Akhir-akhir ini wacana yang santer beredar di media sosial dan media mean stream adalah rencana pemerintah untuk menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi sektor pendidikan yang diwacanakan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, beberapa instrumen yang akan dikenakan pajak, salah satunya adalah sektor pendidikan.
Begitu isu PPN sektor pendidikan muncul ke permukaan publik langsung menuai polemik. Berbagai penolakan dari tokoh masyarakat, ahli, pakar, partai politik, dan organisasi masyarakat. Salah satu ulama terkemuka Yusuf Mansur mengatakan bahwa "NU dan Muhammadiyah udah nolak. Lah kalau 2 lembaga yang lebih gede dari gaban ini udah nolak, masa iya pemerintah dan kementerian terkait jalan terus? Rada ga mungkin. Agaknya, dua lembaga ini, harus digedein lebih lagi". Intinya, beliau mewarning pemerintah dan menilai tidak ada celah bagi pemerintah untuk menerapkan PPN pada jasa pendidikan, apalagi ditolak oleh dua ormas seperti: Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah yang menolak rencana ini.
Menurut mereka dampak paling serius dari adanya PPN pendidikan adalah bakal bertambah mahalnya biaya pendidikan. Sebab, PPN jasa pendidikan yang dikenakan pajak pada lembaga pendidikan pada akhirnya akan dibebankan kepada wali murid atau pemakai jasa, sehingga dapat disimpulkan arahnya biaya pendidikan semakin mahal.
Disisi lain, pada masa pandemi Covid-19 merupakan ancaman yang sangat nyata dalam penyelenggaraan pendidikan. Pandemi Covid-19 berdampak lembaga pendidikan ditutup, kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring, para siswa dan guru tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pembelajaran tatap muka untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Akibatnya banyak siswa yang akhirnya kehilangan motivasi belajar dan menyebabkan terjadinya learning loss dan sehari-hari sibuk dengan games dan bermain sepanjang hari.
Seluruh pembiayaan pendidikan di atas, baik menyangkut gaji para guru/dosen, infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan, ataupun kebutuhan pendidikan lainnya sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Hal ini berarti bahwa pemerintah perlu pendapatan ekstra untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu sumbernya adalah pajak pendidikan yang merupakan kebutuhan pokok publik yang seyogyanya disediakan secara gratis oleh negara.
Untuk itu, diperlukan perluasan basis pajak yang dinilai menjadi solusi untuk membantu pemulihan ekonomi nasional. Direktorat Jenderal Pajak berusaha memberi penjelasan melalui akun resmi instagram resmi dinyatakan bahwa "Pemerintah tetap mengedepankan asas keadilan untuk setiap kebijakan perpajakan termasuk pengenaan PPN atas sembako ini". Karena itulah, wajar kiranya pihak pemerintah menawarkan perlunya pajak pendidikan sebagai solusi dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.
Terlepas dari sepakat atau tidak sepakat, mendukung atau tidak mendukung terkait pajak pendidikan. Tentu rencana pihak pemerintah dapat dipikirkan Kembali karena sangat penting guna menambah pendapatan negara yang terkontraksi akibat pandemi Covid-19 yang melanda hampir sebagian negara membuat guncangan keuangan atau shock budget di dunia. Dalam implementasinyan pajak pendidikan perlu mendapat dukungan seluruh elemen negara dan harus digerakkan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam berbagai sektornya.
Biaya Pendidikan di Masa Pandemi
 Sudah lebih dari setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia ketika dua orang terkonfirmasi tertular dari seorang warga negara Jepang. Akibarnya, banyak sektor yang terdampak sejak pemerintah menyatakan Covid-19 menjadi wabah di Indonesia. Sektor ekonomi, kesehatan, industri, pariwisata, hiburan bahkan pendidikan pun tidak luput juga ikut terdampak.
