Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tertera komitmen untuk "Melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia".Â
Saat ini, kita telah memasuki era 4.0, di mana kemajuan teknologi berkembang pesat, meskipun demikian, masyarakat kita masih berada pada tahapan 1.0 (penjelajahan), 2.0 (pengumpulan informasi), 3.0 (penggunaan mesin), dan 4.0 (pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu pengambilan keputusan). Namun, dalam era 6.0, kita dihadapkan pada prospek bekerja bersama robot dalam pengambilan keputusan, di mana batas-batas dunia semakin tidak terdefinisikan. Oleh karena itu, jika kita kembali merujuk pada semangat UUD 1945, tantangan ini dapat menjadi kompleks.
Presiden Joko Widodo telah menegaskan perlunya kewaspadaan terhadap ancaman kejahatan di dunia siber.
Transformasi dalam evolusi perang:
1. Generasi pertama berfokus pada ukuran pasukan.
2. Generasi kedua melibatkan manuver taktis dan strategi tembakan.
3. Generasi ketiga melibatkan pemanfaatan teknologi, seperti contohnya pada Invasi Inggris ke Malvinas yang melibatkan penggunaan 40.000 komputer dalam sistem K3I (Komando, Kendali, Komunikasi, dan Informasi).
4. Generasi keempat mencirikan perang asimetris.
5. Generasi kelima adalah era informasi dan siber.
Terkait serangan siber, terdapat tiga lapisan pendekatan:
1. Lapisan Fisik, yang melibatkan perangkat dan pusat data.
2. Lapisan Logika, yang menghubungkan lapisan pertama dan kedua.
3. Lapisan Manusia, di mana faktor manusia, terutama dalam aspek sosial dan psikologis, dapat menjadi ancaman yang paling berbahaya.
Ancaman dalam domain siber meliputi aspek pengendalian, spionase, dan sabotase. Sebagai contoh, malware dapat dimasukkan melalui jaringan listrik melalui charger ponsel untuk tujuan sabotase.
Jenis serangan siber:
1. Serangan fisik.
2. Serangan perangkat lunak (software).
3. Serangan sosial.