Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - Student of Master Degree - Diponegoro University

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jeda untuk Si Pemuja Abu

12 November 2020   23:49 Diperbarui: 13 November 2020   02:33 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(source: www.piqsels.com)

Aku selalu mengupayakan diri untuk berlari. Namun, masalah ada untuk dihadapi. Ancaman muncul akibat lalai dan risiko tercipta dari landasan konsekuensi.

Demikianlah singkatnya sisiku. Kini, izinkan aku bertutur perihal nama yang kultus. Nama yang pasti akrab di telingamu, pun dalam hidupmu.

Kau bilang, aku mengagumi sosoknya di masa lalu. Tepat! Aku tidak hanya kagum, tapi aku bersyukur telah diberikan kesempatan oleh Dia untuk berada di dekatnya. Aku mengucap syukur atas segala liku yang kini bermuara pada jeda.

Kau bilang padaku, kata "sayang" yang aku persembahkan untuk dia hanyalah omongan kosong. Tak bermakna. Tapi, kau tahu apa?

Kau paham apa soal kasih dan alasan di balik diamku?

Aku memilih bungkam bukan karena aku benci. Aku hanya kecewa dengannya dan aku tetap mengasihinya. Aku berkelana bukan karena aku tidak mencintainya, justru karena aku ingin dia bahagia, maka aku memilih jalan ini. Jalan yang benar-benar kelam. Jalan yang seharusnya bisa aku hindari namun tetap aku lewati.

Aku paham betul, kau adalah salah satu pihak yang agak menyayangkan jeda yang tercipta di antara kami. Lumrah! Dia teman baikmu dan orang yang juga baik untukku. Aku tidak memungkiri itu karena pada dasarnya, dia memang lelaki baik. Kecewa yang menguasaiku pun karena kebaikannya. Amarah yang mengendalikanku pun akibat laku baiknya. Dia baik, sangat baik dan teramat baik untuk aku yang memuja "abu-abu".

Kau benar, core of the core dari liku yang pelik ini adalah dia. Bahkan, bukan hal yang salah jika aku membenarkan pengandaian bahwa tanpa dia, aku tidak akan bisa semeja denganmu untuk meminum secangkir carrebian nut dengan es yang sedikit. Dan, berkat dia juga, aku menjadi aku yang saat ini ada di hadapanmu sebagai perempuan yang kau teriaki, "stop being a bitch!"

Hahaha.

Teriaklah! Tak apa, aku tidak akan marah. Itu hakmu. Kau bebas melabeli siapapun dengan sudut pandangmu, karena aku pun memiliki hak untuk tidak memperdulikan label yang disematkan oleh orang lain. Toh, apa pentingnya labeling dari sesama manusia jika di hadapan Dia, kita sama-sama boneka yang tengah memerankan hidup dengan latar dan alur yang sudah ditetapkan.

Ah, sudahlah. Mau seribu kali pun aku bilang bahwa nama lelaki yang kau kenal itu telah kultus dalam darahku, kau tidak akan memercayainya. Kau terlanjur melihatku hidup dalam sebuah permainan kotor di arena yang kelam. Kau terlanjur memandangku sebagai perempuan yang mudah didapatkan oleh para biawak yang berkeliaran di sekitar kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun