Bercerai bukanlah sebuah cita - cita
Ketika seseorang masuk ke dalam sebuah pernikahan maka yang diinginkan dan cita - cita terbesar adalah kebahagiaan yang abadi. Terutama bagi wanita Indonesia dimana kita selalu dijejali tentang kisah Cinderella, Snow white bahkan cerita Arjuna. Cerita berbeda dengan akhir yang sama happily ever after.
Namun nyatanya ketika berhadapan dengan pasangan hidup dalam sikap dan watak yang sesungguhnya, banyak yang tidak siap. Tidak siap menerima bahkan tidak siap diterima. Wujud - wujud asli sesungguhnya seorang pasangan akan tergambar jelas setelah satu rumah dan satu ranjang. Banyak kejutan diterima sekaligus banyak kejutan diberikan.
Betul memang, memulai membangun hubungan lebih mudah dari pada menjaganya. Sama ketika membangun sebuah gedung harga milyaran, maka melakukan perawatan dan operasional gedung itu adalah seumur hidup yang mungkin harganya bisa ratusan kali lipat dari biaya pembangunannya. Baik dengan alasan kesalahan pasangan atau tidak, sesungguhnya semua pihak terluka dengan adanya perceraian.
Sebab - sebab yang timbul sebetulnya hanyalah alasan belaka dari sebuah kemunikasi dan kepercayaan yang perlahan mati. Salah satu yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan menahan diri dan tidak mengambil keputusan di saat sedang emosi. Jangan membuat keputusan permanen untuk emosi sesaat.
Tidak mudah terutama bagi pasangan muda. Ada juga yang bertahan dengan alasan anak dan keluarga. Tapi kebahagian seolah lenyap tanpa jejak. Bertahan itu sementara. Namun jika bertahan selamanya, itu hanya masalah waktu sampai seseorang lelah dan menyerah.
Saya setuju, ada saja rumah tangga yang setelah di terpa badai maka kemudian membuat ikatan pernikahan semakin kuat. Namun bagaimana dengan goresan trauma dan terkikisnya rasa percaya. Benarkan bisa kembali semula atau sebenarnya semua pihak sedang siaga menanti - nanti sesuatu yang mungkin saja akan terjadi lagi nanti.
Kembali lagi, bahwa perceraian bukan sebuah harapan. Seringkali terjadi karena kita putuskan sendiri atau pun dengan alasan rencana Tuhan. Ketika seseorang memutuskan bercerai maka hal pertama yang harus diambil adalah tanggung jawab sebagai manusia tunggal. Bersiap untuk mandiri dan jauh labih mandiri dibanding sebelum berumah tangga.
Mencoba rekonsiliasi sebagai bentuk meredam emosi salah satu tingkatan yang saya rasa harus dijalankan semua orang sebelum proses perceraian. Saya melewati masa itu, tidak mudah dan bahkan terasa menyesakkan. Namun karena masa rekonsiliasi itulah saya jadi mengerti kenapa perceraian menjadi sesuatu yang tepat untuk saya putuskan. Dan ke depan mempermudah saya juga mantan suami untuk mengelola proses pengasuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H