Salaam,
Tulisan berikut adalah copast dari status FB saya. Saya post di sini, biar bisa dijangkau lebih banyak pembaca.
Semoga bermanfaat.
Jika harus berkomentar, berdiskusilah dengan santun :-)
Salaam,
A
--
Dua foto di atas sejak beberapa hari yang lalu tersebar viral di dunia maya. Dikomentari cukup banyak orang. Cukup heboh. Foto pada status saya ini adalah screen shot dari postingan dua nama yang cukup dikenal khalayak, aktivis islib @Luthfi Assyaukanie, juga aktivis pro demokrasi dan anti diskriminasi, Denny JA.
Saya ikut bersuara mengomentari isi postingan dua orang ini, karena keduanya bukanlah orang biasa yang tak sekolah. Mereka berdua adalah representasi sebagian kalangan yang cukup terdidik dan mungkin juga mengaku intelektual yang tercerahkan. Apalagi DJA dengan lebih satu juta followersnya di dunia maya. Dia adalah orang yang berpengaruh. DJA bahkan disebut-sebut sebagai tokoh gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi.
Screen shot foto dibawah adalah postingan pertama DJA, sebelum dia edit dan perbaiki setelah mendapat protes keras dari banyak netizen di halaman page miliknya. Tentu postingan pertama itu bagi saya lebih menarik, karena lebih genuine menggambarkan ideologi DJA yang sebenarnya.
Seperti terlihat pada screenshot yang saya sandingkan, Deny JA memberi komentar miring pada foto yang dia posting. Walau masih dalan bentuk statemen dengan tanda tanya, sulit menghindari tafsir bahwa deep structure pernyataan DJA adalah semacam bentuk pelecehan pada muslimah bercadar di foto tersebut.
Fakta bahwa DJA mengedit bahkan menghapus postingan pertama adalah indikasi kuat bahwa DJA memang memiliki intensi tak baik pada postingan pertamanya.
Pada saat yang sama, Luthfi Assyaukani - salah seorang aktivis Jaringan Islam Liberal - juga membagi gambar ini di halaman FBnya dengan tambahan komentar yang jauh lebih radikal dibanding DJA. Apa yang ditulis Luthfi dengan mudah dipahami sebagai semacam bentuk kebencian pada praktek agama orang-orang dalam foto yang dia sebut sebagai mereka yang 'otaknya tak bekerja karena dikungkung oleh ideologi dari zaman gelap gulita'.
Pembulian verbal pada sekelompok perempuan pada foto itu oleh Luthfi dan Denny hanyalah contoh kecil dari fenomena umum yang terlihat dari perilaku standar ganda dari mereka yang menyebut aktivis liberal, pro demokrasi dan anti diskriminasi. Karena tak jarang sikap dan laku mereka justru bertentangan dengan substansi nilai kebebasan dan anti diksriminasi itu sendiri. Ada banyak contoh jika kita mau mengupas panjang lebar.
Mereka itu pada suatu waktu, misalnya, bisa saja mengaku berjuang untuk persamaan hak dasar manusia, kebebasan beragama, dan sejenisnya (yang tentu bagus), namun di lain waktu justru menyerang praktik atau keyakinan beragama orang lain dengan cara-cara yang tak lebih beradab dari kelompok lain yang sering dilabel sebagai kaum radikal, takfiri, dan sejenisnya.
Sadar atau tidak, mereka yang mengklaim sebagai kaum terdidik dah lebih beradab ini telah memperlihatkan wajahnya sebagai kelompok radikalis dan ekstrimis dalam bentuknya yang lain.
Pada satu waktu yang lain di perdebatan tentang relasi agama dan negara, atas nama kebebasan individu, kaum liberal dan juga sekularis ini juga bisa saja ngotot mengatakan bahwa agama adalah urusan individu, karenanya tak boleh dintervensi orang lain, termasuk oleh negara. Namun, ketika individu tertentu memilih cara beragama menurut keyakinan mereka, seperti perempuan bercadar dalam foto seminar ini, maka datanglah label 'tak berotak' dan 'dunia gelap gulita' itu. Adakah yang lebih kasar dari ini, om Luthfi?
Sebagai alumni salah satu kampus elit di Australia, Luthfi seharusnya tahu persis bahwa di negara-negara maju dan beradab, seperti Australia itu sendiri, mereka yang bercadar tidaklah sesuatu yang asing terlihat di ruang publik. Di Monash University, misalnya, saya menemukan cukup banyak mahasiswi muslimah yang bercadar. Mereka tetap bisa mengikuti kegiatan akademis dengan normal, tanpa khawatir disebut sebagai 'tak punya otak', atau memiliki ideologi dari 'zaman gelap gulita'.
Om DJA dan Bung Luthfi, 'kebebasan seperti apa yang sebenarnya anda perjuangkan?'
#serius nanyaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H