Mohon tunggu...
Afriantoni Al Falembani
Afriantoni Al Falembani Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen dan Aktivis

Menulis dengan hati dalam bidang pendidikan, politik, sosial, fiksi, filsafat dan humaniora. Salam Sukses Selalu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru, Politik, dan Kekuasaan di Sumsel

27 Maret 2018   10:45 Diperbarui: 27 Maret 2018   11:31 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenyataan ini menempatkan guru dipolitisasi untuk meletakkan pilihannya pada Pilkada Sumsel Juni 2018 nanti. Dampak selanjutnya, guru  diberi sanksi karena pilihan politiknya berbeda dari para pencinta politik kekuasaan. Guru sering sekali mengalami "tumbal" dan ketimpangan politik dengan berbagai modus.

Pertama, kepala sekolah menjalankan perintah kepala dinas agar memasang baliho/spanduk/brosur berisi ucapan terima kasih kepala daerah atas pelaksanaan program pendidikan berhasil di wilayah kerja mereka yang anggaran diambil dari kas sekolah. Tentu saja persoalan ini menjadi ladang kurang terpuji bagi komunitas pendidikan. Atau secara vulgar membuat posko atau dukungan terhadap salah satu pasangan, tentu tidak dibenarkan.

Kedua, guru-guru memobilisasi siswa dan orang tua siswa untuk mentaati pemimpin mereka di sekolah. Biasanya tim sukses salah satu pasangan calon datang ke sekolah dengan mengungkapkan jargon "Kita Jangan Golput", suasana netralitas dibentuk sedemikian rupa. Namun sebelum meninggalkan sekolah membagikan brosur, stiker, buku, bahkan sampai pada seragam sekolah. Tentu saja arah ini dalam proses pengarahan pilihan pada calon tertentu.

Ketiga, rutinnya kegiatan-kegiatan yang dilaksankan oleh dinas pendidikan dan pejabat daerah selalu diarahkan pada aspek-aspek politik, terutama untuk ajang promosi dan pengenal lebih dekat calon kepala daerah. Sehingga dampak yang dihasilkan hanya sekedar pencitraan tanpa bisa direalisasikan.

Keempat, tim sukses dan birokrasi pendidikan mempromosikan janji-janji politik untuk para guru honorer dan guru kontrak akan diangkat menjadi ASN tanpa tes, jika salah satu calon tertentu yang dipromosikan berhasil menjadi penguasa. Janji seperti ini menjadi bumerang untuk calon kepala daerah. Tetapi, polarisasi yang sudah "mafhum"ini tidak anak diperdebatkan.

Kelima, tim sukses dan penguasa sendiri mengancam atas keluarga guru jika tidak berkiblat politik yang sama dengan penguasa yang berakibat fatal yakni mengalami mutasi atau dipecat. Semua ini sedang berlangsung dengan situasi yang tenang bagaikan ketenangan air sungai yang ada buaya didalamnya. Begitulah keadaannya saat ini.

Kondisi guru yang diungkapan di atas, bukan sesuatu yang "utopis", tetapi sebuah kenyataan perilaku yang kurang demokratis dan manusiawi. Tetapi, apa mau dikata, bukti dan akurasi kebenaran apa yang disampaikan dapat saja dibantah, bahkan dimanipulasi. Bagaimana bangsa ini akan menjadi negara yang paling demokratis, jika perilaku pendidiknya terlibat pada politik praktis seperti ini.

Walaupun disini yang berbeda, guru juga harus terlibat dalam politik praktis untuk memperjuangkan hak politik guru, tetapi guru sebagai agent perubahan justru juga terlibat dalam pertarungan dukung mendukung calon kepala daerah secara praktis. Kondisi yang tidak sehat ini memang tercipta karena faktor kepentingan praktis, dimana lapangan pekerjaan semakin sempit, angka kemiskinan masih tinggi, dan budaya hedonisme yang luar biasa kuat.

Fenomena ini sangat penting diperhatikan dan patut untuk direfleksi. Bukan hanya sebagai "obrolan kampung", tetapi dapat memberikan kontribusi positif dalam pembangunan bidang pendidikan. Semestinya, guru harus menjalankan profesinya mendidik anak bangsa dengan baik dan sempurna. Semestinya,sebagai bangsa yang "merasa demokratis" sudah selayaknya memberikan hak kepada organisasi profesi agar para guru berpihak kepada kepentingan pendidikan dan kebebasan untuk menentukan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya.(*)

Pernah diterbitkan di Palembang Ekspress 15 Maret 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun