Mohon tunggu...
Afrianto Daud
Afrianto Daud Mohon Tunggu... -

penikmat buku, pendidik, pembelajar, dan pemulung hikmah yang terserak di setiap jengkal kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menuju Jakarta 1: Akankah Karir Politik Ahok Tamat?

9 Maret 2016   13:51 Diperbarui: 9 Maret 2016   16:49 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Afrianto Daud

 

[caption caption="Bakal Calon Gubernur Jakarta(sumber gambar: infonitas.com"][/caption]Pemilihan gubernur Jakarta baru akan diselenggarakan tahun depan. Namun kebisingan politik menjelang pemilihan Jakarta 1 sudah mulai terasa dari sekarang. Beberapa tokoh sudah memberikan sinyal akan ikut bertarung dalam perebutan posisi gubernur ini, termasuk sang gubernur petahana - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan beberapa nama beken lainnya, semisal politisi tiga zama - Prof. Yusril Ihza Mahendra, pengusaha sukses -Sandiaga Uno, dan mantan menpora - Adhiyaksa Dault. Para tokoh parpol juga sudah saling melakukan penjajakan. Masing-masing pendukung sudah mulai bergerak, membangun opini.  Perang strategipun dimulai. Dan suasana politik mulai terasa hangat dan bisa jadi panas, terutama di media sosial. Jika Ridwan Kamil tidak menyatakan batal ke Jakarta, tentu suasana politik menjelang pilgub ini akan lebih riuh rendah lagi.

Jakarta memang sering menjadi incaran banyak politisi. Sebagai ibukota negara, Jakarta dianggap menjadi barometer politik nasional. Memenangkan pertarungan politik di Jakarta bisa menjadi entry poin strategis untuk begerak dan melakukan mobilisasi dan ekspansi politik yang lebih masif dan lebih strategis di tingkat nasional. Sebagaimana juga  disebut Ridwan Kamil dalam pernyataan resmi batalnya dia ke Jakarta, itulah mengapa sebagian tokoh daerah rela mundur dan meninggalkan posisi politiknya di daerah dan kemudian mengadu nasib di Jakarta. Banyak mereka yang berhijrah ke Jakarta. Jokowi dan Ahok adalah contoh paling benderang dari fenomena ‘urbanisasi politik’ ini.

Peta Sementara Kekuatan Politik

Sampai tulisan ini dibuat, peta kekuatan politik dalam konteks pemilihan gubernur Jakarta sebenarnya masih ‘peta buta’, mengingat belum ada calon resmi dari parpol manapun. Nama-nama yang muncul ke publik masih banyak pada taraf ‘testing the water’. Satu-satunya calon yang sudah mengumumkan pasangannya adalah Ahok yang akan maju melalui jalur independen berpasangan dengan Heru Budi Hartono, saat ini Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemprov DKI Jakarta. Sementara nama-nama lain masih saling lirik dan belum jelas siapa berpasangan dengan siapa. Oleh karena itu dalam konteks ini Ahok bisa dikatakan sudah lebih dulu selangkah, karena sudah bisa fokus pada strategi kampanye dan pemenangan. Walau tentu belum ada kepastian bahwa pasangan ini akhirnya benar-benar menjadi pasangan resmi di KPU, mengingat mereka harus kembali mengumpulkan KTP dari awal karena peraturan mensyaratkan begitu.

Memperhatikan perkembangan politik terakhir di Jakarta, ada kemungkinan bahwa bakal calon akan lebih dari dua pasangan. Kemungkinan ini menjadi lebih besar terutama setelah pertemuan Ahok dengan Megawati beberapa hari yang lalu menghasilkan keputusan bahwa Ahok akan maju sendiri melalui jalur independen. Tentu saja, setelah ini parpol akan menentukan calonnya sendiri. Sangat mungkin akan terjadi koalisi antar parpol.

Memperhatian peroleh suara parpol pada pemilu legislatif terakhir, tiga parpol dengan perolehan terbesar di Jakarta, PDI-P (27,67%), Gerindra (14,17%), dan PKS (9,34%) akan menjadi motor penggerak utama konstelasi politik menjelang pilgub ini. Saya memperkirakan partai politik itu akan terkumpul pada dua koalisi besar di Jakarta. Satu koalisi akan digerakkan oleh PDIP, sebagai parpol peraih suara terbanyak di Jakarta. Sementara, koalisi lain akan dipimpin Gerindra dan PKS. Dengan demikian, peta koalisi akan mirip peta koalisi parpol saat pemilihan presiden terakhir, yang terbelah pada KIH dan KMP.

Dengan kondisi seperti ini, harapan sebagian kalangan agar pilkada Jakarta cukup memunculkan dua pasang calon saja sepertinya sangat kecil kemungkinannya untuk menjadi kenyataan. Karena berbagai alasan, salah satunya adalah rekam jejak perbedaan ideologis antar parpol, hampir mustahil membayangkan jika semua parpol bersatu dan kemudian memunculkan satu pasang saja untuk menantang sang petahana Ahok, jika dia lolos syarat administrasi. Ini juga berarti asumsi sebagian kalangan yang menyebut bahwa parpol akan ‘mengeroyok’ Ahok sepertinya tidak akan menjadi kenyataan.

Akankah Ahok Bertahan?

Lebih khusus, menjadi menarik untuk mendiskusikan bagaimana peluang Ahok sebagai petahana untuk kembali memenangkan pertarungan nanti. Siapa tokoh lain yang paling berpotensi mengalahkannya? Faktor apa yang berpengaruh dalam merebut kemenangan di ibu kota negara ini?

Sebagai petahana Ahok sesungguhnya dalam posisi yang diuntungkan. Dia telah memiliki saham politik di Jakarta dalam beberapa tahun belakangan. Dia tidak lagi memulai kampanye dari nol. Dia telah bekerja dan berkarya untuk Jakarta, walau tentu hasil kerjanya belum memuaskan semua kalangan. Popularitas dan elektabilitasnya sementara relatif kuat dibanding beberapa kandidat lainnya. Hasil survey dari beberapa lembaga, termasuk dari Centre Strategic and Internasional Studies (CSIS), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Cyrus Network mengkonfirmasi fenomena ini. Walaupun secara metodologis, survey yang dilakukan di sekitar awal tahun 2016 ini bisa diperdebatkan, karena membandingkan Ahok dengan beberapa nama yang belum pernah menyatakan diri sebagai calon gubernur, setidaknya hasil survei ini untuk sementara bisa dijadikan salah satu data peta kekuatan para calon. Bisa jadi survey inilah diantara dasar Ahok untuk maju sendiri lewat jalur independen.

Sebagai incumbent, Ahok dengan cerdik bisa memanfaatkan satu tahun terakhir masa kepemimpinannya untuk terus melakukan branding dan atau pencitraan dengan semakin memperbaiki performanya sebagai gubernur. Dia bisa melakukan program atau membuat kebijakan yang memihak kepada rakyat kecil, atau sesuatu yang bisa membuat senang kalangan menengah. Dia bahkan (jika mau) bisa bisa ‘berkampanye’ secara halus dengan menggunakan anggaran negara.

Kedua, Ahok cukup banyak didukung oleh kalangan menengah, terutama mereka yang kecewa dengan performa partai politik. Mereka inilah yang mendorong Ahok untuk maju lewat jalur independen saja. Banyak diantara mereka yangsangat aktif di media sosial. Diakui atau tidak, sebagian mereka juga menjadi buzzer politik yang rajin di dunia maya, membangun opini atau menyebarkan apapun berita yang bisa meningkatkan popularitas dan elektabilitas Ahok. Ini belum lagi berbicara tentang kecendrungan beberapa media besar seperti Kompas atau Metro TV yang sengaja atau tidak terlihat ikut ‘mengkampanyekan’ Ahok.

Namun demikian, Ahok tidak akan melenggah mudah. Saya memperkirakan bahwa akan terjadi kompetisi yang sengit antara semua pasangan (siapapun itu) di Jakarta nanti. Pertama, berbeda dengan pilgub sebelumnya dimana Ahok menjadi wakilnya Jokowi dan didukung partai politik. Saat ini tidak adalagi Jokowi faktor yang akan mendongkrak suara Ahok, juga tak ada parpol yang bisa bekerja keras di lapangan, karena Ahok maju sebagai calon independen. Jokowi bisa saja mendukung Ahok secara personal, namun suasana kebatinannya saat ini berbeda dengan masa ketika Jokowi dulu menjadi media darling, disukai dan diharapkan banyak orang. Ahok benar-benar akan berjuang ‘sendiri’.

Ketiga, Jakarta adalah adalah kota yang dihuni oleh para politisi kelas nasional yang sudah sangat berpengalaman. Nama-nama yang muncul saat ini bukanlah nama sembarangan. Sebagian mereka juga sudah memiliki modal sosial politik yang tak sedikit. Kita akan saksikan adu strategi kelas wahid di ibu kota negara ini. Sangat mungkin kita akan menyaksikan beberapa kejutan, termasuk misalnya, jika PDIP memutuskan membawa bu Risma, walikota Surabaya, ke Jakarta. Atau, kejutan lain bahwa Ahok gagal maju menjadi calon resmi karena dia bermasalah secara hukum. Who knows.

Keempat, Jakarta adalah kota dengan jumlah pemilih rasional sangat banyak. Sebagian besar mereka adalah pemilih yang melek informasi. Tetapi, biasanya mereka bukanlah pemilih yang loyal. Mereka dengan mudah bertukar pilihan karena beberapa alasan, bahkan menjelang beberapa jam sebelum pemilihan. Itulah sebabnya pemenangan pemilu di Jakarta hampir selalu berubah setiap kali pemilu. Itu juga yang menjadi alasan mengapa hasil survey politik bisa tidak valid dengan kenyataan setelah pemilu, seperti kasus pemilihan gubernur Jakarta periode sebelumnya, dimana hasil survey lebih mengunggulkan Fauzi Bowo-Nara, namun kenyataannya pilgub justru dimenangkan Jokowi-Ahok.

Kelima, Jakarta adalah kota dengan pemilih ideologis yang kuat. Pemilih ideologis itu, baik nasionalis maupun kalangan Islamis menghuni kota ini dengan komposisi relatif seimbang. Fakta bahwa pemilu di Jakarta pernah dimenangkan oleh PPP dan PKS sebagai dua partai berbasis agama adalah indikasi kuat bahwa jumlah pemilih ideologi (Islam) tak bisa dipandang sebelah mata. Di titik ini, Ahok dan relawannya harus berhitung cermat, bertindak tepat. Bahwa bukan tak mungkin, dia bisa dikalahkan, salah satunya, karena alasan ideologis ini. Cara komunikasi Ahok yang ‘terlalu keras’ (untuk tidak menyebut kasar), misalnya, bisa menjadi amunisi sebagian kalangan untuk mendemarketting mantan bupati Belitung ini.

Karena alasan terakhir, saya perhatikan bahwa cukup banyak pendukung Ahok yang mengkhawatirkan jika Ahok harus head to head, misalnya dengan Prof. Yusril Ihza Mahendra. Selain karena Yusril adalah politisi lintas zaman, yang karya dan pemikirannya tidak bisa dipisahkan dari sejarah Indonesia modern. Dia memiliki track record relatif baik. Dia juga dikenal sebagai politisi dengan latar ideologis yang kuat. Dengan pengalamnnya, Yusril bisa berkomunikasi sangat baik dengan banyak tokoh parpol. Pertemuan terakhirnya dengan SBY, misalnya, adalah contoh bagaimana dia bisa saja mendapat dukungan dari banyak partai politik. Apalagi jika Prabowo juga memberikan endorsement kepada Yusril, posisi Yusril akan semakin kuat.

Pada saat yang sama dia juga bisa mempersatukan para pemilih ideologis Islam. Kita tentu bisa berdebat apakah perlu kita memilih seseorang atas dasar agama. Ini adalah hal yang sah di alam demokrasi. Apalagi, adalah fakta bahwa sebagaimana pemilih berbasis etnis (memilih karena kesamaan suku dan keturunan), pemilih ideologis itu tetap eksis sepanjang sejarah pemilu Indonesia. Toh, memilih berdasarkan ideologi tidak harus bermakna tidak memperhatikan kompetensi dan rekam jejak sang calon.

Pendeknya, cerita pemilihan gubernur Jakarta ini masih akan panjang. Terlalu dini untuk menyimpulkan tentang siapa yang paling berpeluang menjadi pemenang. Politic is the art of possibility. Politik adalah seni tentang kemungkinan. Adalah menarik untuk menyaksikan berbagai kemungkinan itu terjadi di Jakarta, termasuk kemungkinan terpilihnya lagi atau berakhirnya karir poitik Ahok di Jakarta. Kita tunggu!

 

* Penulis adalah analis politik, Direktur Centre for Political Education and People Empowerment

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun