Aku tidak ingin seperti kebanyakan orang yang self claiming terhadap kondisi mental dan kejiwaanya sendiri. Sekalipun aku sadar, menangis sejadi-jadinya untuk hal sepele adalah hal yang kurang wajar. Apalagi jika tangisan itu disebabkan oleh hal yang jauh dari kata penting dan konyolnya, aku bisa tertawa di waktu yang tak berselang lama dari kehisterisanku dengan perasaan yang mungkin, jika aku rincikan jelasnya pun tidak dapat orang lain pahami. Jangankan orang lain, orang-orang terdekatku pun pasti akan berpikir, aku sudah gila karena aku juga merasa kalau aku tidak waras lagi. Aku hanya berpura-pura tegar dan biasa saja, meski tidak ada yang biasa dari apa yang aku pertontonkan saat ini.
Semua itu fana, tidak seluruhnya nyata. Segala pencapaian yang aku tunjukkan tidak lebih dari alat untuk meyakinkan orang di sekitarku bahwa, aku hebat dan aku baik-baik saja. Bak sosok yang ingin divalidasi eksistensinya, begitu juga aku yang mati-matian membatasi tingkah di dunia maya agar orang lain terpacu untuk menghasilkan hal yang lebih baik. Tentu saja, apa yang aku lakukan tidak ada bedanya dengan para pemahat citra yang memilih segala jalur agar diketahui keberadaanya.  Yaaaaa, begitulah hidupku. Mungkin bagi sebagian orang, aku masuk dalam sekte pemuja angka yang terkumpul di setiap unggahan media sosial dan memang, aku tidak akan menidakkan anggapan itu karena toh pada kenyataanya, hal tersebut tidak sepenuhnya keliru. Ada benarnya, namun tidak mutlak. Begitulah kira-kira, singkatnya aku dengan segala hal yang aku pertontonkan.
Lucu, ya? Hehe.
Oh iya, sepertinya, apa yang aku tuliskan di atas tidak jauh berbeda dengan lirik lagu milik Isyana yang berinti, "hidup itu sandiwara, yang nyata ternyata delusi". Haha, aku memang tengah gandrung dengan lagu itu. Entah kenapa, makna yang terkandung di dalamnya cukup menohok hatiku yang sedang membimbangkan hal yang dengan sepenuh hati aku yakini kekeliruannya, tapi tidak dapat aku hindari kenyataanya.
Ini soal perasaan aman dan nyaman yang aku takutkan sedari awal. Rasa yang berpotensi melahirkan jarak di waktu yang tidak tepat. Jarak yang hanya akan menjadikanku pihak yang sangat salah karena terlampau lengah. Rasa yang tidak pantas aku pelihara dalam sangkalan-sangkalan konyol dan rasa yang tidak sepatutnya aku jaga. Tapi, nasi telah menjadi tai, bukan bubur lagi. Aku yang dari dulu menganut paham bahwa tidak semua witing tresna jalaran saka kulina itu nyata, kini terjebak dalam kondisi yang bahkan tidak dapat aku terka dengan logika. Konyol, kan? Memang!
Jujur, saat merangkai kata dalam tulisan ini, aku sedang dihantui rasa bersalah dengan hantaman tanda tanya yang memaksaku sadar bahwa semua ini hanya efek domino dari apa yang telah terjadi. Bahkan di saat yang bersamaan juga aku sadar, aku ini tidak lebih dari sebuah beban yang pada kenyataanya telah menjadi pembatas dari kebebebasan orang lain. Padahal, aku tidak bermaksud demikian. Aku juga tidak ingin menjadi orang yang terlihat mengharapkan sesuatu karena dari awal pun aku tidak berharap hal yang lebih. Aku hanya mengharapkan rasa aman dan nyaman yang kini aku dapatkan bisa bertahan, setidaknya sampai aku benar-benar selesai dengan tanggung jawabku dalam menyelesaikan tugas akhir di sini.
Jangankan berharap, bahkan keinginan untuk mengikat diri dengan pria pun tidak terbesit dalam benakku untuk saat ini. Bukan karena aku mati rasa, bukan juga karena aku masih tertahan masa lalu, bukan! Aku hanya tidak ingin membuang waktuku untuk hal yang semu. Tapi, bukan berarti juga bahwa aku tidak butuh sosok yang bisa mendengar dan menguatkan saat agenda-agenda yang aku punyai berhasil menjadikanku lelah. Â Ini egois dan tidak tepat, tapi memang faktanya, aku tidak sekuat apa yang dibayangkan oleh orang yang entah kenapa bisa mengidolakanku, padahal aku pun tidak lebih dari seorang bajingan yang kebetulan belum diketahui belangnya oleh mereka.
Ah, sudahlah! Aku tidak akan memperpanjang "ke-aku-an" dalam tulisan ini karena tujuan utamaku menulis ini adalah untuk melampiaskan apa yang tertahan. Sebagaimana saran seorang temanku, alangkah baiknya emosi itu dilampiaskan dalam tulisan daripada aku harus menyusuri jalan tanpa tujuan dengan volume maksimal musik yang aku dengarkan dengan earphone atau sekadar mengotori linimasa dan story medsos dengan status yang tidak jelas.
Ini berat, tapi harus! Bagaimana pun konsekuensinya nanti, biarlah menjadi urusan nanti. Siap, tidak siap, aku harus terima. Jadi, aku mulai sekarang, ya?
**
Pertama, jika kita berbicara soal nyaman, aku tidak mau munafik. Aku nyaman dan merasa aman ketika kami bersama-sama.
Kami?
Iya, kami adalah aku dan dia, sahabat baikku. Tutur dan lakunya yang santun berhasil menyadarkanku bahwa tidak semua lelaki brengsek. Bijaksananya pun meyakinkanku bahwa aku masih berharga, meski aku sudah terlampau rusak. Kehadirannya juga membuatku percaya bahwa aku masih layak mengejar mimpiku yang sering dinilai mustahil oleh sebagian besar orang. Aku seolah menemukan pribadi yang tepat untuk menjadi support system-ku di masa genting ini dalam sosoknya.
Iya, support sytem, tidak lebih. Aku tidak pernah berharap lebih untuk aku dan dia agar bisa menjadi "kita" karena aku tidak ingin ada "kita" dengan siapapun untuk saat ini. Bagiku, dengan adanya dia yang selalu ada untuk menghadapi ketidakjelasan tindakanku, mendengarkan keluhanku yang seringnya berlebihan dan mengajakku berpikir keras dengan diskusi sehat yang dulu tidak pernah aku lakukan dengan orang-orang terdekat ini sudah lebih dari cukup. Tentu saja sosok seperti itu sangat berharga untukku, walau mungkin itu biasa bagi dirinya.
Kedua, mirip dengan yang pertama, aku tidak menaruh ekspektasi lebih karena aku sadar diri. Meski dia bilang aku kurang mengerti akan dinding pembatas yang telah dua kali dibahas. Haha, tenang! Aku paham dan aku tahu diri. Aku tidak menyematkan harapan dalam kedekatan ini karena aku selalu terngiang kalimat yang bermakna, "bekas temanku aja, kalau bisa aku hindari!" yang lantang dikelakarkannya dengan bahasa khas daerah asalnya.
Sematan kata "bekas" dalam kalimat itu selalu aku pegang karena aku tahu, aku tidak akan pernah pantas membersamai orang yang baik dan bijak seperti dia. Jika pada prosesnya aku pun gagal mengontrol diri, maaf. Itu di luar kuasaku dan biar itu jadi urusanku karena balik lagi, ini tentang aku. Tidak dia dan tidak akan aku memaksa dia agar memiliki hal yang sama dengan apa yang aku rasakan. Iya, rasa nyaman dan aman.
Ketiga, aku memang tidak ingin kehilangan sosoknya. Ini egois, sangat egois! Tapi bukan berarti aku memaksanya tinggal untuk menjadi pendampingku karena sekali lagi, aku tidak ingin terikat dengan siapapun. Aku butuh dia untuk mendengar, meski aku bukan pendengar yang baik. Aku butuh dia untuk sama-sama mencari solusi, bukan menciptakan masalah lagi. Walau aku sering membuat masalah karena memang aku bebal.
Jika dia membaca ini, semoga dia paham, bumbu-bumbu cemburu yang beberapa waktu lalu sempat mempertegas kebebalanku adalah bagian dari kegagalanku mengontrol diri sendiri. Tapi, tenanglah, sekali lagi, aku tidak memaksakan dan menuntut apapun kecuali dia tetap ada di tempat sebagai support system-ku.
Terakhir, untuk kamu yang sedari tadi aku sebut dengan kata ganti "dia".
Aku harap kamu tidak berspekulasi aneh-aneh ketika aku menunjukkan sikap yang kurang menghargai saat kamu bertutur soal masa lalu. Padahal, aku dengan segala kisah gelap dan rumitnya cerita di waktu lampau pun selalu didengar. Egois, ya? Hehe, maaf. Maaf jika aku baru berani bilang melalui tulisan ini kalau aku menyesali segala sikapku yang terkesan kurang berkenan saat menyimak kisahmu. Percayalah, aku mengasihimu sebagai orang baik, tidak lebih.
Terima kasih ya sudah mengajariku untuk menerima apapun yang telah terjadi. Terima kasih sudah melatihku tabah, meski sebenarnya aku adalah manusia yang payah dalam urusan ketabahan. Setidaknya, aku banyak belajar untuk tetap berjalan di tengah kepungan fakta bahwa aku tidak seberharga apa yang orang lain lihat. Semoga kamu tetap di tempat walau aku pun merasakan bahwa sepertinya kamu sudah lelah dengan segala lakuku. Apalagi dengan penegasan kata "menolong" yang beberapa kali kamu ucapkan. Aku benar-benar berterima kasih atas kesediaanmu menolongku untuk memulihkan diri, meski aku belum benar-benar sembuh.Â
Jika ingin pergi, tidak apa, aku tidak akan menahan karena aku tidak memiliki hak untuk menahan siapapun. Jika setelah ini ada jarak, aku pun tak akan marah walau kemungkinan besar aku akan semakin kehilangan kontrol atas emosiku sendiri. Aku tidak mengancam, ya! Aku hanya tidak ingin kedekatan kita sebagai teman sudah melibatkan keterpaksaan. Lagi pula, aku layak kok untuk dijauhi, aku juga pantas dibiarkan sendiri karena sebagaimana kata karibmu, aku memang attention seeker yang handal. Maaf sudah menjadi pihak yang selalu rewel dan tidak bisa mengerti kondisimu.
Percayalah, aku tidak berharap ada jarak setelah ini, apalagi yang membentang di antara aku dan kamu. Sebab bagiku, jarak adalah satu-satunya hal yang paling aku takuti untuk saat ini. Saat di mana aku sedang benar-benar butuh penguat untuk menatihku berjalan di sisa waktu yang ada. Namun, jika bias dan kerancuan ini berujung pada jarak, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain meminta maaf dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H