Alasan Utama Kita Harus Bergotong Royong.
Yang pertama adalah kita bangsa yang besar. Saking besarnya kita pasti sudah mengetahui sendiri kalau Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman kultur yang besar dan begitu banyaknya adat istiadat leluhur yang begitu dicintai oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah Gotong royong. Adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang dan nilai normanya tidak pernah putus ataupun luntur.
Yang kedua adalah sebagai cara sederhana kita untuk mempersatukan masyarakat. Karena jika kita mengingat orang-orang terdahulu sebelum kita yang sudah terlebih dahulu melakukan gotong royong, pasti akan terlihat sangat jelas rasa kekeluargaannya. Karena nilai terpenting selain bisa mewujudkan keinginan lebih baik. Rasa kekeluargaan juga semakin bertambah besar.
Jadi mengapa kita harus bergotong royong? Ya, karena kedua alasan di atas itulah yang membuat kita seharusnya tidak lupa dengan alasan mengapa kita harus bergotong royong. Tidak itu saja, alasan yang paling mendasar adalah jika mau berhasil harus berjalan bersama-sama bukan sendiri-sendiri. Tentunya dengan tujuan yang sudah disamakan. Seperti keinginan kita untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Istilah Pajak dan Gotong Royong Dalam Masyarakat.
Keinginan menjadi lebih baik boleh saja. Namun kita harus bisa menilai diri sendiri dulu. Bagaimana caranya, agar kita bisa berperan aktif dalam pembangunan Indonesia. Karena tidak semua orang bisa berperan aktif dalam melakukan pembangunan. Namun satu hal yang seringkali diberitahukan para motivasi yang berada di televisi. Mereka selalu menyarankan untuk mulailah dari hal terkecil. Dan hal terkecil itu adalah pajak. Setuju gak?
Yang tidak setuju tolong pahami dulu kalau pajak seperti uang kas negara. Secara kasar begitu. Namun dalam pengertiannya sendiri. Dalam perkotaan atau perdesaan, semua mengetahui istilah keduanya dengan baik. Lagipula siapa yang tidak mengenal istilah itu. Pajak (dari bahasa Latin taxo; "rate") adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Menurut Charles E.McLure, pajak adalah kewajiban finansial atau retribusi yang dikenakan terhadap wajib pajak (orang pribadi atau Badan) oleh Negara atau institusi yang fungsinya setara dengan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai macam pengeluaran publik. Pajak dipungut berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Penolakan untuk membayar, penghindaran, atau perlawanan terhadap pajak pada umumnya termasuk pelanggaran hukum.
Pajak sendiri terdiri dari pajak langsung atau pajak tidak langsung dan dapat dibayarkan dengan uang ataupun kerja yang nilainya setara. Beberapa negara sama sekali tidak mengenakan pajak, misalnya Uni Emirat Arab. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Sementara Gotong royong merupakan istilah Indonesia untuk bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Istilah ini berasal dari kata gotong yang berarti "bekerja" dan royong yang berarti "bersama". Dan kata "Bersama" pastinya selalu muncul di dalam suatu kelompok. Karena kita sudah tahu jika "Bersama" hasil yang diperoleh dari Musyawarah, Pancasila, Hukum Adat, Ketuhanan, serta Kekeluargaan akan menjadi lebih baik.
Apa hubungannnya Pajak dan Gotong Royong?
Seperti penjelasan yang di atas, ketika keinginan kita untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik. Sudah sama maka hubungan antara Pajak dan Gotong royong ini semakin terkesan begitu sepele tapi bermakna besar untuk pembangunan Indonesia. Bagaimana tidak, gotong royong adalah dasar filsafat Indonesia seperti yang dikemukakan oleh M. Nasroen.
Maka tidak salah jika keinginan sepele ini bisa dihubungkan peranan gotong royong dalam masyarakat biasanya memang sangat berguna membuat tujuan berhasil kita. Tujuan yang merujuk pada pembangunan negara. Dari siapa, untuk siapa dan akan seperti apa. Jika sudah disamakan sesuai dengan peranan yang ada, pastinya gotong royong akan menjadi lebih berhasil. Karena semua yang ada sudah sama dengan tujuan yang diinginkan.
Dan jika ada, salah satu instansi pemerintah yang mencanangkan program ini dengan baik. Bisa jadi Indonesia akan semakin maju. Terlebih dari sektor pajak. Karena sesuai yang kita ketahui, pajak yang sudah peranan aktif ini sudah mampu memperlihatkan manfaatnya bagi beberapa sektor pembangunan di Indonesia. Tapi apa mungkin? Pajak kita, yang 30.000 rupiah itu? Ya, mungkin saja. Pajak kita memang kecil, namun ketika semua nilai pajak terkumpul dengan cara gotong royong dan patuh dalam melaporkan secara rutin, keinginan sepele dan pajak kecil kita, bisa menjadi sesuatu yang besar untuk pembangunan dan bisa terwujud.
Gimana? Kok gak ngerti ya. Begini Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki pertumbuhan penduduk yang selalu bertumbuh berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus ( SUPAS) 2015 dan sudah disesuaikan dengan data BPS, berjumlah sebanyak 269,6 Juta. Dengan jumlah penduduk laki-laki 135,34 Juta dan penduduk perempuan 134,27 Juta. Tentu saja hasil tersebut didominasi oleh 3 provinsi yaitu Jawa Timur (39,96 Juta), Jawa Tengah (34,74 Juta) dan Jawa Barat (49,57 Juta) dengan hasil yang paling tinggi, hampir 46%. Sementara jumlah penduduk dengan perolehan terendah adalah Kalimantan Utara (710 Ribu), Papua Barat (990 Ribu) dan Gorontalo (1,19 Juta). Sementara berdasarkan kelompok usia, jumlah usia produktif 15-65 tahun mencapai 185,22 Juta atau sekitar 68,7% dari total populasi. Dan kelompok usia yang belum produktif (0-14 tahun) sebanyak 66,05 Juta atau 24,5% lalu kelompok usia yang sudah tidak produktif ( di atas 65 tahun) sebanyak 18,06 Juta atau 6,7% dari total populasi. Sehingga angka ketergantungan penduduk Indonesia sebesar 45%. Artinya Indonesia masih berada dalam era demografi, dimana jumlah produktif lebih besar daripada jumlah penduduk tidak produktif.
Belum lagi dengan pernyataan proyeksi dari Bappenas, BPS dan United Nations Population Fund (2013) yang telah menyebutkan bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia 2010-2020 diperkirakan hanya menciut 1,1%. Atas dasar proyeksi itulah yang menjadi pegangan bank Dunia, ketika membuat laporan tentang angka pertumbuhan penduduk dunia 2018. Karena dalam laporan itu terlihat bahwa LPP Indonesia sudah di bawah LPP Global yang terus bergerak dari angka 1,25% menuju 1,1% di tahun 2020 dan hasil pernyataan yang sangat bagus. Bukan tidak mungkin lagi kalau Indonesia bisa menjadi hebat hanya karena hal sepele. Sungguh, dalam satu lingkup itu saja bisa benar-benar bisa membuat Indonesia maju. Karena coba saja dikalikan dengan pendapatan non UMR yang dimiliki usia produktif yang sadar akan pajaknya. Pasti sudah bernilai lebih. Belum lagi dengan sektor-sektor pajak yang lain selain pendapatan karyawan.
Realisasi Penerimaan Pajak 2019 termasuk penyebabnya.
Namun sayang dari semua jumlah penduduk dan sektor perusahaan yang ada jumlah realisasi penerimaan pajak tidak seperti yang dibayangkan. Karena ternyata ada saja yang membuat penurunan dalam penerimaan pajak. Sesuai dengan laporan dari Kementerian Keuangan, yang mencatat penerimaan pajak di tahun 2019, mencapai 1.332, 1 trilliun dan lebih rendah 1,4% dari pertumbuhannya di tahun 2018. Karena penerimaan pajak baru mencapai 84,4% dari target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang sebesar 1,577,6 trilliun, yang artinya pada tahun 2018, realisasi penerimaan pajak sebesar 245,5 trilliun. Sehingga wajar jika disimpulkan lebih tinggi di tahun 2018 sebesar 110, 7 trilliun. Dan realisasi penerimnaan itu ditopang PPh non migas yang tumbuh 3,8% dengan nilai Rp711,2 triliun, namun pertumbuhan PPh migas tercatat turun 8,7% dengan nilai Rp89,3 triliun.
Pertumbuhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) juga turun 0,8% dengan nilai Rp532,9 triliun. Sementara, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya tercatat tumbuh 10,7% yakni mencapai Rp28,9 triliun.Turunnya penerimaan PPh migas, menurut Sri Mulyani, tak terlepas dari menguatnya nilai tukar rupiah, turunnya harga ICP, serta tak tercapainya lifting migas di 2019. "Jadi kalau lihat dari sisi produksi lebih rendah, harga lebih rendah, dan kurs Rupiah lebih kuat, jadi penerimaan dari migas mengalami tekanan karena ketiga hal itu," imbuhnya.
Menurutnya, sektor yang paling terdampak dari ketidakpastian ekonomi global adalah pertambangan dan manufaktur. Sehingga, penerimaan kedua sektor itu mengalami penurunan tajam pada tahun ini. Penerimaan pajak di sektor pertambangan tercatat mencapai Rp66,12 triliun, turun 19% dibandingkan tahun 2018. Pada sektor manufaktur tercatat sebesar 365,39 triliun, turun 1,8% dibanding tahun sebelumnya.
"Manufaktur dan pertambangan turun paling dalam. Ini yang menyebabkan penerimaan pajak kita rendah," katanya.
Adapun untuk sektor perdagangan tercatat tumbuh 2,9% dengan realisasi sebesar Rp246,85 triliun, jasa keuangan dan asuransi tumbuh 7,7% dengan realisasi sebesar Rp175,98 triliun, konstruksi dan real estat tumbuh 3,3% sebesar Rp89,65 triliun, serta transportasi dan pergudangan tumbuh 18,7% sebesar Rp50,33 triliun. Tapi tahukah kamu, sesuai dengan artikel yang berada di Kompas.com, penyebab realisasi penerimaan pajak tak capai target ada 5 penyebabnya. Seperti yang dijabarkan oleh Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Pertama, kondisi perekonomian global yang berdampak ke harga komoditas.
"Turunnya harga komoditas di tahun 2019 menekan kinerja penerimaan pajak terutama dari sektor perkebunan, migas dan pertambangan," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (7/1/2020).
Kedua, pelemahan ekonomi global juga berdampak ke sektor perdagangan. Hal ini kemudian berimbas kepada merosotnya penerimaan PPN impor.
"Tak ayal, kinerja penerimaan PPN juga tertekan dengan realisasi yang hanya 81,3 persen," katanya.
Ketiga, Yustinus juga menyoroti banyaknya insentif pajak yang diberikan pemerintah, seperti hal nya tax holiday, tax allowance, kenaikan PTKP, kenaikan threshold hunian mewah, dan restitusi dipercepat.
"Keempat, pemanfaatan data dan informasi yang belum optimal," katanya.
Kelima yakni akibat tahun politik. Menurut Yustinus pada semester pertama tahun lalu, pemerintah tidak bisa melakukan penindakan secara tegas terhadap beberapa pihak untuk menghindari kegaduhan di masyarakat.
"Tahun politik yang memaksa dilakukannya moratorium tindak lanjut data/informasi dan tertundanya pemungutan pajak beberapa sektor, seperti e-commerce," ucap dia.
Gotong royong membantu pemerintah membangun Indonesia.
Untuk sebab itulah, ketika sudah mengetahui penyebabnya kita harus lebih memiliki cara tambahan agar bisa berperan aktif dalam bergotong royong kita bisa lebih memaksimalkan hal-hal tersebut dengan lebih harga komoditas, cepat tanggapnya dalam memberikan informasi, dan percepatan langkah untuk menindaklanjuti, yang bisa menjadi kemungkinan untuk bisa memberikan pelayanan terbaik untuk Indonesia. Jika semua aspek bergerak dengan tujuan yang sama dan dengan keinginan yang sama untuk pembangunan Indonesia. Bukan mustahil jika Indonesia bisa menjadi negara maju. (AFW)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H