Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cukup! Aku Tidak Beragama

28 Juni 2020   19:31 Diperbarui: 29 Juni 2020   02:48 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://pixabay.com/michasager

Mungkin, dengan aku menjawab demikian, orang-orang akan berhenti menanyakan apa agamaku. Biar sekalian saja, mereka tidak bertanya lagi karena jujur, aku mulai jengah dengan pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya tidak layak untuk diajukan. 

Sebelum aku menulis panjang dan kalian membaca rangkaian kalimat yang aku susun, perkenankan aku memberikan beberapa anjuran. Pertama, jangan menuhankan diri dengan menghakimi pilihan hidup orang lain yang bahkan hanya kamu kenal lewat media sosial. 

Kedua, jangan paksakan pemahamanmu terhadap "konsep vertikal" kepada orang lain! Ketiga, dalam konteks ini, jangan cekoki aku lagi dengan dalil dari kitab mana pun!

Aku tidak akan marah jika ada yang berpikiran bahwa aku ini gila, sebab, aku juga tidak bisa melabeli diri sendiri waras. Biar orang lain berpikiran begini dan begitu, urusanku dengan Tuhan tetaplah menjadi privasiku. Jadi, silakan membaca bagi yang berkenan membaca! Aku tidak memaksa, hehe.

---

Sebenarnya aku sadar, banyak orang di sekitarku yang bertanya-tanya perihal agama yang aku anut. Bahkan, tidak sedikit orang yang frontal dan menanyakan langsung soal ini. 

Dulu, aku tidak mengambil pusing perkara ini karena menurutku, semua itu bukan masalah yang besar. Namun makin ke sini, aku jadi risih dan berpikir. Sepenting itukah pengakuanku terhadap sebuah agama di tengah masyarakat? Maksudku, apakah untuk menjadi bagian dari masyarakat, aku harus memamerkan identitas agamaku? Apakah aku harus menunjukkan dengan gamblang urusan vertikalku saat menjalani kehidupan dalam tataran horisontal? Aku tahu persis, banyak juga yang kontra dengan prinsip hidup yang aku ambil. 

Namun, bukankah setiap individu merdeka dalam memilih keyakinannya dari hati? Aku yakin dengan pilihanku sekarang, aku nyaman untuk menjawab "aku tidak beragama" di hadapan orang lain karena aku tidak ingin mencederai salah satu agama.

Bukan berarti aku tidak bangga dengan keyakinan yang diwariskan oleh keluargaku, bukan juga karena aku nyaman belajar agama lain. Bukan! Aku ingin menjalin hubungan dengan Tuhan karena hati dan "aku". 

Bukan karena orang lain, bukan karena hubungan romantisme yang penuh omong kosong, bukan karena ini dan itu, tapi aku. Ini tentang aku dan jalan yang aku pilih. Bukan tentang keluargaku yang mungkin dianggap tidak mengajarkanku agama, atau bahkan karena pihak-pihak yang dianggap memengaruhi.

Keluargaku mendidikku dengan baik, bahkan sangat baik meski tidak pernah menyuruhku salat. Mereka juga tidak pernah menghardiku kafir, mengintimidasiku agar membaca kitab dan memaksaku untuk beribadah. 

Aku bangga, aku lahir dan dibesarkan di dalam keluarga yang tidak dimabuk agama. Aku bersyukur, aku bertumbuh di lingkungan keluarga yang menanamkan pemahaman bahwa mengimani Tuhan dengan agama kami, bukan berarti menuhankan agama untuk menghakimi orang lain.

Aku bersyukur diberi kesempatan untuk berproses di dalam keluarga yang menjunjung tinggi toleransi terhadap pilihan masing-masing individu. Termasuk pilihanku untuk menjadi aku yang sekarang. Aku yang tidak ingin memaksa diriku sendiri beribadah hanya untuk menggugurkan kewajiban karena aku sudah pernah hidup di titik itu. 

Titik di mana aku beribadah hanya untuk memenuhi tuntutan dan alhasil, aku merasa hampa. Tidak ada damai yang menyertai hidupku. Berbeda dengan sekarang, saat di mana aku sudah menyadari bahwa aku butuh Tuhan. Aku merasa, beribadah adalah cara berkomunikasiku dengan Dia. Jadi, aku tidak keberatan. Aku tidak merasa terpaksa dan aku tenang.

