Sebuah malam panjang antara sabtu dan Minggu. Ia bergulat panjang dengan hal yang semestinya dipikirkan Tuhan. Mulutnya komat-kamit mengucapkan Salam Maria. Bisik-bisik doanya berperang dengan ramainya lalu lintas di kepalanya malam ini. Ia begitu gelisah. Entalah terlalu banyak hal yang membuat malam jadi pelik seperti ini. Malam tambah kelam saja dan sunyi menusuk dalam. Hingga air matanya cumbui pipinya, tempat senyum paling tulus bertakhta.
      Dio. Demikian ia dinamai ibunya. Wajah penuh jenaka. Dia yang membiarkan senyumnya berkeliaran di wajah jenakanya saat berpapasan dengan siapa saja, dan kan bercakap akrab dengan mereka. Ia terlalu akrab denagn senyum dan tawa, mungkin ia tak mau hidup tanpa dibebani dengan ribu pikiran yang tak semestinya dipikirkan.
      Tapi malam ini, tidak. Alis matanya berkerut tanpa ia sadari dan mungkin kalau ia sadari mungkin tidak ia izinkan. Malam seolah merebut jenakanya, lalu menyembunyikan di langit tiada bintang. Seketika itu, lautan yang hidup dalam jiwanya, gelombang yang mengetuk nuraninya, membeku dan ia jadi dingin. "Tuhan, kosong !!!" bisiknya di dalam sunyinya. Tapi tak membatalkan doanya yang diaminkan kendati dengan terbata-bata.
      Berawal dari sebuah sunyi. Ia terlalu tahu, semua akan sunyi dan sendiri dan merayakan kaul-kaul yang ia ikrarkan. Dalam suatu desolasi yang paling puncak, ia dicambuk sunyi yang terlalu, lalu lunglai. Bilur-bilur cambukan sunyi, mulai memerih ketika mendengar tentang Tuhan. Ia bahkan sudah pada suatu yang teramat ekstrim, Tuhan, mungkin ada, mungkin tidak. Kalau begitu, untuk apa memikirkan-Nya.Â
      Di suatu sore, jelang magrib, ketika sendiri di balae-balae bambu, suatu yang terlalu ribut menenangkan sepinya. Perempuan baru baya, berkulit sawo matang, berperang dengan sunyinya. Mungkin bergumul dengan kebenaran adalah suatu luka yang teramat perih. Di sana nanah luka kan tergerus habis oleh keluh yang kesah. Di tambah lagi, kau kan dicabik-cabik oleh suatu realitas yang tak pernah kau sangka-sangka. Begitu sakit. Wep... Luka yang sembuh ini pernah memberiku sakit... Rupanya akrab dengan suatu yang tak kita citakan, mungkin sesuatu yang manis. Mungkin sebagai cara tuk mengurai kejeuhan. Mungkin berpikir tentang Tuhan dan kehendak-Nya adalah sebuah ketakutan. Yahhh ketika kutahu bahwa semestinya memenangkan Tuhan, tapi yang kuistimewakan adalah bukan Kau, Tuhan. Aku malu, enggan pulang.
      Demikian Dio bergulat dengan pikirannya. Seperti orang pada umumnya. Menghindar tentu punya satu soal. Dari sebuah ingkar, yang tak kita buat melingkar. Tapi tak mengurai simpul masalah yang mengeruh. Sudah lama tak menyepi. Mungkin terlalu banyak menyepi tapi tak paham apa itu menyepi. Bukan dari sebuah kegalauan, tapi sebuah jeda yang diberi makna. Ditambah lagi, pintu kapel di biara tahu betul siapa yang paling kemudian dalam tiap sujud. Yaaahhh, kupikir tidak akrab dengan Tuhan sama dengan kehilangan orientasi. Sudah banyak mereka yang pergi setelah percaya pada suatu bisik yang paling ribut. Dari sebuah kegagalan mendengakan yang paling kecil. Kadang, kita terlalu percaya bahwa yang sering muncul adalah jawaban yang kita nanti, dan yang tak lazim bukan jawaban. Di situ perlu sebuah discermen.
Tak heran, sebuah pengkhianatan berasal dari kerenggangan emosional. Ia berjumpa Diana, perempuan yang pernah memberinya mata tuk melihat luka yang berbau dan dia juga yang mengobati luka itu. Tanpa ia tahu ia menciptakan bilur baru. Mungkin perempuan itu tak mau mengizinkan kekasihnya merasakan luka itu. Dio, hilang. Wajah jenakanya hilang seketika. Ia menghabiskan malam-malamnya sendiri. Tak lagi bercerta seperti dulu. Lagi ia menerjemahkan kegalauan yang terlalu. Kantung matanya, membendung suatu pergulatan yang paling runyam. Sekali tertawa, tapi tak terlalu tulus.
Ia bertemu Diana, dalam suatu sunyi yang paling, dan Diana memberi tawa yang telah hilang dalam jiwanya. Awalnya pada sebuah pertanyaan tentang Tuhan, dan kekalahan dalam sunyi. Mereka berkelana di malam yang paling terpencil. Berpuisi tentang cinta, melagukannya dan lebur dalam suatu rasa yang paling purba, cinta. Yaaahhh dengan dahli cinta, segala kan dibatalkan. Mungkin juga, rasionalitas tak mampu mengalahkan cinta. Benar saja, banyak dari antara mereka yang telah menghabiskan banyak waktu tuk mempelajari filsuf-filsuf yang paling purba, hingga yang paling kemudian, kalah di hadapan cinta.
Dio, salah satunya. Ia bintang di kelas, yang semuanya laki-laki, yahh ini kelas para calon romo. Tentang Tuhan ia kan berargumen dengan caranya yang paling menarik. Tapi, dihadapan sebuah realitas yang menarik rumus konseptual terlihat begitu lunglai. Tuhan yang ia punyai adalah Tuhan dalam ide, bukan Tuhan yang dialami. Tuhan yang dialami, melampaui Tuhan ide.
Dio, antara panggilan dan kekasihnya. Antara sebuah panggilan. Ia terlalu yakin, ia dipanggil. Benar ia sungguh rasa itu. Dulu ia terlalu merindukan negeri yang menyerupai surga, ia terlalu merindukannya. Ia pergi berbekal segenggam keyakinan tanpa sedih juga. Namun keyakinannya jatuh di sela-sela jari yang kian lelah. Ia malah yakin pada perempuan dengan tatap yang syaduh, dengan suara yang membelai nurani yang terlalu dingin, dengan peluk hangat yang tak pernah ia temui. Tuhan seperti kalah dengan ciptaan-Nya pada sebuah kontestasi cinta.Â