Akibat Covid-19 pada pendidikan, maka pembelajaran dilaksanakan secara daring, namun tanpa dukungan fasilitas memadai. Namun, pada nyataannya layanan pendidikan menjadi semakin hari semakian tidak merata. Sebagai contoh, sekolah-sekolah yang tergolong elit atau secara ekonomis mampu membeli peralatan teknologi komunikasi yang memadai. Mereka tentu memiliki fasilitas pembelajaran lengkap tentunya tidak kesulitan memenuhi kegiatan pembelajaran secara daring. Sementara di sisi lain, sekolah-sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas akan sulit memenuhi kegiatan pembelajaran. Sementara bagi mereka yang tidak mempunyai kemampuan ekonomis untuk membeli sarana prasarana tersebut, akan mengalami kesulitan untuk mengikuti pembelajaran secara daring.
Padahal, secara aturan negara pada pasal 31 ayat (1) menegaskan bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan." Ayat ini sangat jelas bahwa aturan perundang-undangan negara sangat peduli terhadap pendidikan. Pemerintah berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi warga negara, utamanya pada situasi sulit, atau situasi negara yang belum memadai.
Pada saat masa pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai insentif dan bantuan diberikan oleh pemerintah. Dalam dunia pendidikan, anggaran sebesar 20% dari APBN atau sekitar Rp550 triliun digunakan untuk beragam jenis peruntukan. Alokasi dana APBN tersebut, sebanyak 27,7 juta siswa dan pengajar mendapat bantuan kuota internet, sepuluh juta siswa mendapat program Indonesia Pintar, lebih dari empat juta siswa dan sekolah mendapat Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sebanyak 930,5 ribu mahasiswa mendapat bantuan program Bidikmisi, dan lebih dari 290,9 ribu guru non-PNS mendapat tunjangan profesi guru.
Sedangkan berdasarkan data tahun 2020, jumlah satuan pendidikan atau sekolah swasta saat ini di Indonesia mencapai 53.938 sekolah. Terdiri dari 15.556 SD (32,54%), 16.965 SMP (31,45%), 7.061 SMA (13,09%), 10.679 SMK (19,79%) dan 1.677 SLB (3,13%). Angka ini jika dibandingkan dengan sekolah negeri milik pemerintah, maka persentase sekolah swasta adalah, untuk jenjang SD (11,75%), SMP (41,83%), SMA (50,66%), SMK (74,67%), dan SLB (73,88%). Sementara di tingkat pendidikan tinggi, perbandingannya sangat jauh. Statistik Perguruan Tinggi 2019 mencatat, terdapat 3.129 perguruan tinggi swasta (PTS). Sementara negeri hanya 122 PTN atau 3,7% dari total 3.251 perguruan tinggi di tanah air.
Dari data tersebut tampak bahwa kontribusi swasta dalam dunia pendidikan di Indonesia cukup besar. Bisa dibayangkan bagaimana problem mahalnya biaya pendidikan itu dirasakan begitu berat oleh masyarakat saat ini. Mirisnya, kondisi ini memang "diciptakan", ternyata paradigma tata kelola pendidikan mengharuskan hal itu. Sebagaimana diketahui, tata kelola pemerintahan di Indonesia menganut paradigma kapitalistik reinventing government yang secara global diaruskan Barat.
Dalam paradigma ini, pelibatan swasta dan masyarakat dalam pembangunan menjadi trend bahkan keharusan bersama menolong saudara sesaat. Dampaknya, peran negara berkurang bahkan akan menjadi mandul. Maka penyelenggaraan pendidikan oleh swasta pun menjadi andalan dan terus diaruskan. Keterlibatan swasta dalam pendidikan memang tampak membawa kemajuan. Perbaikan kurikulum dan sarana pendidikan pada beberapa lembaga pendidikan swasta. Namun, itu semua harus ditebus dengan biaya tidak sedikit. Sayangnya, tidak sedikit kondisi lembaga pendidikan swasta yang masih jauh dari kualitas baik, meski telah menarik biaya mahal. Negara sendiri minim dalam kontrol dan pembinaan terhadap lembaga pendidikan swasta.
PPN Berkeadilan: Fokus Jasa Pendidikan Mewah
Direktorat Jenderal Pajak atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan memastikan wacana pemberian PPN dalam bidang pendidikan hanya untuk jasa pendidikan tertentu. Dilansir dari infografis yang dibuat bahwa pajak yang akan diterapkan dalam bidang pendidikan tentu tidak berlaku pada semua aspek. Ada ketentuan yang nantinya akan tercantum dalam reformasi sistem PPN. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan memberikan kategori jasa pendidikan yang akan dikenakan PPN sebagaimana tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dijelaskan bahwa jasa pendidikan yang bebas PPN di antaranya yaitu pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi dan pendidikan luar sekolah. Dalam draft RUU KUP yang beredar tertulis, jenis jasa yang tidak dikenai PPN, yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa.
Dengan cara ini, Ditjen Pajak ingin agar insentif pajak yang selama ini digelontorkan pemerintah dapat lebih tepat sasaran. Terkait PPN untuk jasa pendidikan, pemberlakuannya hanya untuk sekolah mewah. Sementara jasa pendidikan yang kegunaannya dimanfaatkan oleh masyarakat banyak tetap tidak akan dikenakan PPN. Pada tahun 2021, pemerintah menganggarkan Rp 550 triliun untuk sektor pendidikan. Selama ini, anggaran tersebut juga turut terpakai untuk fasilitas semua jenis pendidikan, termasuk pendidikan mewah. Sehingga les privat berbiaya tinggi dan pendidikan gratis semuanya sama-sama tidak kena PPN.
Pengenaan tarif PPN terhadap sektor ini akan dikecualikan jasa pendidikan yang mengemban misi sosial, kemanusiaan, dan yang dinikmati masyarakat banyak pada umumnya, misalnya sekolah negeri. Jelas jasa pendidikan yang bersifat komersial dalam batasan tertentu akan dikenai PPN.
Dalam praktiknya, anggaran insentif PPN yang dinilai tidak tepat sasaran ini bukan hanya terjadi di sektor pendidikan. Orang yang mampu bayar justru tidak membayar pajak karena mengonsumsi barang/jasa tidak dikenai PPN. Sebagai solusi kesenjangan ini, pemerintah menyiapkan RUU KUP yang memuat tentang reformasi sistem PPN. Sistem ini diharapkan bisa memenuhi rasa keadilan dengan mengurangi distorsi dan menghilangkan fasilitas yang tidak efektif, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan optimalisasi pendapatan negara. Kolaboratif dengan stake holders lain di negeri ini.
Penjelasan ini dapat dikatakan bahwa tidak ada pemerintah tidak peduli dengan masyarakat bahkan pemerintah akan mewujudkan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. Sekalian dengan penerapan pajak pendidikan untuk mengawal pemerintahan agar berjalan semakin sesuai dengan nafas Proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945.
Strategi Pembiayaan Pendidikan Daerah
Penjelasan di atas menegaskan bahwa isu PPN bagi sektor pendidikan penting didiskusikan apalagi langkah pemerintah untuk mencari solusi penambahan anggaran negara melalui pajak pendidikan. Dalam konteks ini, implementasi di lapangan adalah pemerintah daerah, bagaimana pembiayaan APBD pendidikan daerah dapat diwujudkan dengan penuh rasa keadilan. Pertanyaan selanjutnya, apakah APBD masing-masing daerah mampu membiayai pendidikan jika diterapkan pajak pendidikan. Sebagai masukan dalam mengelola keuangan daerah dalam konteks pembiayaan APBD pendidikan daerah diperlukan strategi pembiayaan.
Untuk itu, strategi pembiayaannya dapat dilihat tiga pendekatan yakni pendekatan aturan hukum, penerapan equalizing dalam alokasi anggaran, perluasan pengadaan sumber dana, dan efesiensi anggaran melalui program strategis. Berikut penulis paparkan ulang strategi pembiayaan ini pernah ditulis dalam mengkaji pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel) Ketika dalam tekanan mewujudkan "Kuliah Gratis" di Sumsel yang sulit diwujudkan secara menyeluruh.
Pertama, aturan hukum. Pembiayaan pendidikan diatur dalam PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional pada pasal 62 bahwa "Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional dan biaya personal (1); dan biaya investasi meliputi baiya sarana dan prasarana, pengembangan SDM dan modal kerja tetap (2). Biaya personal meliputi biaya yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan (3); dan biaya operasional meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan habis pakai, biaya tidak langsung meliputi daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi dan lain sebagainya (4).
Aturan hukum ini mengisyaratkan bahwa pembiayaan pendidikan harus memperhatikan ketiga biaya tersebut yakni biaya investasi, biaya operasional dan biaya personal. Ketiga porsi pembiayaan ini satu kesatuan yang melekat untuk keberlangsungan program pendidikan artinya pemerintah juga harus turut serta memperhatikan dan membiayai usaha peningkatan mutu dan pelayanan bagi dosen/mahasiswa maupun siswa secara simultan. Kemudian, pembagian porsi anggaran juga merujuk kepada ketiga jenis pembiayaan tersebut.
Kedua, penerapan equalizing dalam alokasi anggaran. Mulyani A Nurhadi menyebut setidaknya ada tiga strategi sistem alokasi pembiayaan pendidikan yakni Pertama, full state funding, dimana dana pendidikan diberikan merata per-satuan siswa dan di tanggung sepenuhnya oleh pemerintah lokal. Kedua, flat grant, dimana pemerintah pusat memberikan subsidi secara merata per-siswa, dan pemerintah daerah menambah kekurangannya, sesuai dengan kebutuhan lokal. Ketiga, equalizing dimana dengan standar biaya satuan per-siswa yang sama, pemerintah pusat membiayai kekurangan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah dan sumbangan masyarakat lokal.
Dalam konteks penerapan pajak pendidikan, selanjutnya pemerintah daerah dapat menerapkan equalizing bagi daerah adalah pilihan yang cukup rasional untuk diterapkan saat ini. Dimana pembiayaannya tetap dihitung oleh pemerintah daerah, namun penerapannya tetap membutuhkan subsidi dari pemerintah pusat. Subsidi ini berarti masuk dalam anggaran khusus Kemendikbud Pusat dan diluar dana bagi hasil serta APBD Sumsel. Secara tidak langsung, program ini masuk ke dalam program nasional yang pelaksanaannya ditempatkan di berbagai daerah.
Jika pembiayaan pendidikan dianggarkan melalui dana dekonsentrasi atau pembagian hasil daerah, maka anggaran untuk kabupaten/kota diperbesar, tetapi di lapangan akan ada masalah baru yakni dikhawatirkan terjadi perebutan anggaran. Tentu hal ini tidak sehat, karena anggaran akan mengalami pembengkakan di level pemerintah provinsi.
Ketiga, perluasan pengadaan sumber dana. Strategi ini digunakan untuk meningkatkan pendapatan dari usaha lokal, CSR pihak swasta dan dan sumbangan masyarakat. Terkait sumber pengadaan dana setidaknya ada tiga strategi pembiayaan.
1) Peningkatan bagi hasil migas dan pertanian. Peningkatan hasil migas dan pertanian harus didorong masing-masing daerah untuk melakukan koordinasi antara dan antar dengan berbagai kepala daerah untuk dapat diajak kerjasama guna mendorong peningkatan hasil migas dan pertanian maka anggaran pendidikan diperbesar.
2) Bantuan dana CSR. Dana bantuan yang diperoleh dari perusahaan juga menambah untuk kebutuhan anggaran pendidikan. Bantuan CSR ini sampai dengan hari ini masih diterapkan di Cina.
3) Penerapan pajak pendidikan. Kebijakan pendidikan di masa pandemi harus didukung dengan diterapkannya pajak pendidikan yang terpisah dari pajak lainnya seperti yang terjadi Amerika Sertikat atau dialokasikannya proporsi pajak pendapatan dan pajak kekayaan yang diperuntukkan khusus untuk membiayai pendidikan sehingga alokasi anggaran pendidikan dijamin kelangsungannya setiap tahun tanpa harus rebut dengan alokasi anggaran untuk sektor lain seperti yang lakukan oleh negara bagian Ontario Canada. Hal yang harus diperhatikan keluar masuk anggaran kebutuhan pendidikan yang secara nasional masih ada 10 komponen biaya yang ditanggung orang tua, yaitu komponen biaya untuk: (1) buku dan alat tulis, (2) pakaian dan perlengkapan pendidikan, (3) akomodasi, (4) konsumsi, (5) transportasi, (6) kesehatan, (7) karyawisata, (8) kursus, (9) iuran pendidikan, dan (10) uang saku.
Untuk efesiensi kesepuluh biaya ini layak untuk dipikirkan dengan merumuskan program-program pendamping selain evaluasi dan monitoring. Sebaiknya, anggaran yang besar difokuskan pada peningkatan mutu dosen/guru, program pendamping penguatan pendidikan, dengan pelayanan prima mahasiswa/siswa, memperbanyak kegiatan belajar, penelitian, program efesiensiu pola pembelajaran, dan studi empiris bagi siswa/mahasiswa dan sebagainya.
Selanjutnya, untuk efesiensi lagi, bisa saja pendidikan difokuskan kepada mahasiswa/siswa yang benar-benar miskin. Pemerintah memelihara pendidikan dan kecerdasan akal budi untuk segenap rakyat dengan cukup dan sebaik-baiknya. Bahkan biaya belajar harus serendah-rendahnya, dengan pembebasan uang belajar untuk mereka yang tidak mampu. Dalam konteks ini, sebenarnya titik berat sasaran "pendidikan adalah anak-anak yang berasal dari kalangan kurang mampu dan benar-benar miskin".
Dari rangkaian penjelasan di atas, penerapan pajak pendidikan melihat anggaran APBD dengan tetap harus memperhatikan aspek-aspek lain selain pembiayaan SPP. Karenanya, dukungan pemerintah pusat untuk saat ini menjadi prioritas. Sejalan dengan itu, usaha peningkatan sumber-sumber dana lain melalui sektor pajak pendidikan menjadi fokus pemerintah agar APBD tetap stabil. Selain itu, pertimbangan prioritas program terkait kemiskinan, pengangguran, pembangunan intrastruktur dasar, dan penguatan ekonomi lokal tetap diperhatikan dan diutamakan.
Kesadaran pajak bagi insan pendidikan siswa/mahasiswa, guru, dosen, dan tenaga kependidikan yang dilakukan melalui integrasi kesadaran pajak pendidikan dalam kurikulum, pembelajaran dan perbukuan untuk mendukung program pemerintah tentang pajak pendidikan. Mendidik siswa/mahasiswa sebagai calon pelaku ekonomi masa depan menjadi rakyat yang mempunyai kesadaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mahasiswa/siswa mendatang harus memiliki budaya dan karakter berwawasan kebangsaan; cinta tanah air, bela negara, termasuk kesadaran membayar pajak.
Mengingat kepedulian pemerintah dalam dunia pendidikan, dapat dipastikan sangat positif, maka rencana kebijakan pengenaan tarif PPN ini bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Apabila pada tahap pelaksanaan jasa pendidikan premium dikenakan PPN, maka dana tersebut dapat disalurkan dalam bentuk dana BOS kepada sekolah-sekolah yang membutuhkan. Demikian juga, dapat juga dialihkan sebagai subsidi silang untuk membantu sekolah-sekolah yang kekurangan fasilitas pendidikan. Dengan demikian, peluang pemerataan pendidikan itu semakin terbuka lebar.
Mengingat pentingnya pendidikan yang menjadi kontribusi utama dalam pembangunan SDM, maka mutu pendidikan sangat perlu diperhatikan. Melalui fondasi pendidikan yang kokoh dan tepat, akan dapat diwujudkan cita-cita mulia bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan uraian di atas, tentunya, rencana penerapan pajak pendidikan menunjukkan bahwa pemerintah tidak serta merta tidak peduli terhadap masyarakat miskin, justru pemerintah sangat fokus dalam menangani perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Dunia pendidikan membutuhkan perubahan paradigma mendasar, pembelajaran, dan kurikulum yang berakibat tata kelola pendidikan baru yang dapat diterima oleh masyarakat. Berbagai tujuan luhur pendidikan telah kandas, terlebih saat pandemik ini. Demikian juga kualitas mahasiswa/siswa membutuhkan penanganan segera. Maka, jangan biarkan beban tersebut makin berat. Melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pemerintah berupaya mencari berbagai sumber yakni pajak pendidikan yang bertujuan untuk memenuhi penerimaan APBN sehingga dapat membiayai kebutuhan-kebutuhan yang ada. (***)
***Afriantoni - Pengamat Pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H