Tak ada aba-aba, kau dan aku kompak menoleh ke sebuah titik yang mempertemukan dua pasang mata di satu arah pandang yang sama. Mataku menatap hitam bola matamu dan kau pun tajam menyorotnya balik.Â
Bungkam, aku dan kau pun sepakat untuk tidak melempar senyum. Asing, kita sama-sama terdiam dengan polah yang canggung. Sontak kau membuang muka sebagaimana aku yang memalingkan wajah. Kita, dua manusia yang dulu sempat "saling", kini telah sempurna dalam "asing".
***
Tiga hari lalu, kau tiba-tiba mengirimkan sebuah vidio yang berisi rekamanmu bernyanyi. Persis seperti dulu, kau menggunakan efek yang bernuanasa hitam-putih, duduk di depan meja belajar, lengkap dengan gitar kesayanganmu dan enggan menatap kamera.
Suaramu yang khas selalu berhasil membuatku melayangkan imaji. Menenangkanku yang kalut dan tentu saja, memantik sesak walau tak seberapa.
Hehe, kadang aku bingung. Kenapa kau dan aku selalu terjebak dalam skenario yang teramat random? Bisa jadi, sekarang kita hangat berbincang. Namun tiga jam kemudian, kita kembali beradu emosi karena perbedaan prinsip.Â
Ujungnya, kita saling mengungkit permasalahan yang lalu dan kemudian, kita sama-sama diam. Bukan untuk mengalah agar pertengkaran tidak melebar, tapi karena kau dan aku tersadar bahwa kita bukan "apa-apa" lagi. Begitu terus dan terus saja berulang. Entah sudah berapa kali kita mengulangi hal tersebut, hmmm.
Persis seperti malam ini, kau dan aku dipertemukan oleh ketidaksengajaan. Kau dengan kawanmu dan aku bersama teman-temanku. Kita dengan dunia masing-masing dan berpura-pura tidak saling kenal.Â
Padahal, dua jam lagi bulan berganti. Ini hari terakhir bulan delapan, nanti sudah masuk bulan sembilan. Bulan di mana kita pertama kali duduk semeja, berkenalan dan memutuskan untuk sama-sama mendekat. Bulan yang akhirnya menjadi titik awal perjalananku dan kau sebagai "kita" dalam sebuah absurd.
***
Kau tahu?