Apakah itu berarti aku pindah agama? Tidak. Tidak ada yang pindah, justru aku tidak lagi suka mengakui agama di hadapan manusia. Sebab, ujung-ujungnya pengakuan itu hanya akan membawaku dalam debat kusir. Semua punya argumen masing-masing, termasuk aku. 

Aku punya alasan kenapa aku begini, pun mereka yang mencoba untuk terus-terusan bertanya, "apa agama yang aku anut? apakah aku pindah?" dan semaknanya.

Haha, tunggu!

Memang, kalau aku pindah, ruginya di mereka apa? Untungnya juga apa? Kalau aku tetap memeluk agama yang diturunkan keluargaku juga untungnya di mereka itu apa? Masalahnya di mana? Kadang, aku benar-benar bingung pada oknum yang dengan santainya mengusik jalan hidup orang lain. 

Mempermasalahkan agama individu lain dan menghakimi keimanan pribadi lain. Padahal, urusan iman bukanlah perkara yang pantas dipermasalahkan manusia. Apalagi soal labeling "beriman" yang bukan menjadi hak kita untuk memberikannya kepada orang lain.

Sampai di titik ini, aku yakin, akan ada yang berpikiran bahwa aku benar-benar gila dan aku tidak beriman. Terserah, aku tidak punya kuasa untuk mengontrol persetujuan masing-masing individu agar seragam membenarkanku karena aku juga tidak mencari pembenaran. 

Benar dan salah adalah hal yang relatif, kan? Benar menurutku, bisa jadi salah menurut orang lain. Pun sebaliknya dan biar! Itu bukan menjadi urusanku. Sebab, yang menjadi titik pijak inti dari tulisan ini adalah kebiasaan orang-orang yang terlalu mengurusi keimanan pribadi lain.

Aku sering terjebak dalam pertanyaan, "siapa sih yang bisa menjamin keimanan seseorang?" dan "siapa yang sanggup memastikan bahwa seseorang itu ahli neraka?"

Bukankah yang sanggup melakukan itu hanya Dia? Dan, apakah orang-orang yang enteng mengafirkan orang lain itu sudah pernah berdiskusi langsung dengan Dia? Atau bagaimana? Kenapa? Kenapa makin ke sini makin banyak orang yang mudah menghakimi tanpa mau menghargai dan lucunya, penghakiman itu didasarkan pada sesuatu yang dangkal. 

Contohnya dari apa yang diunggah seseorang di media sosial, dari diksi yang dia gunakan dan dari hal-hal yang sebenarnya tidak layak dijadikan indikator penghakiman atas keimanan orang lain.

Entahlah, mungkin pergumulan itu relevan dengan apa yang pamanku bilang bahwa sekarang, banyak orang yang berlomba-lomba membaca kitab tapi lupa mengaji. 

Berlomba-lomba menjadi "benar" menurut versinya, tapi lupa bahwa kebenaran itu tidak mutlak jika dipaksakan untuk semua orang. Apalagi jika pemaksaan atas kebenaran itu berujung pada sikap jumawa dan merasa bahwa dialah yang paling suci ketimbang yang lainnya.

Haha, sudahlah!

Bisa jadi satu buku kalau aku melanjutkan tulisan ini karena memang tidak ada habisnya keresahanku atas pertanyaan-pertannyaan konyol yang selalu dilayangkan kepadaku. Tapi ya, itu hak mereka. Toh, mereka punya hak bertanya dan aku pun punya hak menjawab dan inilah jawabanku, "aku tidak akan mengakui satu agama di hadapan manusia, biar Dia saja yang tahu apa agamaku karena Dia yang lebih pantas menghakimi keimananku."

Sebagaimana pernyataan Tan Malaka pada bulan November 1922 yang menegaskan, "ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang, saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!" Begitulah aku yang berharap untuk dianggap sebagai manusia utuh tanpa dipermasalahkan agamanya.

Terakhir, jangan lupa untuk memanusiakan manusia karena kemanusiaan lebih utama dalam konsep hidup horisontal dan biar jalan vertikal masing-masing individu itu menjadi privasi yang tidak perlu dicampuri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun