Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Tuhan Bertanya Soal Kesempatan Kedua

25 Mei 2021   18:41 Diperbarui: 26 Mei 2021   00:55 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika aku bisa langsung berdialog dengan Tuhan dan Dia bertanya, apa mauku bila diberi kesempatan kedua?

Atau, jika aku bisa memutar waktu ke belakang, lantas apa yang akan aku perbuat?

Mungkin, aku akan memilih untuk menjadi bajingan yang arogan. Aku tidak akan menjadikan kata "maaf" sebagai bentuk pengampunan yang mewujud prioritas sikap untuk berinteraksi dengan individu lain. Aku juga tidak akan menggunakan "kasih" sebagai dasar menjalani hidup di dunia yang penuh drama ini. Lalu, aku akan pergi ke rumah dalang yang merancang skenario pembunuhan bapakku, membabat leher keturunan dari para eksekutor yang menembak bapak, dan memastikan kematian seorang perempuan yang berani-beraninya menghina ibuku. Aku pun tidak akan segan untuk memenggal kepala pihak yang merampas hak atas tanah milik adikku dan sungguh, aku pun akan meracuni pria yang telah menghianatiku pasca bermandikan lendir birahi bersamaku.

Aku juga tidak akan memilih untuk menjadi orang baik, karena ternyata, menjadi jahat terlihat lebih baik. Tidak peduli dengan hancurnya hati orang lain, tidak repot menginvestasikan waktu dan tenaga dengan dalih kemanusiaan atau bahkan, berusaha mengusahakan yang terbaik dengan mengatasnamakan persahabatan. Aku pikir, itu benar-benar lebih menenangkan daripada berusaha menjadi baik dan terus-terusan memikirkan perasaan orang lain.

Selama ini, aku terlalu mengikuti doktrin dari keluargaku untuk terus menjadi pribadi bebas yang terbatas. Bebas menentukan pilihan, namun tetap terbatasi dogma untuk mengedepankan maaf dan kasih. Sialnya, terlalu menjadi pemaaf dan mengasihi orang-orang di sekitarku adalah jalan pintas untuk menyakiti diri sendiri. Bahkan saking sakitnya, aku jadi paham bahwa menanam hal baik tak menjamin panen hal yang baik pula. Jadi, untuk apa?

Untuk apa aku menahan diri ketika murka dengan seseorang hanya karena aku tidak ingin menyakiti batinnya dengan ucapku. Kenapa, kenapa ketika hatiku remuk akibat perkataan orang lain, aku memilih diam dan menangis di sudut kamar? Kenapa aku terlalu mudah mengampuni dusta dan memberikan kesempatan kedua? Kenapa aku selalu menjadikan orang-orang terdekatku sebagai prioritas, padahal aku sadar, aku tidak akan pernah menjadi prioritas orang lain, meskipun itu di detik yang genting.

Kenapa, doktrin untuk menjadi pemaaf dan dogma untuk mengedepankan kasih terlanjur mengultus dalam hidupku?

Sungguh ini melelahkan, Tuhan. Sungguh, aku jengah menjadi aku yang seperti ini.

Aku ingin menjadi seorang pembunuh yang tidak punya nurani. Aku ingin menjadi pihak yang tegas bersikap abai terhadap segala musibah yang menimpa orang-orang di sekitarku. Aku ingin menjadi orang yang tega menertawakan tragedi dan aku, aku ingin menjadi orang yang brengsek. Tidak lagi menghiraukan apa yang akan dikatakan orang kepadaku, tidak peduli dengan respons khalayak terhadapku karena semakin ke sini, aku kehilangan diri sendiri.

Aku terlalu patuh pada prinsip dasar untuk memanusiakan manusia dan aku terlalu mengutamakan kegentingan orang lain dengan mengorbankan diriku sendiri. Bukan berarti aku sedang memvalidasi diri sendiri sebagai pribadi yang baik karena aku punya sisi yang bernoktah. Selayaknya daging bernyawa yang rohnya lemah, aku pun orang yang mudah lengah dengan napsu duniawi. Sayangnya, kelengahanku belum sanggup mematikan perasaanku dengan utuh. Aku ingin terkendalikan dendam secara penuh agar aku bisa menjadi pembunuh yang andal.

Pembunuh ulung yang mampu menjadi perantara Tuhan untuk mencabut nyawa orang yang melukai batinku, walau hanya seujung kuku. Penembak jitu yang lihai menembakkan peluru pada pihak-pihak yang merendahkan keluargaku. Penikam yang cekatan menusuk dengan peluk, sekaligus pemanah yang sigap menghentikan langkah para penghianat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun