Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - Student of Master Degree - Diponegoro University

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bicara Soal Etika yang Sederhana

16 Maret 2021   18:15 Diperbarui: 26 Maret 2021   16:00 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melalui tulisan ini, aku hanya ingin berbagi tentang hal sederhana yang menurutku sangat patut untuk diapresiasi. Bukan berarti aku sudah memiliki etika yang baik dan patut dicontoh karena faktanya, aku pun belum pantas menjadi contoh bagi orang lain. 

Jadi, sebelum ada respons yang bertendensi menyudutkan, maka aku dengan sadar diri akan memvalidasi dulu bahwa aku memang masuk dalam golongan "jarkoni" atau "isa ngajar, ra isa nglakoni". Maknanya, bisa mengajar, tapi belum sanggup menerapkannya untuk diri sendiri, hehehe.

Memang biasanya begitu, kan? Kebanyakan dari kita bisa bersikap bijak saat menuturi orang lain, tapi menerapkan tuturan nasehat untuk diri sendiri malah susah. Ya, lumrahlah! Namanya juga manusia, tidak ada yang hidup tanpa celah. Ah, sudahlah. Nglantur kan jadinya, hmmmm.

Nah, sebenarnya tulisan ini adalah hasil dari kristalisasi rasa takjub yang kemudian aku cairkan dalam wujud tulisan agar bisa dibaca khalayak. 

Aku sendiri tidak menaruh ekspektasi tinggi soal apa yang akan disimpulkan oleh para pembaca karena aku percaya, setiap orang punya daya dan kuasa mutlak untuk mengilhami segala sesuatu. 

tangkapan layar
tangkapan layar
Termasuk, kuasa yang bebas untuk mengambil sisi apapun dari tulisan ini. Entah sisi yang positif atau justru negatif, terserah. Itu urusan masing-masing pribadi, toh di sini, niat utamaku adalah untuk menunjukkan sesuatu yang menurutku benar-benar patut untuk dijadikan contoh.

Jadi, kemarin malam ada sebuah pesan masuk di surat elektronikku yang berisi permohonan izin pengembangan penelitian. Jujur, saat pertama kali membaca pesan tersebut rasanya kaget, terharu dan malu. 

Pertama, aku kaget karena ada yang dengan santunnya memohon izin untuk mengembangkan artikel ilmiah yang sebelumnya aku tulis untuk pemenuhan tugas mata kuliah semiotika. 

Dulu, sewaktu aku masih belajar di jenjang kesarjanaan, salah seorang dosenku pernah bilang kalau mendokumentasikan tugas sehari-hari di platform riset yang bisa menumbuhkan semangat produktif di bidang akademik. 

Ya, aku ingat inti dari perkataanya begitu, tapi aku tidak mengindahkannya karena saat itu, hatiku belum terketuk untuk memahami maksud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. 

Baru ketika aku memutuskan untuk belajar di jenjang yang sekarang, aku tersadar bahwa apa yang disampaikan oleh dosenku di waktu itu benar adanya.

Namanya juga belajar, nggak mungkin kan kalau langsung bagus dan sempurna. Jadi, akhirnya pun aku memutuskan untuk mulai aktif mengunggah hasil riset sederhana di platform Research Gate. 

Menurutku, platform ini cocok dijadikan tempat bertumbuh bagi orang-orang yang tertarik untuk terus belajar dan selalu merasa haus. Mengapa bisa begitu? Sederhana, melalui platform ini, kita bisa belajar bersama dengan berbagai pihak. 

Baik dengan sama-sama mahasiswa dari rumpun ilmu yang sama, hingga para ahli di bidangnya. Bahkan lebih dari itu, kita juga bisa bertukar pikiran dengan akademisi dari luar negeri yang terkadang mengkritisi hasil tulisan kita dengan bagus. Eitssss, tentu saja, kamu pun harus menyiapkan mental yang kuat sebelum benar-benar aktif di dunia "per-riset-an duniyawihh" ini, hehe. 

Soalnya, setiap orang pasti punya gaya kritiknya masing-masing. Jadi, jangan heran kalau ada saran yang disampaikan dengan ketus atau justru, kritik yang justru disampaikan dengan teduh. Sebab, yang terpenting adalah kita tetap berani membuka diri dari setiap respons yang diberikan orang untuk kebaikan hasil riset kita ke depannya.

Kedua, terharu. Iya, aku benar-benar merasa terharu saat tahu bahwa apa yang aku unggah berhasil memotivasi seorang mahasiswa untuk melakukan riset dan berniat mengembangkannya. 

Mungkin terkesan berlebihan, namun, sebagai orang yang belum terlalu dalam dan lama menerjunkan diri di dunia riset, aku merasa terharu. 

Akhirnya, apa yang aku tulis benar-benar bisa menjadi amal jariyah untukku yang hidupnya masih condong pada orientasi duniawi. Haha, sok religius kali aku, ya? Hahaha, tapi memang begitu. 

Beberapa minggu lalu waktu aku ngobrol dengan seorang karibku di kosnya, aku pun sempat menyinggung soal "amal jariyah" dari apa yang kami tulis.

Saat itu, pemantiknya hanya kalimat, "...nulis mung ngono tok kok kesuen" atau yang bermakna "...cuma gitu aja kok lama" hmm. Kebetulan, dia dan aku sama-sama sedang memperjuangkan tugas akhir dan wajar, kan? Jika ada momen-momen yang menjemukan dan membuat muak. 

Namun, entah kenapa di waktu itu, nalar normalku bisa setengah meronta dan menegasinya bahwa tugas akhir tidak layak dianggap remeh. Begitu juga tugas-tugas kuliah yang terkadang hanya kita kerjakan sebagai pemenuhan formalitas saja.

Aku mengibaratkan posisi jengkel jika menjumpai sumber referensi yang kurang tepat hanya karena penulisnya ceroboh. Entah dari segi rujukannya yang kurang kredibel hingga tanda-tanda plagiasi yang terdeteksi. 

Menurutku, plagiasi, sekecil apapun itu bukanlah hal yang dibenarkan. Jadi, aku tidak ingin menjadi penyebab ketersesatan orang lain karena aku juga tidak suka disesatkan. 

Oleh sebab itu, mau sejelek apapun hasil analisisku, aku lebih puas jika memang itu hasil dari pikiranku sendiri. Lagian, akan lebih terhormat jika seorang akademisi mengaku ketidaktepatannya dalam menganallisis sesuatu daripada harus berbohong hingga memalsukan data. 

Semakna dengan pesan Dr. Redyanto Noor bahwa, "peneliti boleh salah, tapi tidak boleh bohong!" yang selalu ditekankan pada mahasiswanya.

Relevan dengan masalah "amal jariyah" yang telah disinggung sebelumnya, aku pun punya pemikiran bahwa tidak harus sekarang, namun yang pasti, apa yang kita tulis ini akan bermanfaat bagi orang lain. 

Meskipun hanya satu orang, jika ilmu itu dijadikannya sebagai hal yang baik, secara tidak langsung pun kita akan terciprati pahala. 

Begitu kira-kira pemikiranku yang masih mengimani perkara salah satu jenis pahala yang tidak akan terputus hingga akhir hayat dari ajaran agama yang diwariskan oleh keluarga kepadaku dan adikku satu-satunya.

Ketiga, aku benar-benar malu dan merasa tertampar. Permohonan izin yang diajukan oleh seorang mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa Timur tersebut sontak menyadarkanku bahwa, tindakannya cukup langka. Kenapa aku bisa bilang langka? 

Aku yakin, dari perspektifku yang subjektif, tindakan yang dia lakukan belum banyak dikerjakan oleh kebanyakan mahasiswa pada umumnya. 

Kebanyakan orang menyadur tanpa izin, tidak sedikit juga yang mengambil objek sebuah karya tanpa kula nuwun atau permisi. Padahal, meski bukan untuk tugas akhir, permohonan izin seperti itu adalah bukti dari integritas kita sebagai civitas akademika yang harusnya bersikap suportif dan apresiatif.

Jauh sebelum aku menerima permohonan izin tersebut, aku pun pernah beberapa kali memohon izin pada pihak yang karyanya akan aku analisis. 

Prinsipnya, aku tidak memaksakan kehendak atau membesarkan harapan untuk sesegera mungkin mendapatkan respons. 

Namun, aku tetap mengirimkannya sebagai bentuk penghargaan atas karyanya yang secara tidak langsung andil dalam proses belajarku. Berikut contoh sederhananya, ketika aku semester pertama di jurusan Magister Ilmu Susastra.

Hasil tangkap layar percakapan dengan Iksan Skuter.
Hasil tangkap layar percakapan dengan Iksan Skuter.
Bisa dilihat bahwa isi pesannya pun sangat sederhana, kan? Iya, memang sederhana. Hal serupa juga saya kirimkan pada grup musik Tashoora sebagaimana berikut,

Hasil tangkap layar percakapan dengan Tashoora.
Hasil tangkap layar percakapan dengan Tashoora.
Bukan bermaksud menggurui atau menunjukkan bahwa aku ini sudah paling beretika, ya? Kita semua sama-sama belajar dan menurutku, hal yang nampak sederhana begini layak untuk diterapkan. 

Bukan untuk mencari perhatian, namun belajar menghargai serta mengapresiasi para pencipta karya dan tentu saja, meningkatkan integritas kita sebagai civitas akademika yang sudah seharusnya paham dengan konsep penghargaan karya intelektual.

Jadi, untuk siapapun yang membaca tulisan ini, semoga kian semangat dalam berproses di bidang akademik maupun bidang yang lain. Sebab, apapun bidangnya, pondasi terbaik dari cara bersikap kita adalah dengan memahami proses penghargaan terhadap segala sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun