Jeri, lelaki tanggung yang datang di kehidupanku dengan sikap manis dan tutur yang lembut. Sikap yang berbanding terbalik dengan tindak-tanduk lelaki yang baru saja mematikan bara rokoknya di hadapanku. Sikap yang mampu membiusku sejenak dari getir persoalan sebelumnya. Awalnya, aku selalu denial dan sok yakin kalau aku dan Jeri tidak akan tertaut dalam pekatnya lingkaran hitam yang penuh racun. Tapi, siapa yang tahu takdir? Bukankah kita ini hanya bisa menerka apa yang belum terjadi dan berujung pasrah pada skenario Illahi? Skenario yang kadang jauh dari praduga dan alur kisah yang tak selalu sama dengan ekspektasi.
Haha, bajingan!
Bisa-bisanya, aku kembali meneteskan air mata saat menuturkan kelalaianku bersama Jeri di hadapan lelaki yang berulang kali membuatku murka hanya karena perilakunya di aplikasi kencan?
*
"Jadi intinya, kau pun sempat memiliki perasaan pada si Jeri itu?" tanyamu dengan mata yang semakin tajam menatapku.
Aku terisak dan tak bisa menjawab.
"Cukup mengangguk jika iya dan gelenglah kepalamu jika memang tidak! Beri tahu aku dengan jujur, aku tidak akan marah!" katamu sambil mencondongkan badan ke arahku.
"Aku tidak bisa memastikan apakah aku ini sayang pada dia atau tidak. Tapi, aku memang nyaman dan merasa aman saat bersama dia. Aku merasa, dia cukup suportif dalam mendukung kegiatanku. Dia bersedia mendengar keluhanku saat capek dan tidak enggan membantuku mencari solusi saat dihadapkan masalah-masalah akademik maupun organisasiku," jelasku.
"Apa aku kurang suportif?" tanyamu cukup menggelikan.
"Retoris! Kau menanyakan hal yang bahkan kau sendiri tahu jawabannya, Bang!"
"Kurang apa aku yang membebaskanmu asik dengan duniamu? Kurang gimana aku yang tidak pernah mempermasalahkanmu nongkrong dengan teman-temanmu hingga subuh?" desakmu yang mulai menggunakan intonasi tinggi lagi.