Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Al-Qur'an sebagai Produk Budaya Menurut Nasr Hamid

12 Januari 2017   09:47 Diperbarui: 12 Januari 2017   11:38 4499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran tafsir kontemporer, pemikiran tafsir yang memberikan warna baru terhadap dunia penafsiran, penafsiran yang ‘berevolusi’ dari tafsir klasik-pertengahan menuju tafsir modern-kontemporer, berusaha memberikan tawaran-tawaran ide dengan adanya ‘shifting paradigm ‘ (pergeseran paradigma) yang menunjukkan adanya ciri khas yang menonjol dari pemikiran tafsir kontemporer. Pemikiran-pemikiran tafsir para tokoh pada masa kontemporer ini mempunyai kegelisahan masing-masing terhadap pemikiran tafsir klasik yang cenderung ‘atomistik’ dan ‘subjektif’ dalam melihat naş. Tafsir klasik lebih terlihat sebagai tafsir kepemilikan masing-masing golongan. Kegiatan penafsiran hanya dilakukan untuk kepentingan golongan yang digunakan untuk menjustifikasi pendapat mereka sehingga dapat dijadikan hujjah atas apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu, para pemikir tafsir kontemporer muncul untuk berusaha mengangkat ide untuk bertitik tolak pada pemikiran yang jumud dan statis. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd.

Nasr Hamid Abu Zayd merupakan salah satu tokoh yang menjadi sorotan pada abad 21 M. Banyak pemikirannya yang memacu reaksi keras dari kalangan ulama-ulama muslim. Pendapatnya dianggap melenceng dari prinsip-prinsip yang telah dirumuskan Islam. Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada tanggal 10 juli 1943 di Desa Qahafah dekat kota Thantha ibukota provinsi al-Ghorbiyah Mesir.[1] Orang tuanya memberi nama dengan nama Nasr dengan harapan agar Nasr selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya. Karena kelahirannya bertepatan dengan adanya Perang Dunia II.[2] Nasr adalah seorang anak yang telah belajar al-Qur’an dari sejak kecil, ia adalah seorang hafidz dan mampu menngungkapkan isi al-Qur’an sejak usia delapan tahun.[3]

Nasr Hamid memulai perjalanan keilmuannya di Sekolah Teknik Tantha lulus pada tahun 1960. Kemudian melanjutkan tholabul ‘ilminya pada tahun 1968 di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas sastra, Universitas Kairo. Sejak saat itu dia menunjukkan tingkat intelektualitasnya dan menjadi mahasiswa yang kritis. Pada tahun 1972 memperoleh gelar kesarjanaannya kemudian menjadi asisten dosen pada jurusan yang sama. Nasr lalu melanjutkan pendidikan magister pada program yang sama dan selesai pada tahun 1997, memperoleh gelar Ph.D pada tahun1981.[4]

Seiring rihlah akademis Nasr Hamid, beliau telah menghasilkan banyak karya pena dengan berbagai karya di bidang studi keislaman salah satunya adalah ‘mafhūm an-naṣ‘ yang memacu banyak respon negatif dari kalangan muslim dan mendapatkan respon postif dari para akademisi. Kitab tersebut adalah sebagai ‘metodologi’ baru yang ditawarkan Nasr Hamid dalam memahami teks al-Qur’an. Buku ini merupakan respon terhadap proses dialektika yang terjadi antara teks dengan realitas serta proses perdebatan wacana keislaman. Melalui sikap kritisnya terhadap wacana tersebut, Nasr merasa perlu adanya sebuah ‘rekonstruksi metodologi’ dalam pembacaan al-Qur’an.

Pemikiran Nasr Hamid tidaklah murni dari pemikirannya sendiri. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya Amin al-Khulli yang dikenal sebagai peletak dasar al-Qur’an sebagai kitab sastra bahasa Arab terbesar. Anggapan ini mempunyai dampak bahwa untuk memahami al-Qur’an harus mendahulukan kajian sastra atau dalam terminologi Amin al-Khulli disebut dengan ‘al-manāhij al-adabī’ yang dilakukan dengan obyektif merupakan langkah awal dalam melakukan interpretasi sebelum melangkah ke tahap berikutnya.

Al-Qur’an pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad SAW. Keahlian mereka adalah dalam bidang bahasa dan sastra arab. Di mana-mana terjadi perlombaan dalam menyusun sya’ir atau khutbah, petuah-petuah dan nasihat.[5] Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa al-Qur’an sebagai mukjizat yang turun sangat berinteraksi dan menginternalisasi dengan budaya masyarakat Arab setempat.

Pemikiran yang ditawarkan Nasr Hamid tentang al-Qur’an adalah berangkat dari pemahaman tentang hakikat teks al-Qur’an. Hal ini berkaitan dengan perdebatan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah tentang hakikat al-Qur’an. Menurut Mu’tazilah, al-Qur’an bukanlah merupakan sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian al-Qur’an tidak bersifat kekal tetapi bersifat baru ( ḥadiṡ) dan diciptakan Tuhan (makhluk). Sedangkan menurut Asy’ariyah, al-Qur’an adalah sifat Tuhan yang pasti mempunyai sifat kekal sebagaimana kekekalan tuhan itu sendiri.[6] Dari kedua pandangan tersebut, Nasr lebih memilih pandangan Mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah makhlūq (diciptakan Tuhan). Hal ini mempunyai dampak pada tiga hal yaitu pertama, al-Qur’an adalah sebuah teks bahasa.

Oleh karena bahasa tidak bisa dipisahkan dari budaya dan sejarah, maka al-Qur’an bisa disebut dnegan teks kultural dan historis. Kedua, teks harus dikaji dengan menggunakan pendekatan linguistik dan sastra yang memperhatikan aspek kultural dan historisitas suatu teks. Ketiga, titik berangkatnya adalah bukan dari keimanan, tetapi dari obyektifitas keilmuan, sehingga baik Muslim maupun Non Muslim dapat memberikan kontribusi dalam studi al-Qur’an.[7] Dalam pandangan inilah, beliau mencetuskan konsep desakralisasi al-Qur’an yang menimbulkan adanya implikasi-implikasi negatif dari konsep tersebut berupa ‘dekonstruksi al-Qur’an’, al-Qur’an dianggap bukan lagi sebagai teks Tuhan yang sakral, tetapi telah bergeser menajdi ‘teks manusiawi’.[8]

Di awal pembahasan dalam buku mafhūm an-naş, Nasr Hamid menyatakan bahwa sebagai teks bahasa, al-Qur’an disebut sebagai teks sentral dalam sejarah Arab. Maksudnya adalah dasar-dasar ilmu dan budaya Arab berinteraki dengan Islam berangkat atas landasan teks. Teks tidak akan membentuk suatu peradaban jika teks berdiri sendiri tanpa adanya suatu realitas budaya yang mengiringi teks tersebut, akan tetapi peradaban dan kebudayaan akan terbentuk ketika adanya proses interaksi antara manusia, realitas dan teks.[9] Oleh karena itu, Nasr  mempunyai pandangan bahwa al-Qur’an adalah sebagai produk budaya ( Muntaj as-Saqafi).

Yang dimaksud oleh Nasr tentang al-Qur’an adalah sebagai produk budaya ( Muntaj as-Saqafi) adalah teks terbentuk dalam suatu realitas budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun.[10] Pada dasarnya al-Qur’an adalah berbahasa Arab dan bahasa sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial pada saat al-Qur’an diturunkan, dan bahasa tersebut merepresentasikan sistem tanda dalam struktur budaya secara umum.

Konsep desakralisasi al-Qur’an sebagai impact pendangannya bahwa al-Qur’an sebagai produk budaya, fenomena sejarah, teks manusiawi dan karangan Muhamamad, serta al-Qur’an boleh ditafsirkan oleh siapa saja sebagaimana yang telah diungkapkan Nasr dalammafhūm an-naṣ terinspirasi dari pandangan mu’tazilah yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan kemudian menggunakan metode hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an. Beliau mendekonstruksi al-Qur’an, menggugat ‘otentisitas’ al-Qur’an dan kesakralannya serta relativisme tafsir.

Penulis berasumsi bahwa Nasr Hamid Abu Zayd melakukan defamiliarisasi terhadap tawaran pemikirannya yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya sebagai respon atas kedekatannya dengan gurunya Amin al-Khulli dan sebagai pengembangan pengetahuannya terhadap konteks realitas budaya dan sangat menginternalisasi dalam kehidupan masyarakat Arab pada saat al-Qur’an turun. Penafsiran al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa dipahami hanya dengan menganalisis bahasa secara inheren dikaarenakan al-Qur’an turun bukan terhadap masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya.

Naṣr membahasakan pemikirannya dengan bahasa baru yang membuat orang lain terdengar asing dan menganggap  tawaran pemikirannya adalah suatu hal yang expert dan mampu memberikan kontribusi pemikiran yang lebih komprehensif dikarenakan dalam melakukan interpretasi tidak hanya melihat teks tetapi juga melihat siyāq al-kalimah (konteks kalimat)


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qohhar, Mutsanna. Konsep Desakralisasi al-Qur’an menurut Nasr Hamid Abu Zayd. Surakarta: Universiats Muhammadiyah Surakarta. 2015.

Amiruddin, Acep. “ Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd”. dalamwww.academia.edu diakses pada tanggal 16 Oktober 2016.

Ichwan, Moch Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd.Jakarta: Teraju. 2003.

Imron, Ali, dkk, “ Hermeneutika al-Qur’an Nasr Hamid Abu zayd”. dalam Sahiron, dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press. 2010.

Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 2010.

Shihab, M. Quraish. Mukjizat al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1997.

Sucipto, Hery Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasrdan Qardhawi. Jakarta: Hikmah Mizan Publika. 2003.

Zayd, Nasr Hamid Abu. Mafhūm an-Naş. Terj. Khairon Nahdiyyin. Yogyakarta: LKiS. 2005.

[1] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar hingga Nasrdan Qardhawi, ( Jakarta: Hikmah(Mizan Publika, 2003), hlm. 348.

[2] Acep Amiruddin, “ Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd” , hlm.3 dalamwww.academia.edu diakses pada tanggal 16 Oktober 2016.

[3] Ali Imron, dkk, “ Hermeneutika al-Qur’an Nasr Hamid Abu zayd”, dalam Sahiron, dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis , ( Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm.116.

[4] Ali Imron, dkk, “ Hermeneutika al-Qur’an Nasr Hamid Abu zayd”, dalam Sahiron, dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis , hlm. 116.

[5] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, ( Bandung: Mizan, 1997), hlm. 123.

[6] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm.143.

[7] Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm.67.

[8] Mutsanna Abdul Qohhar, Konsep Desakralisasi al-Qur’an menurut Nar Hamid Abu Zayd, ( Surakarta: Universiats Muhammadiyah Surakarta, 2015), hlm. 11-12.

[9] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm an-Naş, Terj. Khairon Nahdiyyin, ( Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm.1.

[10] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhūm an-Naş, hlm.19.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun