Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bias Nan Rancu

5 Maret 2021   02:21 Diperbarui: 5 Maret 2021   03:22 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak ingin seperti kebanyakan orang yang self claiming terhadap kondisi mental dan kejiwaanya sendiri. Sekalipun aku sadar, menangis sejadi-jadinya untuk hal sepele adalah hal yang kurang wajar. Apalagi jika tangisan itu disebabkan oleh hal yang jauh dari kata penting dan konyolnya, aku bisa tertawa di waktu yang tak berselang lama dari kehisterisanku dengan perasaan yang mungkin, jika aku rincikan jelasnya pun tidak dapat orang lain pahami. Jangankan orang lain, orang-orang terdekatku pun pasti akan berpikir, aku sudah gila karena aku juga merasa kalau aku tidak waras lagi. Aku hanya berpura-pura tegar dan biasa saja, meski tidak ada yang biasa dari apa yang aku pertontonkan saat ini.

Semua itu fana, tidak seluruhnya nyata. Segala pencapaian yang aku tunjukkan tidak lebih dari alat untuk meyakinkan orang di sekitarku bahwa, aku hebat dan aku baik-baik saja. Bak sosok yang ingin divalidasi eksistensinya, begitu juga aku yang mati-matian membatasi tingkah di dunia maya agar orang lain terpacu untuk menghasilkan hal yang lebih baik. Tentu saja, apa yang aku lakukan tidak ada bedanya dengan para pemahat citra yang memilih segala jalur agar diketahui keberadaanya.  Yaaaaa, begitulah hidupku. Mungkin bagi sebagian orang, aku masuk dalam sekte pemuja angka yang terkumpul di setiap unggahan media sosial dan memang, aku tidak akan menidakkan anggapan itu karena toh pada kenyataanya, hal tersebut tidak sepenuhnya keliru. Ada benarnya, namun tidak mutlak. Begitulah kira-kira, singkatnya aku dengan segala hal yang aku pertontonkan.

Lucu, ya? Hehe.

Oh iya, sepertinya, apa yang aku tuliskan di atas tidak jauh berbeda dengan lirik lagu milik Isyana yang berinti, "hidup itu sandiwara, yang nyata ternyata delusi". Haha, aku memang tengah gandrung dengan lagu itu. Entah kenapa, makna yang terkandung di dalamnya cukup menohok hatiku yang sedang membimbangkan hal yang dengan sepenuh hati aku yakini kekeliruannya, tapi tidak dapat aku hindari kenyataanya.

Ini soal perasaan aman dan nyaman yang aku takutkan sedari awal. Rasa yang berpotensi melahirkan jarak di waktu yang tidak tepat. Jarak yang hanya akan menjadikanku pihak yang sangat salah karena terlampau lengah. Rasa yang tidak pantas aku pelihara dalam sangkalan-sangkalan konyol dan rasa yang tidak sepatutnya aku jaga. Tapi, nasi telah menjadi tai, bukan bubur lagi. Aku yang dari dulu menganut paham bahwa tidak semua witing tresna jalaran saka kulina itu nyata, kini terjebak dalam kondisi yang bahkan tidak dapat aku terka dengan logika. Konyol, kan? Memang!

Jujur, saat merangkai kata dalam tulisan ini, aku sedang dihantui rasa bersalah dengan hantaman tanda tanya yang memaksaku sadar bahwa semua ini hanya efek domino dari apa yang telah terjadi. Bahkan di saat yang bersamaan juga aku sadar, aku ini tidak lebih dari sebuah beban yang pada kenyataanya telah menjadi pembatas dari kebebebasan orang lain. Padahal, aku tidak bermaksud demikian. Aku juga tidak ingin menjadi orang yang terlihat mengharapkan sesuatu karena dari awal pun aku tidak berharap hal yang lebih. Aku hanya mengharapkan rasa aman dan nyaman yang kini aku dapatkan bisa bertahan, setidaknya sampai aku benar-benar selesai dengan tanggung jawabku dalam menyelesaikan tugas akhir di sini.

Jangankan berharap, bahkan keinginan untuk mengikat diri dengan pria pun tidak terbesit dalam benakku untuk saat ini. Bukan karena aku mati rasa, bukan juga karena aku masih tertahan masa lalu, bukan! Aku hanya tidak ingin membuang waktuku untuk hal yang semu. Tapi, bukan berarti juga bahwa aku tidak butuh sosok yang bisa mendengar dan menguatkan saat agenda-agenda yang aku punyai berhasil menjadikanku lelah.  Ini egois dan tidak tepat, tapi memang faktanya, aku tidak sekuat apa yang dibayangkan oleh orang yang entah kenapa bisa mengidolakanku, padahal aku pun tidak lebih dari seorang bajingan yang kebetulan belum diketahui belangnya oleh mereka.

Ah, sudahlah! Aku tidak akan memperpanjang "ke-aku-an" dalam tulisan ini karena tujuan utamaku menulis ini adalah untuk melampiaskan apa yang tertahan. Sebagaimana saran seorang temanku, alangkah baiknya emosi itu dilampiaskan dalam tulisan daripada aku harus menyusuri jalan tanpa tujuan dengan volume maksimal musik yang aku dengarkan dengan earphone atau sekadar mengotori linimasa dan story medsos dengan status yang tidak jelas.

Ini berat, tapi harus! Bagaimana pun konsekuensinya nanti, biarlah menjadi urusan nanti. Siap, tidak siap, aku harus terima. Jadi, aku mulai sekarang, ya?

**

Pertama, jika kita berbicara soal nyaman, aku tidak mau munafik. Aku nyaman dan merasa aman ketika kami bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun