Waktu kecil gue selalu diceritain gimana guru-guru jaman dulu ngedidik bokap pada masa sekolahnya. Kebanyakan dari mereka sangat anarkis, kalo gue bilang. Memukul hingga babak belur, sampai berdarah-darah. Sudah begitu, bokap dan teman-temannya yang kena hajar gak berani dan gak boleh lapor ke orang tua, karena hukumannya bakal tambah berat. Kesalahan sendiri jangan diadukan dan harus terima konsekuensi. Sayangnya, dosa besar yang bikin guru marah biasanya karena bodoh, gak ngerti pelajaran aritmetika, atau gak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Gue cukup diuntungkan karena nyokap gue guru SD. Dari kelas 1 sampai 4 gak pernah ngerasaian dihukum. Baru masuk kelas 6 sedikit keliatan bandelnya.
Wali kelas 6A terkenal galak. Salah jawab, kena rotan di punggung atau di pantat. Pokoknya sejak mulai masuk kelas 6 hari pertama, udah gak terhitung tuh berapa kali kita semua kena rotan. Pokoknya kalo gak ada yang bisa jawab, satu kelas kena rotan semua. Kurang ajar sekali.
Suatu kali gue gak bikin PR. Pak Zakarias, yang memang terkenal galak, ngasih hukuman yang kelewat gak manusiawi. Gue disuruh jalan bolak-balik pake lutut, di lantai depan kelas yang berdebu. 200 kali! Gue hampir pingsan waktu itu. Pulang sampe rumah, kedua lutut gue luka parah. Gak berani bilang nyokap, alasan bilang jatuh.
Tapi pas ujian nasional, NEM gue tertinggi di sekolah. Oh perjuangan..
Masuk SMP : kelas 1 mulai bandel banget. Semua karena angkot yang pilih kasih. Hanya mau menaikkan anak SMP 2, sementara SMP 1 ditolak. Anak SMP 1 sekolahnya jauh, bayarnya dikit. Paling sering masuk sekolah udah jam 8 lebih. Hukumannya jalan pake lutut dari pintu gerbang pagar sekolah sampai ruang kepala sekolah atau ruang pembina OSIS, Pak Yeremias Oematan.
Kelas 2 sedikit alim, lebih banyak cuma nonton anak kelas 3 tawuran dengan anak-anak SMP 2. Tapi tetap aja masih badung juga. Suatu kali, semua siswi anak kelas 2-2 kerasukan roh. Yang nakal-nakal dipanggil mendekat supaya diungkap ‘dosa-dosanya’. Gue lari terbirit-birit ketika charlyn mulai nunjuk-nunjuk gue. “Mampus gue. Mampus gue. Jangan sampai pokoknya..”
Kelas 3 biasa-biasa aja, tidak ada yang menonjol. Pas Ujian mulai diberlakukan kertas ujian yg diperiksa komputer.
Yang galak zaman itu, Pak To’af, Pak Yer Oematan, Pak Imanuel Tunliu (kadang-kadang saja, terkenal karena keritingnya.) Pak Ar Tlonaen (biasanya beliau belum masuk, banyak yang udah gemetar duluan), Pak Jemi Malensang (kadang-kadang aja), Pak Manobe.
Berlanjut ke SMA. Gue pernah diusir Ibu Asnath karena sesuatu yang tidak gue lakukan. Aleks Thon ama Ansel Kase yang ribut rebutan gunting, gue ikut kena getahnya. Diusir dari kelas dan gak boleh ikut pelajaran ekonomi sepanjang kelas 1. Makanya kalo sekarang gue ditanya-tanya soal ekonomi gue rada bego.
Kelas 2 mulai dikenal Fedi Na’u karena dia berkawan dengan bokap. Samaila wali kelas, tak pernah marah, tapi kalo sudah keterlaluan biasanya diusir dari kelas. Dan, kelas selalu ramai dengan canda tawa ketika Pak Nix Nenobais masuk. Beliau hanya marah sekali, ketika tak ada yang sukses menerjemahkan lagu Nobody’s Child.
Salah satu guru yang penting banget untuk diulas adalah Pak JN. Oh itu orang kalo baik, kita bisa tertawa sampai terkencing-kencing; kalo lagi pre-menstruasi syndrome (PMS), kita bisa menangis lima ember air mata. Entah karena sentimen apa, gue pernah dibikin hampir nangis di depan kelas. Seisi kelas disuruh maju ke depan karena gak bisa jawab pertanyaan dia. Semua akhirnya satu per satu bisa duduk kembali. GUE ORANG PALING TERAKHIR yang duduk. Sampai sekarang gue masih kesal ama itu orang. Pokoknya siang itu dia seolah pengen nunjukin sesuatu. Seolah-olah dia menang. “Bahwa Afris Imanuel itu goblok. Gak pantas.”
The last: Cyrilus Weto. Guru geografi, seorang eklektik, juga mengajar bahasa jerman, kesederhanaannya bikin kagum. Satu yang gue masih ingat, “mutton.”
Jadi, untuk apa menyebut daftar panjang guru-guru itu?
Banyak didikan yang mungkin sekarang udah gak pantas. Mendidik dengan kekerasan. Tapi, seperti pak Im Tunliu bilang, “Orang Timor itu KERAS. Makanannya jagung katemak yang keras, rambutnya melingkar-lingkar keras persis supermie. Tinggalnya di atas batu karang yang keras. Dididiknya juga harus keras, kalo mau jadi manusia.”
Semua itu baru disadari setelah dilalui. Kekerasan guru mengajarkan kedisiplinan dan kepatuhan. Ajaran guru yang keras semata-mata bertujuan agar tantangan dalam hidup dihadapi bukan dihindari. Agar keberhasilan bukan angan-angan, tapi bisa digenggam.
Hukuman jalan dengan lutut ketika terlambat agar kita menghargai waktu. Misalnya ketika janjian meeting dengan client. Telat 5 menit ditinggal deh sodara. Bussiness is bussiness, gak ada toleransi.
Makanya gue suka ketawa meremehkan ketika anak sekarang ditempeleng sekali ama guru langsung bawa satu kampung datang. Ya elah, manja amat. Mbuh lah, zaman udah beda. Generasi gampang komplein akan menguasai dunia ini. Gak ngurusin lah.
***
Bertepatan dengan hari pahlawan ini, gue cuma pengen bilang makasih ke siapa pun yang sudah pernah jadi guru gue. Jasa kalian yang bisa bikin gue sekarang bisa pintar seperti sekarang. Kalian, para guru, pahlawan yang sebenar-benarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H