Hahaha, apa-apaan ini? Skenario apa yang sedang aku hadapi hingga aku harus berada dalam situasi konyol seperti itu?
Ah, sudahlah! Biar yang lalu menjadi pijakanku untuk bersikap bijak, toh buah dari drama terkonyol sepanjang 2020 ini telah membuatku sadar bahwa pada akhirnya, aku bisa bertumbuh dari riuhnya keruh. Aku juga bisa berkelakar dengan lantang bahwa aku adalah pemenang di neraka yang berwujud Tembalang ini.
Dan, pada akhirnya pun aku jadi belajar bahwa makin ke sini, makin banyak orang yang berlindung dalam alibi kesehatan mental untuk lari dari sebuah penghakiman. Memang, sebagai sesama manusia, kita tidak memiliki hak untuk menghakimi. Jangankan menghakimi, menggeneralisir konsep benar dan salah dari sudut tertentu pun bukanlah hal yang dianjurkan. Sebab, yang paling mutlak dalah kehidupan adalah kedinamisan yang diimbangi dengan penghargaan.
Kenapa aku bisa bilang demikian?
Sebab, tidak sekali atau dua kali pasca kejadian berdarah di bulan Juli lalu, aku bersua dengan oknum setipe yang lagi-lagi mengalibikan kesehatan mental untuk mempertahankan diri dari pro-kontra hidup. Beberapa oknum hadir sebagai pelaku, sebagian lagi korban dan sisanya adalah pengamat.
Pelaku di sini tidak selamanya memasang raut antagonis yang menekan lawan bicaranya. Kadang, mereka datang dengan air mata dan segukan khas orang yang sedang jatuh-jatuhnya. Tak jarang, mereka mengemis pemakluman jika (entah sengaja ataupun tidak) melakukan tindakan yang berpotensi untuk melukai lawan bicaranya. Lebih tepatnya, ketika mereka sudah merasa tersudut. Bagaimanapun skenarionya, oknum yang aku labeli pelaku akan terus memohon pemakluman dari setiap orang yang bersinggungan dengannya.
Kemudian, oknum korban yang kebanyakan merasa bingung untuk menentukan sikap. Bagaimana tidak bingung? Terkadang, ada hal-hal berseberangan yang memang harus diluruskan, namun karena alasan "kesehatan mental" lawan bicaranya, maka dia pun harus rela untuk mengalah. Pun aku yang beberapa kali harus ada di posisi mengalah dan memilih untuk menyiksa batin sendiri agar orang yang bersinggungan denganku tidak berbuat konyol. Yaaa, lagi-lagi bukan karena aku ini pecundang, tapi memang untuk kebaikan bersama juga, kan? Hmmm. Nggak lucu aja kalau ada tragedi berdarah lagi hanya karena aku tidak bisa mengontrol ego dan membiarkan orang lain menyakiti raganya karena "aku". Walau sebenarnya, mau mati pun orang itu tidak sepenuhnya urusanku karena toh, setiap manusia dibekali akal untuk berpikir. Jadi, kenapa harus gegabah jika segala sesuatunya bisa diselesaikan dengan tenang? Bukankah benang yang ruwet pun bisa diurai?
Lanjut, bukan hanya pelaku dan korban, ada juga pihak pengamat yang kadang sengaja untuk memilih netral. Tidak memihak, tidak menghakimi dan "cukup tahu". Sekarang, aku cenderung berada di posisi ini. Enggan menghakimi karena aku bukan Tuhan, malas berpihak karena banyak hal bias yang kadang tidak mutu untuk diperbincangkan serius. Lagipula, makin marak perbincangan soal kesehatan mental, makin banyak juga yang merasa sakit.
Ilmu cocoklogi seolah menjadi dasar validasi atas kondisi mental seseorang. Padahal, sepemahamanku sebagai orang awam, memvalidasi kondisi kejiwaan seseorang bukanlah hal yang simpel. Tidak sesederhana proses singkronisasi poin yang dibubuhkan pada artikel yang bertebaran di dunia maya. Jadi, melalui tulisan absurd ini, aku ingin para pembaca berpikir soal "mental siapa yang harus dibela?"
Mental orang lain, kah? Mental diri sendiri, kah? Atau mental siapa?
Haha, intinya sih, mental semua orang perlu dijaga stabilitasnya. Semua orang bertanggungjawab akan hal itu, tapi tidak semua hal harus dimaklumi. Kadang, kita harus tega untuk tidak peduli. Bukan untuk menghancurkan orang lain, tapi agar orang yang sering menjadikan kesehatan mentalnya sebagai alibi untuk mengiba pemakluman itu sadar dan paham bahwa hidup tidak selalu tentang dia.