikuti berbagai kegiatan mahasiswa. Hasil tetap zonk. Saya belum bisa menemukan kenyamanan dan ketenangan sampai tiba masa UAS, hingga akhirnya yudisium.