Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keadaan Memaksaku Waras di Negeri yang Sekarat

5 September 2021   00:46 Diperbarui: 5 September 2021   01:03 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlepas dari segala jengah yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, serta segala drama tugas akhir yang tak kunjung tuntas, aku pun kini tersadar bahwa aku bingung. Bukan karena dinamika perkuliahan yang pelik, bukan juga dibingungkan oleh lika-liku asmaraku yang absurd, namun, karena kekonyolan yang terjadi akhir-akhir ini.

**

Belum luntur dari ingatan, sebuah lelucon dilontarkan oleh seorang mantan menteri yang memohon untuk dibebaskan dari tuntutan hukum akibat polah gratil tangannya yang menyunat dana bansos. Belum juga terlupa, sebuah diskon hukuman yang diterima oleh mantan jaksa berparas cantik dengan dalih "perempuan" yang juga ibu dari seorang bayi mungil tak berdosa. Haha, sampah!

Betapa lucunya komedi yang dipertontonkan oleh segerombol maling uang rakyat yang hidup di negara yang sekarat ini. Negara yang sejatinya kaya, namun dihuni oleh manusia-manusia jenius dengan segala tipu muslihatnya. Manusia-manusia yang tidak bernurani dan mementingkan perut para kroninya sendiri. Bedebah!

Eh?

Astaga, tak sepatutnya hamba sahaya sepertiku mengetik umpatan untuk mereka yang sempat dimuliakan jabatan. Walau bagaimanapun, ledakan emosiku yang terlampau muak dengan tingkah para dagelan berbaju rapi itu tidak berguna. Aku tetaplah rakyat biasa yang tidak terlepas dari ancaman UU ITE. Jadi, lebih baik aku berhati-hati karena berbagai keajaiban bisa terjadi di negeri yang konon mendukung kebebasan berespkresi ini. 

Cukup!

Cukup sudah tulisan yang menyenggol para maling itu, aku akan beralih pada kemeriahan prosesi penyambutan seorang mantan narapidana yang tersandung kasus pelecehan seksual. Mungkin, euforia penyambutan para atlet yang berhasil menyumbangkan emas bagi Indonesia masih bersisa di benak masyarakat. Namun, bukan berarti prosesi penyambutan Greysia Polii and the gank dengan yang bersangkutan itu pantas dimiripkan.

Para atlet olimpiade yang pulang setelah berjuang di Jepang telah berhasil mengharumkan nama bangsa dengan prestasi yang layak diapresiasi, sedangkan mantan narapidana tersebut telah menggoreskan trauma bagi penyintas dari tindak pelecehan seksual yang dilakukannya. Entah apa yang terbesit dalam nalar para pemberi panggung yang menyambutnya dengan begitu meriah. Bukan iri, karena ini tidak ada hubungannya dengan konsep "rezeki tidak pernah tertukar". Namun bagiku, ini begitu lucu karena seolah-olah, para penyambut yang secara otomatis menjadi bagian dari masyarakat umum ini telah mempertontonkan pada dunia bahwa, kita adalah bangsa yang memuja pelaku pelecehan seksual. Oh iya, tulisan ini tidak memiliki tendensi untuk memojokkan yang bersangkutan, aku hanya menyoroti "cara" menyambut kebebasan yang tidak lazim.

Entah aku yang tolol atau memang semua ini konyol, yang pasti, hal tersebut cukup memprihatinkan dan tentunya membuatku semakin bingung. Tapi, ya sudah lah, kini saatnya aku beralih ke isu perundungan yang terjadi di sebuah institusi negara. Aku lebih tidak bisa berpikir waras saat mencerna rilis yang dibagikan oleh penyintas dan tersebar luas di dunia maya.

Aku tidak bisa membayangkan, betapa depresinya beliau yang dirundung habis-habisan dan diperlakukan sedemikian buruk oleh rekan kerjanya bertahun-tahun. Pun di kondisi yang demikian, penyintas tersebut masih bertahan dan memikirkan keberlangsungan hidup anak dan istrinya. Padahal, situasi menyudutkannya pada kondisi "hidup segan, mati tak mau!"

Kadang, aku berpikir, jangan-jangan kiamat tak kunjung datang bukan karena masih banyak orang yang beriman. Namun, semua ini diakibatkan oleh Dajjal yang minder melihat kelakuan manusia yang makin hari, makin sulit dideskripsikan naluri kemanusiaanya.

Haha, taek, taek!

Nampaknya, aku agak tertular virus dark jokes yang biasa dikelakarkan oleh seorang komika kontroversial yang tengah hangat diperbincangkan oleh publik akibat penyalahgunaan sabu. Aku tidak akan menyenggol jauh perihal kasus tersebut karena apapun dalihnya, penyalahgunaan narkoba bukanlah hal yang layak dibenarkan. Aku justru salah fokus pada pemberitaan yang beredar terkait orientasi seksual yang bersangkutan. Iya, aku salah fokus karena tidak hanya satu, dua berita yang menjadikan unsur orientasi seksual hingga labeling gay terhadap yang bersangkutan itu dijadikan judul.

Aku paham, pangsa media saat ini memang dikuasai oleh penikmat kabar yang minim minat membaca. Segala judul yang "pencetable" lebih diminati, ketimbang berita bermutu yang mengabarkan hal positif dengan olahan diksi yang berkualitas. Kondisi ini pun diperburuk dengan kebiasaan warganet yang latah dengan menyebarkan informasi, tanpa pengorekan sumber yang kredibel. Namun, terlepas dari segala tindak-tanduk warganet dan seluruh pihak yang hobi "sharing tanpa saring", ya aku cuma mau bilang, aku bingung.

Aku bingung dengan tujuan, motivasi dan apapun itu yang melandasi pembuatan dan peredaran berita yang terlalu mengorek ranah pribadi seseorang. Seingatku, jika ada kasus korupsi yang dilakukan oleh para maling berdasi dengan jabatan tinggi, berita hanya akan difokuskan pada apa yang telah dilakukannya. Tidak melebar pada hal-hal pribadi, terlebih soal orientasi seksual. Tapi, kenapa untuk kasus kali ini, beberapa media secara eksplisit menyuguhkan informasi yang seolah memvalidasi jati diri yang bersangkutan. Bukankah itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kasus penyalahgunaan narkoba? Lantas, apa urgensinya jika masyarakat umum tahu kalau yang bersangkutan gay? Apakah negara ini akan mengalami kerugian yang fatal? Atau, apakah ada ancaman krisis moneter yang berkepanjangan?

Hmmmm, sepemahamanku, orientasi atau preferensi serta fantasi seksual seseorang bukanlah bahan yang pantas dijadikan berita. Apalagi jika hal tersebut tidak merugikan orang lain karena secara hak asasi manusia, setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya masing-masing. Terlepas dari dogmatisme kepercayaan yang diimani oleh masing-masing individu, selama aktivitas seksual seseorang tidak menimbulkan kerugian untuk orang lain atau bahkan hingga memantik tindak kriminal, maka, hal tersebut bukanlah masalah bagi publik karena memang tidak pantas untuk dijadikan bahan bergunjing publik.

Jadi, ya udahlah ya. Aku makin bingung harus nulis apa. Isi kepalaku penuh dengan "why why why" yang diakibatkan oleh segala hal unik yang terjadi di bangsa yang tengah sekarat ini. Aku tidak akan membahas lebih jauh soal hal-hal ini karena aku sudah cukup bingung. Semoga aku dikuatkan untuk terus berusaha waras di tengah orang-orang yang mengaku waras.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun