Mohon tunggu...
afriana setiawan
afriana setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Ans - Writer and Author

Perjalanan panjang sebagai single mom selama lebih dari dua belas tahun, terlalu berharga untuk disimpan sendiri. Semua akan saya bagi sebagai penguat bagi hati lain yang sedang rapuh dan pengingat bagi hati lain yang sedang bahagia penuh bunga

Selanjutnya

Tutup

Diary

Perceraian Bukanlah Sebuah Keinginan

24 September 2021   17:53 Diperbarui: 24 September 2021   18:00 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bercerai bukanlah sebuah cita - cita

Ketika seseorang masuk ke dalam sebuah pernikahan maka yang diinginkan dan cita - cita terbesar adalah kebahagiaan yang abadi. Terutama bagi wanita Indonesia dimana kita selalu dijejali tentang kisah Cinderella, Snow white bahkan cerita Arjuna. Cerita berbeda dengan akhir yang sama happily ever after.

Namun nyatanya ketika berhadapan dengan pasangan hidup dalam sikap dan watak yang sesungguhnya, banyak yang tidak siap. Tidak siap menerima bahkan tidak siap diterima. Wujud - wujud asli sesungguhnya seorang pasangan akan tergambar jelas setelah satu rumah dan satu ranjang. Banyak kejutan diterima sekaligus banyak kejutan diberikan.

Betul memang, memulai membangun hubungan lebih mudah dari pada menjaganya. Sama ketika membangun sebuah gedung harga milyaran, maka melakukan perawatan dan operasional gedung itu adalah seumur hidup yang mungkin harganya bisa ratusan kali lipat dari biaya pembangunannya. Baik dengan alasan kesalahan pasangan atau tidak, sesungguhnya semua pihak terluka dengan adanya perceraian.

Sebab - sebab yang timbul sebetulnya hanyalah alasan belaka dari sebuah kemunikasi dan kepercayaan yang perlahan mati. Salah satu yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan menahan diri dan tidak mengambil keputusan di saat sedang emosi. Jangan membuat keputusan permanen untuk emosi sesaat.

Tidak mudah terutama bagi pasangan muda. Ada juga yang bertahan dengan alasan anak dan keluarga. Tapi kebahagian seolah lenyap tanpa jejak. Bertahan itu sementara. Namun jika bertahan selamanya, itu hanya masalah waktu sampai seseorang lelah dan menyerah.

Saya setuju, ada saja rumah tangga yang setelah di terpa badai maka kemudian membuat ikatan pernikahan semakin kuat. Namun bagaimana dengan goresan trauma dan terkikisnya rasa percaya. Benarkan bisa kembali semula atau sebenarnya semua pihak sedang siaga menanti - nanti sesuatu yang mungkin saja akan terjadi lagi nanti.

Kembali lagi, bahwa perceraian bukan sebuah harapan. Seringkali terjadi karena kita putuskan sendiri atau pun dengan alasan rencana Tuhan. Ketika seseorang memutuskan bercerai maka hal pertama yang harus diambil adalah tanggung jawab sebagai manusia tunggal. Bersiap untuk mandiri dan jauh labih mandiri dibanding sebelum berumah tangga.

Mencoba rekonsiliasi sebagai bentuk meredam emosi salah satu tingkatan yang saya rasa harus dijalankan semua orang sebelum proses perceraian. Saya melewati masa itu, tidak mudah dan bahkan terasa menyesakkan. Namun karena masa rekonsiliasi itulah saya jadi mengerti kenapa perceraian menjadi sesuatu yang tepat untuk saya putuskan. Dan ke depan mempermudah saya juga mantan suami untuk mengelola proses pengasuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun