Terlebih, kau mengenal dua lelaki yang sempat mengiringiku berjalan. Seorang pemabuk yang bangga dengan keberhasilannya dalam menggagahi puluhan wanita dengan pesonanya. Dan, seorang pria yang tengah terikat kontrak dengan perempuan yang dikasihinya. Pria itu juga yang menjadi alasan di balik umpatanmu saat aku menangis awal Juli lalu.
Bukan hal yang mengherankan kok, jika kedua lelaki itu menjadikanmu mantap meneriakiku sebagai pemain karena kenyataanya, aku memang menjadikan mereka pelampiasan. Tapi, dari kedua lelaki brengsek ini juga aku belajar untuk hidup di tengah-tengah kerumitan alur yang aku tapaki. Sebab, dari mereka juga aku sadar agar meyakinkan diri untuk tidak lagi berkomunikasi dengan lelaki yang kau anggap sebagai kakak.
Aku sadar posisiku yang terlumuri lumpur kenaifan dan aku paham, posisi ini tidak akan memantaskanku untuk kembali baik dengan kakakmu. Sekali lagi, ini bukan karena aku benci. Namun karena aku mengasihinya, maka aku harus rela menjauhinya. Aku mencintainya, maka aku harus memastikan kebahagiaannya dari jauh. Walau itu bukan denganku, bukan karena aku dan bukan untuk kami.
Wait! Kami?
Haha, biang! Sungkunsungkun oto! Hahahaha.
Sudah lah, sudah. Biar yang abu tetaplah semu karena firasatku terlanjur meyakini bahwa ujung dari jeda ini adalah titik yang akan mempertemukan kami di tepian Toba sebagai dua orang asing. Bukan sebagai dua manusia yang bersama-sama menikmati iringan rancak gondang Batak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H