Melalui tulisan ini, aku hanya ingin berbagi tentang hal sederhana yang menurutku sangat patut untuk diapresiasi. Bukan berarti aku sudah memiliki etika yang baik dan patut dicontoh karena faktanya, aku pun belum pantas menjadi contoh bagi orang lain.Â
Jadi, sebelum ada respons yang bertendensi menyudutkan, maka aku dengan sadar diri akan memvalidasi dulu bahwa aku memang masuk dalam golongan "jarkoni" atau "isa ngajar, ra isa nglakoni". Maknanya, bisa mengajar, tapi belum sanggup menerapkannya untuk diri sendiri, hehehe.
Memang biasanya begitu, kan? Kebanyakan dari kita bisa bersikap bijak saat menuturi orang lain, tapi menerapkan tuturan nasehat untuk diri sendiri malah susah. Ya, lumrahlah! Namanya juga manusia, tidak ada yang hidup tanpa celah. Ah, sudahlah. Nglantur kan jadinya, hmmmm.
Nah, sebenarnya tulisan ini adalah hasil dari kristalisasi rasa takjub yang kemudian aku cairkan dalam wujud tulisan agar bisa dibaca khalayak.Â
Aku sendiri tidak menaruh ekspektasi tinggi soal apa yang akan disimpulkan oleh para pembaca karena aku percaya, setiap orang punya daya dan kuasa mutlak untuk mengilhami segala sesuatu.Â
Jadi, kemarin malam ada sebuah pesan masuk di surat elektronikku yang berisi permohonan izin pengembangan penelitian. Jujur, saat pertama kali membaca pesan tersebut rasanya kaget, terharu dan malu.Â
Pertama, aku kaget karena ada yang dengan santunnya memohon izin untuk mengembangkan artikel ilmiah yang sebelumnya aku tulis untuk pemenuhan tugas mata kuliah semiotika.Â
Dulu, sewaktu aku masih belajar di jenjang kesarjanaan, salah seorang dosenku pernah bilang kalau mendokumentasikan tugas sehari-hari di platform riset yang bisa menumbuhkan semangat produktif di bidang akademik.Â
Ya, aku ingat inti dari perkataanya begitu, tapi aku tidak mengindahkannya karena saat itu, hatiku belum terketuk untuk memahami maksud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.Â
Baru ketika aku memutuskan untuk belajar di jenjang yang sekarang, aku tersadar bahwa apa yang disampaikan oleh dosenku di waktu itu benar adanya.